Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Sunday 26 May 2013

perlawanan dan oposisi


A.     Apa itu perlawanan
Di antara keempat macam proposisi kategoris, yaitu A, E, I, dan O, yang mempunyai kelas subyek dan predikat yang sama, terdapat suatu relasi di antara mereka yang cukup mendapat perhatian para ahli logika. Relasi yang dimaksud ialah relasi antara dua proposisi yang mempunyai kelas subyek dan predikat yang sama, tetapi berbeda dalam kuantitas dan/atas kualitasnya. Relasi demikian disebut relasi perlawanan (oposisi). Berpijak pada rumusan tersebut, kita mengenal macam-macam perlawanan sebagai berikut:
  • perlawanan dalam hal kuantitas dan kualitas. Biasa disebut perlawanan kontradiktoris, yaitu perlawanan yang terjadi antara proposisi A-O dan antara proposisi E-I:
  • perlawanan dalam hal kualitas. Biasa disebut perlawanan kontraris (kebalikan) untuk perlawanan antara proposisi A-E dan sub-kontraris (kebalikan-bawahan) untuk perlawanan antara proposisi I-O.
  • perlawanan dalam hal kuantitas. Biasa disebut perlawanan subaltern (ketercakupan), yaitu perlawanan yang terjadi antara proposisi A-I dan antara proposisi E-O.
B.     Hukum-hukum perlawanan
HUKUM PERTAMA: Dalam perlawanan kontradiktoris, kedua proposisi yang berlawanan tidak dapat sekaligus benar dan juga tidak dapat sekaligus salah. Jadi, jika proposisi yang satu diketahui benar, proposisi yang lain pasti salah; dan sebaliknya, jika proposisi yang satu diketahui salah, proposisi yang lain pasti benar.
Misalnya: kalau “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui benar maka lawan kontradiktorisnya “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” pasti salah. Sebaliknya kalau “Beberapa mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui salah, maka “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” adalah benar.
HUKUM KEDUA: Dalam perlawanan kontraris, kedua proposisi yang berlawanan tidak dapat sekaligus benar, tetapi dapat sekaligus salah. Jadi, jika proposisi yang satu diketahui benar, proposisi yang lain pasti salah, proposisi yang lain bisa benar bisa salah (tidak pasti). Misalnya: kalau “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai”, diketahui benar, maka lawan kontrarisnya “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” adalah salah. Sebaliknya kalau “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui salah, maka lawan kontrarisnya “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai dapat benar, tetapi juga dapat salah. Jadi ada kemungkinan bahwa kedua proposisi yang berelasi secara kontraris dapat sama-sama salah.
HUKUM KETIGA: Dalam perlawanan subkontraris, kedua proposisi yang berlawanan tidak dapat sekaligus salah, tetapi dapat sekaligus benar. Jadi, jika proposisi yang satu diketahui salah proposisi yang lain pasti benar; tetapi jika proposisi yang satu diketahui benar, proposisi yang  lain bisa benar bisa salah (tidak pasti). Misalnya: kalau “Beberapa mahasiswa Atma Jaya pandai diketahui salah maka lawan sub-kontrarisnya “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” adalah benar. Tetapi apabila “Beberapa mahasiswa Atma Jaya pandai” adalah benar, maka lawan sub-kontrarisnya “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” dapat benar tetapi dapat juga salah. Jadi ada kemungkinan keduanya dapat sama-sama benar.
HUKUM KEEMPAT: Dalam perlawanan subaltern, jika universal diketahui benar, proposisi partikular pasti benar; jika proposisi partikular diketahui salah, proposisi universal pasti salah; sebaliknya jika proposisi universal diketahui salah, proposisi partikular bisa benar bisa salah, jika proposisi partikular benar, proposisi universal bisa benar bisa salah.
Misalnya: Kalau “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui benar, maka “Beberapa mahasiswa Atma Jaya pandai” pasti benar. Atau kalau “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” benar, maka “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” pasti benar. Tetapi kalau proposisi “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui salah, maka beberapa mahasiswa Atma Jaya pandai” dapat benar atau salah. Begitu juga “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai “diketahui salah, maka “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” bisa benar, bisa juga salah. Tetapi kalau “Beberapa mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” diketahui salah maka “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” diketahui salah maka “Semua mahasiswa Atma Jaya pandai” atau “Semua mahasiswa Atma Jaya tidak pandai” pasti salah.
Perlu dicatat, dalam logika formal, “beberapa” tidak berarti “hanya beberapa” (kecuali memang dengan tegas dimaksudkan demikian, dan kalau begitu hukum-hukum perlawanan ini tidak berlaku), tetapi berarti sekurang-kurangnya beberapa.” Begitu juga dengan kata-kata sinkategorismatis lainnya yang menunjuk pada kuantitas partikular.
Berdasarkan hukum-hukum tersebut, kita dapat menyimpulkan seperti tabel berikut ini:
Premis         kesimpulan
(1)                        (2)                               (3)
A benar             E salah                I benar                        O salah
E benar             A salah                I salah                         O benar
I  benar              E salah                A benar/salah            O benar/salah
O benar             A salah                I  benar /salah            O benar/salah
A salah              O benar               I salah/benar              E benar/salah
E salah              I benar                 A benar/salah            O benar/salah
I salah                A salah                E benar                      O benar
O salah              A benar               I benar                        E salah
Catatan :
Sehubungan dengan bujur sangkar perlawanan dan tabel di atas perlu, diperhatikan bahwa proposisi Adan E yang dimaksud adalah proposisi-proposisi (As, s) singular. Alasannya ialah proposisi singular hanya mempunyai perlawanan kontradiktoris. Hal ini terlihat jelas dalam contoh berikut ini: jika proposisi “Willy adalah anak sulung’ diketahui benar, maka proposisi “Willy bukan sulung” pasti salah; jika proposisi “Willy adalah anak sulung” adalah salah, maka proposisi “Willy bukan anak sulung” adalah benar; demikian juga sebaliknya. Dengan begitu terlihat jelas bahwa dalam konteks perlawanan, proposisi singular berbeda benar dengan proposisi universal. Kalau dalam Bab IV, butir 5. c, kami telah menyinggung bahwa sifat proposisi singular lebih mempunyai kesamaan dengan sifat proposisi universal, dan karena itu para ahli logika menggunakan lambang yang sama untuk proposisi singular dan universal (A dan E), hal itu haruslah diingat bahwa kesamaan lambang itu tidak dapat dipertahankan dalam konteks perlawanan. Itulah sebabnya mengapa dalam Bab IV, butir 5. c. itu kami menulis “… kecuali dalam hubungan dengan ‘perlawanan’ yang masih akan kita bicarakan lagi …”. Karena alasan tersebut, untuk mencegah kesalahan ada baiknya kalau dalam konteks perlawanan, proposisi singular tidak kita lambangkan dengan A atau E, melainkan dengan As dan Es.

Saturday 25 May 2013

MENGENAL VIRUS KOMPUTER

Falsafah dan Karakteristik Sosial-kultural Budaya Minangkabau

Falsafah dan Karakteristik Sosial-kultural Budaya Minangkabau

A. Falsafah Sosial-kultural budaya minangkabau
-          Filosofi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah”
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah kerangka  pandangan hidup orang Minangkabau yang memberi makna hubungan antara manusia, Allah Maha Pencipta dan alam semesta. Sesungguhnya Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah sebagai konsep nilai, yang kini menjadi jati diri orang Minangkabau, lahir dari kesadaran sejarah masyarakatnya melalui proses pergulatan yang panjang. Semenjak masuknya Islam ke dalam kehidupan masyarakat Minangkabau terjadi titik temu dan perpaduan antara ajaran adat dengan Islam sebagai sebuah sistem nilai dan norma dalam kebudayaan Minangkabau yang melahirkan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah bertujuan untuk memperjelas kembali jati diri etnis Minangkabau sebagai sumber harapan dan kekuatan yang menggerakkan ruang lingkup kehidupan  dan tolok ukur untuk melihat dunia Minangkabau dari ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, dan dalam pergaulan dunia.
Islam masuk ke Minangkabau mendapati suatu kawasan yang tertata  rapi dengan apa yang disebut “adat”, yang mengatur segala bidang kehidupan manusia dan menuntut masyarakatnya untuk terikat dan tunduk kepada tatanan adat tersebut. Landasan pembentukan adat adalah “budi” yang diikuti dengan akal, ilmu, alur dan patut sebagai adalah alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. Islam membawa tatanan apa yang harus diyakini oleh umat yang disebut aqidah dan tatanan apa yang harus diamalkan yang disebut syariah atau syarak
            Adat dipahami orang Minangkabau sebagai suatu kebiasaan yang mengatur hubungan sosial yang dinamis dalam suatu komunitas, (seperti suku, kampung, dan nagari. Sebagai sebuah sistem nilai dan norma, adat mempengaruhi perilaku individu dan masyarakat yang mewujudkan pola perilaku ideal. Titik temu antara Adat dan Islam, dapat dilacak melalui pandangan “teologis” terhadap alam semesta.
Pandangan orang Minangkabau terhadap alam terlihat dalam ajaran; pandangan dunia (world view) dan pandangan hidup (way of life) yang seringkali mereka tuangkan melalui pepatah, petitih, mamangan, petuah, yang diserap dari bentuk, sifat, dan kehidupan alam.
       Nilai dasar dari Adat Bersendi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah adalah nilai ilahiyah dan insaniyah yang mendapat legitimasi dari Adat dan Islam sebagai rujukannya. Nilai-nilai ilahiyah muncul dari proses pembacaan atas semesta “Alam Takambang Jadi Guru”. Allah, melalui penciptaan alam semesta memperlihatkan Kekuasaan-Nya.
Kedua kekuatan nilai-nilai ilahiyah dan insaniyah sebagai landasan nilai Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai patokan dalam kehidupan bermasyarakat. 
1.   Prinsip kebenaran, merupakan nilai dasar yang mutlak dalam pergaulan umat manusia pancaran dari hakikat “tawhid” dan menjadi ‘modal dasar’ dalam setiap jiwa insan sebagai khalifah-Nya. Tawhid atau jiwa ketuhanan adalah konsep penghambaan  dari pembebasan manusia dengan Allah.
Alurnya adalah “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana. Nan ‘bana tagak dengan sendiri”  – Al haqqu mir arrabihim.
2.    Prinsip keadilan adalah bagian yang menggerakkan kehidupan manusia. Tanpa keadilan kehidupan masyarakat akan selalu goyah
3.    Prinsip kebajikan  akan lebih bermakna jika ditopang oleh prinsip kebenaran dan  prinsip keadilan yang  melahirkan kehidupan insan yang lebih bermakna.
       Kebenaran, keadilan dan kebajikan merupakan “tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan”. Kebenaran menjadi landasan teologis atau nilai dasar, sedangkan keadilan merupakan nilai operasionalnya.
Dalam Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah juga terkandung prinsip dasar dan nilai operasional yang melembaga dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau :
1.         adab dan budi, inti  dari ajaran adat Minangkabau, sebagai  pelaksanaan dari prinsip adat. “indak nan indah pado budi, indak nan elok dari baso” .
 2.          kebersamaan, Di dalam masyarakat yang beradat dan beradab (madani) mempunyai semangat kebersamaam, sa-ciok bak ayam, sadancing bak basi”..
3.         keragaman masyarakat yang terdiri dari banyak suku  dan asal muasal dari berbagai ranah  bersatu dalam kaedah “hinggok mancakam, tabang basitumpu”, menyesuaikan dengan   lingkungan dan saling menghargai, dima bumi dipijak, disatu langit dijunjung.
4.          kearifan, kemampuan menangkap perubahan yang terjadi, sakali aia gadang, sakali tapian baralieh, sakali tahun baganti, sakali musim batuka,”
5.         tanggungjawab sosial yang adil, seia sekata menjaga semangat gotong royong. Semua  dapat merasakan dan memikul tanggung jawab bersama pula. Saketek bari  bacacah, banyak bari baumpuak, Kalau tidak ada, sama-sama giat mencarinya, dan sama pula menikmatinya.
6.         keseimbangan antara  kehidupan rohani dan jasmani berujud dalam kemakmuran, Munjilih di tapi aia, mardeso di paruik kanyang.  Memerangi kemaksiatan, diawali dengan menghapus kemiskinan dan kemelaratan. Rumah gadang gajah maharam, lumbuang baririk di halaman, lambang kemakmuran.
7.         toleransi sesuai dengan pesan Rasulullah, bahwa sesungguhnya zaman berubah, masa berganti. Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Minangkabau diarahkan kepada pandai hidup dengan jiwa toleran.
8.         kesetaraan, timbul dari sikap bermusyawarah yang telah hidup subur dalam masyarakat Minangkabau.  Sejalan dengan itu diperlukan saling tolong menolong  dengan moral dan buah pikir dalam mempabanyak lawan baiyo (musyawarah),   melipat gandakan teman berunding. Sikap musyawarah membuka pintu berkah dari langit dan bumi. Kedudukan pemimpin, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting.
9.          kerjasama mengutamakan  kepentingan orang banyak dengan sikap pemurah yang merupakan  sikap mental dan kejiwaan yang tercermin dalam mufakat
10.        sehina semalu.
11.        tenggang rasa dan saling menghormati
12.        keterpaduan, saling meringankan dengan kesediaan memberikan dukungan dalam kehidupan.barek sapikua, ringan sajinjiang”, Kerja baik dipersamakan dengan saling memberi tahu sanak saudara dan jiran. “Karajo baiak baimbauan, karajo buruak baambauan.

B.      Karakteristik Sosial-kultural Masyarakat Minangkabau
1.      Kepemimpinan di dalam masyarakat minangkabau
-          Niniak Mamak

Niniak mamak adalah pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan adat. Niniak mamak yaitu orang yang dituakan dalam kaum, yang mengurus rumah-tangga kaum. Seluruh penghulu adat dan pembantu-pembantu utamanya, itulah yang disebut niniak mamak. Sehari-hari, seorang penghulu adat sering dipanggil datuak. Setiap datuak memiliki sako, yaitu gelar yang diterima secara turun-temurun. Misalnya Datuak Naro, Datuak Bandaro, dsb.

-          Alim Ulama

Alim ulama adalah pemimpin masyarakat Minangkabau dalam urusan agama, yaitu orang yang dianggap alim. Seorang yang alim adalah oang yang memiliki ilmu agama yang luas dan memiliki kedalaman iman. Alim ulama disebut juga ”suluah bendang dalam nagari”. Maksudnya, alim ulama berfungsi sebagai penerang kehidupan dalam masyarakat, terutama dalam mengurus perosalan ibadat masyarakat dalam nagari. Ada pula tugas ulama yaitu mengelola lembaga pendidikan, yang biasanya diadakan di surau dan mesjid. Sehari-hari, seorang ulama sering dipanggil engku, ustadz, atau buya, syeikh, baliau, dsb.

-          Cadiak Pandai

Cadiak pandai adalah pemimpin masyarakat Minangkabau yang disebabkan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Cerdik pandai dianggap sebagai anggota masyarakat yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Karena itu mereka wajib membantu memikirkan langkah-langkah dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat serta mengembangkan potensi nagari. Tugas cerdik pandailah membuat masyarakat tidak ketinggalan zaman, dan memberikan petunjuk dalam mengambil kehidupan sehari-hari.

2.      Kewarisan masyarakat minagkabau
Untuk memahami warisan dalam masyarakat adat Minagkabau. Maka beberapa defenisi harta kaum dalam masyarakat Minangkabau yang akan diwariskan kepada ahli warisnya yang berhak terdiri atas :
a.      Harta Pusaka Tinggi
Yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, baik yang berupa baik berupa tembilang basi, maupun tembilang perak, kedua jenis harta pusaka tinggi ini menurut hukum adat akan jatuh kepada kemenakan dan tidak boleh diwariskan kepada anak.
b.      Harta Pusaka Rendah
Yaitu harta yang turun dari satu atau dua generasi.
c.       Harta Pencaharian
Yaitu harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau taruko. Harta pencarian ini bila pemiliknya meninggal dunia akan jatuh kepada jurainya sebagai harta pusaka rendah. Untuk harta pencarian ini sejak tahun 1952 ninik-mamak dan alim ulama telah sepakat agar harta warisan ini diwariskan kepada anaknya. Perihal ini masih ada pendapat lain, yaitu “bahwa harta pencaharian harus diwariskan paling banyak (sepertiga) dari harta pencaharian untuk kemenakan’.
d.      Harta Suarang
Yaitu Seluruh harta benda yang diperoleh secara bersama-sama oleh suami-istri selama masa perkawinan. Tidak termasuk harta suarang ini, yakni harta bawaan suami atau harta tepatan istri yang telah ada sebelum perkawinan berlangsung. Dengan demikian jelaslah bahwa harta pencaharian berbeda dengan harta suarang.(Eman Suparman, 2007)

Seperti telah dikemukakan sebelumnya diatas, bahwa sistem kekeluargaan Minangkabau adalah sistem menarik keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan sistem tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka tinggi yaitu harta turun-menurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yaitu harta turun dari satu sampai dua generasi. Misalnya; jika yang meninggal dunia itu seorang laki-laki, maka anak-anaknnya serta jandanya tidak menjadi ahli waris untuk harta pusaka tinggi, sedang yang menjadi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya.
Waris kemenakan di Minangkabau bermula dari pepatah adat minangkabau, yaitu pusaka itu dari nenek turun ke mamak, dari mamak turun ke kemenakan. Pusaka yang turun itu bisa mengenai gelar pusaka ataupun mengenai harta pusaka, misal gelar Datuk Sati. Apabila ia meninggal dunia, gelar tersebut akan turun kepada kemenakannya, yaitu anak dari saudara perempuan dan tidak sah jika gelar itu di pakai oleh anaknya sendiri.

3.      Pandangan hidup masyarakat minangkabau
·         Pandangan Terhadap Hidup
Tujuan hidup bagi orang Minangkabau, adalah untuk berbuat jasa. Kata pusaka orang Minangkabau mengatakan, bahwa hiduik bajaso, mati bapusako (hidup berjasa, mati berpusaka). Jadi orang Minangkabau memberikan arti dan harga yang tinggi terhadap hidup. Untuk analogi terhadap alam, maka peribahasa yang dikemukakan adalah :

Gajah mati meninggalkan gadiang
Harimau mati maninggakan balang
Manusia mati meninggalkan jaso
(gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan jasa).

Dengan pengertian, bahwa orang Minangkabau itu hidupnya jangan seperti hidup hewan yang tidak memikirkan generasi selanjutnya, dengan segala yang akan ditinggalkan setelah mati. Karena itu orang Minangkabau bekerja keras untuk dapat meninggalkan, mempusakakan sesuatu bagi anak kemenakan, dan masyarakatnya.
·         Pandangan Terhadap Kerja
Sejalan dengan makna hidup bagi orang minangkabau, yaitu berjasa kepada kerabat dan masyarakatnya, kerja merupakan kegiatan yang sangat dihargai. Kerja merupakan keharusan. Kerjalah yang sangat membuka orang sanggup meninggalkan pusaka bagi anak kemenakan. Dengan hasil kerja dapat dihindarkan hilang rano dek penyakik, hilang bangso tak barameh (hilang warna karena penyakit, hilang bangsa karena tidak beremas). Artinya harga diri seseorang akan hilang karena kemiskinan, oleh sebab itu bekerja keras salah satu cara untuk menghindarkannya.

Juga dikemukakan oleh adat ameh pandindiang malu, kain pandindiang miang (emas pendinding malu, kain pendinding maian). Dengan adanya kekayaan segala sesuatu dapat dilaksanakan, sehingga tidak mendatangkan rasa malu bagi dirinya atau keluarganya. Banyaknya seremonial adat seperti perkawinan dan lain-lain membutuhkan biaya. Dari itu usaha yang sungguh-sungguh dan kerja keras sangat diutamakan. Orang minangkabau disuruh untuk bekerja keras, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh fatwa adat sebagai berikut :

Kayu hutan bukan andaleh
Elok dibuek ka lamari tahan hujan barani bapaneh
Baitu urang mancari rasaki
(kayu hutan bukan andalas, elok dibuat untuk lemari, tahan hujan berani berpanas, begitu orang mencari rezeki)
·         Pandangan Terhadap Waktu
Dalam kehidupan sehari-hari sering kali kita mendengan waktu adalah uang atau waktu sangat berharga. Mungkin ungkapan ini diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu time is money.

Sebenarnya bagi orang Minangkabau waktu berharga ini bukanlah soal baru, malahan sudah merupakan pandangan hidup orang Minangkabau. Orang Minangkabau harus memikirkan masa depannya dan apa yang akan ditinggalkannya sesudah mati.

Minangkabau Hanya Tinggal “Kabau” (Identitas Keminangan Masa Kini)


oleh : Rahmah Eka Saputri
Salah satu program yang dibuat oleh Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, adalah tentang kembali kepada ajaran pokok budaya Minangkabau ABS SBK, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.Sepertinya, dan memang begitu, program ini bermaksud agar budaya lokal tidak kian tergerus oleh peredaran zaman.Bagaimanapun adat Minangkabau merupakan ciri khas orang Sumatera Barat dan ini pulalah yang mestinya mengilhami karakter diri kita sebagai orang Minang.Jika demikian halnya, penting rasanya terutama bagi generasi muda menilik kedalam dirinya sendiri, sudah sejauhmana kira-kira karakter orang Minang itu mendominasi dalam dirinya. Ataukah mungkin barangkali dia tidak mengenal Minang dan budayanya yang kaya akan nilai kemanusiaan yang luhur. Pada dasarnya adat Minangkabau, memiliki beberapa inti pokok filsafat yang membangun adat itu sendiri, yang jika diaplikasikan secara utuh, maka akan terbentuklah pribadi Minang yang beragama, beradat dan berbudi. Inti pokok filsafat Minangkabau itu adalah:
Pertama, ABS SBK, adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah.Islam datang ke Minangkabau, bukanlah laksana menjumpai kotak kosong yang belum memiliki peradaban sebelumnya.Akan tetapi Islam datang ke sebuah negeri yang telah berisi.Islam datang ke dalam negeri yang telah teratur.Maka kedatangan Islam ialah bertujuan untuk menambah kokohnya peraturan itu saja.Sebab dalam kajian Fiqh Islam,urf dan adat yang terdapat pada suatu wilayah yang dimasuki oleh Islam, masih dapat dipakai selagi tidak bertentangan dengan pokok Agama Islam.
Adat Minangkabau adalah adat yang sama sekali relevan dengan syara’, ia bukan berdiri sendiri dan membentuk karakternya sendiri. Keduanya bukanlah seperti minyak dan air, melainkan bersatu padu laksana perpaduan minyak dengan air dalam susu, keduanya susah dipisahkan. Sebab Islam bukanlah tempelan-tempelan saja dalam adat Minangkabau, melainkan sebuah susunan yang dibuat menurut pandangan dan karakter orang Minang itu sendiri.
Syara’ mangato, adat mamakai, inilah sebuah bukti yang menunjukkan bahwa agama dan adat itu tidak berjalan sendiri-sendiri, namun berjalan seiring, dan adat tidak akan membuahkan tradisi yang bertentangan dengan Agama Islam. Syara’ batilanjang adat basisampiang, bahasa syara’ terang-terangan masalah halal-haram, lalu dibawalah ia ke dalam adat Minang, menjadilah ia dalam bentuk petatah-petitih dan juga pengandaian serta sindiran yang kaya akan muatan agama.
Kedua, alam takambang jadi guru.Falsafah ini menunjukkan bahwa orang Minang itu identik dengan hikmah dan kebijaksanaan.Dalam berpikirnya, jauh pandangannya, sebab segala fenomena yang ada di alam ini, mesti ada makna halus di balik yang tampak itu.
Ditelisiknya setiap makhluk, karakterapa yang terdapat pada benda-benda yang ada. Pada ikan ia belajar menantang arus kehidupan. Mengikuti arus tanpa rem dan karakter yang kuat berarti bunuh diri. Dari air ia belajar kegigihan, kekuatan tekat dan keyakinan, serta cita-cita  yang kuat akan dapat mengantarkannya pada tujuan yang dimaksud, sebab air dengan kelihaian dan kegigihannya selalu dapat mencari celah di antara bebatuan, selalu ada cara untuk menembus dan melewatinya agar ia dapat bermuara ke laut. Dari penyu ia belajar tentang kesabaran dan keuletan yang tinggi. Ia lambat namun pantang baginya berhenti sebelum selesai, pantang baginya bekerja setengah hati. Dari merpati ia belajar tentang kesetiaan, burung merpati selalu menjaga kesetiaan pada pasangannya, walau dikepak oleh burung dara yang ayu sekalipun, dia tetap tidak mau, tidak tergoda, teguh imannya untuk tidak menghianati pasangannya, dia hanya akan mendatangi betinanya saja, bukan dara yang lain.
Berguru kepada alam berarti belajar kepada Allah, karna yang dibaca dan dilihat itu adalah ayat-ayat Allah, semua adalah ciptaan Allah. Begitulah orang Minang yang sebenarnya, baginya guru itu tidak hanya yang duduk di depan kelas lalu memberinya wejangan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi wejangan yang dipertontonkan Allah lewat alam ini jauh lebih banyak ilmu yang akan didapat darinya. Maka tidak heran jika banyak kita  temukan  dari nenek moyang kita dahulu petatah-petitih, serta gurindam yang berisi pelajaran hidup dengan mengibaratkan fenomena yang ada di alam ini. Sebagai manifestasi mereka terhadap penafsiran yang ada di alam ini.Alam takambang jadi gurulah yang membuat orang Minang menjadi arif dan bijaksana, wawasannya luas tidak dipersempit oleh keadaan.
Keempat, mufakat.Karakteristik orang Minangkabau selanjutnya adalah musyawarah dan mufakat, setiap keputusan diambil bersama, berunding ninik mamak di rumah gadang terlebih dahulu. Tidak ada perkara yang diputuskan sendiri karena raso jopareso, bagi mereka hidup mesti menghargai orang lain, mesti mendengar pandangan orang lain pula. Agar lebih adil ketika hendak menetapkan suatu keputusan.
Dikenal di Minangkabau bahwa sebuah nagari baru sah dinamakan nagari apabila ada 4 hal: masjid sebuah, balairung seruang, tempat mandi, dan pandam pekuburan. Balairung inilah tempat bermufakat di kalangan orang Minang waktu itu.Keputusan suara terbanyak separuh ditambah satu, tidak berlaku dan tidak dikenal dalam pemusyawaratan di Minangkabau.Yang dikenal adalah bulat segolongan, picak selayang. Kalau belum bulat belumlah bisa dilangsungkan, karna kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan.
Jika belum mendapat kebulatan hari itu, maka masalah  diletakkan di atas golong terlebih dahulu, difikirkan terlebih dahulu, karna fikir pelita hati, tenang seribu akal. Pada hari yang telah disepakati bermufakatlah kembali.Rakyat umum boleh mendengarkan dari luar balairung, oleh sebab itu balairung tidak boleh memakai dinding. Maka jika masih ada yang menyela tak karuan, padahal alasannya tidak cukup, artinya tidak menyandarkan kebenarannya pada kitabullah, hanya pada kekuatan lengannya saja, maka ia akan dihukum oleh orang sekampung. Hukuman yang berat yakni duduk tidak dibawa sama rendah, tegak tidak dibawa sama tinggi. Kendurinya tidak didatangi, mayatnya tidak diurus oleh nagari, sebelum sesat surut, terlangkah kembali, kufur taubat.Jika dia penghulu, hukumannya jauh lebih berat lagi, yakni mengisi kesalahan kepada negeri, kumal diserak berdebu dijentik.Demikian ungkap Buya Hamka dalam buku AYAHKU saat menggambarkan bagaimana potret falsafah bermufakat dalam adat Minangkabau waktu dahulu.
Kelima, budi sebagai dasar pokok adat Minangkabau.Gambaran umum tentang keutamaan budi dalam masyarakat Minang tertuang dalam rumusan sumbang nan 12. Budi adalah akhlak, etika, kurenah.Orang yang berbudi adalah orang yang bermanfaat bagi sesama. Jika berbicara, paham orang yang akan tersingguang, paham pula yang akan menimpa diri dan merugikan orang lain.
Dalam sumbang nan 12, sedikit banyaknya dirumuskan dan dijelaskan segala sesuatu yang membuat budi luntur, budi tercela, dan segala sesuatu yang menggambarkan kesopansantuan.Sebab orang Minang paham, bahwa budi lebih panjang umurnya dari pada orang yang memilki budi itu sendiri.Akhlak itu adalah harga diri, mahal harganya.Insaf pula kita bahwa orang lama dikenal dan dikenang karna budi baiknya. Bagi orang Minang sebagai orang hidup mestilah berjasa bagi kehidupan, sabagai laki-laki harus tegak pada sisi laki-laki, sebagai perempuan pula demikian, menjadi ibu, menjadi saudara yang dapat mengobati hati saudara laki laki, sebagai manusia mempunyai kemanusiaan atau kepribadian. Jika telah punya budi baik walau kaya ataupun miskin, terkenal ataukah tidak, itu tidaklah mengapa sebab hal itu hanya warna kehidupan, yang pokok adalah budi yang tinggi serta kemanfaatan diri kita bagi sesama.
Demikianlah inti pokok ajaran Minangkabau yang sebenarnya, universal dan radikal. Namun sayang semua nilai-nilai itu kini mulai tergerus oleh zaman yang kian berganti, semuanya digantikan oleh gaya hidup hedonis dan meterialis.Cerita kegotongroyongan kini, hanya menjadi pajangan sejarah yang telah berdebu, jangankan untuk meniru, menyapu debunya agar “segeh” saja orang enggan. Sekarang orang telah melirik dan lebih tertarik kepada kilekloyang perak orang, padahal loyangnya sendiri terbuat dari emas, hanya lantaran belum disapu saja, kilatnya tidak terpancar. Itulah sebenarnya PR kita.Miris memang sebagai generasi muda mestilah kita lebih peka terhadap penggerusan ini. Jika dibiarkan lebih lama maka nilai filosofis adat Minang yang luhur dan universal itu akan hilang bahkan mungkin juga akan punah. Sebab kita generasi muda sudah bagai kacang lupa kulitnya, lupa daratan, lupa menilik diri, lupa budi, lupa karakter yang harus dimiliki, lupa melestarikan nilai yang tinggi.
Beberapa solusi yang dapat dijadikan cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ini adalah dengan membuka dan membaca kembali sejarah nagari sendiri, bagaimana kita bisa cinta jika tidak kenal dengan tanah yang sedang kita pijak. Mengajarkan ilmu budaya Minang secara menarik, mendalam, serta dibahas secara filosofis agar diketahui nilai luhur yang ingin disampaikan oleh sebuah tradisi kebudayaan.Namun yang paling penting dari itu semua adalah sense of belonging terhadap adat Minangkabau itu sendiri.Harus ada rasa mencintai nilai luhur budaya terlebih dahulu barulah nilai-nilai itu dapat diterapkan secara apik di lingkungan modern ini.
Jangan sampai kita tergilas oleh zaman, Orang Jepang saja yang modern, tetap eksis memakai pakaian kekaisarannya sebagai ciri khas budaya mereka.Bahkan mereka bangga dengan budaya asli mereka sendiri.Mereka bukan dikatakan kolot, namun kaya, budayanya masih utuh, pemikirannya tetap maju mengikuti perkembanagn zaman, bahkan lebih modern dari zamannya.Begitu pulalah hendaknya orang Minang.Dengan filsafatnya yang tinggi, mestinya kita tidak tergilas oleh zaman, justru harus berbangga dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh the founding father nagari Minang ini.
Powered by Blogger.