Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Friday 6 December 2013

15 Tokoh Minangkabau



1. Mohammad Hatta

http://kamarche99.files.wordpress.com/2008/12/bung_hatta.jpg

H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Hatta lahir dari keluarga ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11 tahun. 

2. Mohammad Yamin
http://maulidamulyarahmawati.files.wordpress.com/2009/09/m_yamin.jpg

Mr. Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto

Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.

Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.

3. A.A. Navis
http://www.kabarindonesia.com/gbrberita/200904/20090406221300.jpg

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.

Dunia sastra Indonesia kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tunggul Hitam, Padang.

4. Agus Salim
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGyfQwx2IVSZZoXCFSAc9Wkf7znX120wqlTK42lry6zyTh0DuNQfZVaHXrK3J8Aq5arn9-rjTGiVhr9hZ7sQPoLbGMwO0Pyn7DFQrv_2Kr46UIdb2rzKS0fLC1keT0U1pddgBgmQDgZxLA/s320/agus_salim.jpg

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.

Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.

5. Yahya Dt. Kayo
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz8P9eC3blHn_CbfZ0LYHzqaL64TxeqAmwViCWT9qGSgXmZc3rvJRdEMcYClvN6_ffRU4Ck4MNd4uF4SJajwnNC7QQY1VIqa17YPEnSfmaKp-RIsna7stlvoD2O3QiumQ0R6OMqvd5SMQ/s1600/buku_koto_gadang.jpg

Dia diberi nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan nama itu mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu. Cobalah renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan Ismail. Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya yang gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama seperti nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras disandang oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya telah di persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera sejati, artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan Bapaknya bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya telah dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang, segala sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.


6. Rohana Kudus
http://stat.kompasiana.com/files/2010/04/rohana_kudus-246x300.jpg

Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 – meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah wartawan Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang bernama Rasjad Maharaja Soetan dan ibunya bernama Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.

Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.



7. Syarifah Nawawi


Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Ma’moer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan.
Waktu Jepang masuk, Syarifah mengundurkan diri sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri. Mien Soedarpo (1994:53) menulis tentang kegiatan ibunya setelah itu: “Ia tetap [mengabdikan hidupnya] untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Di samping [itu], ia meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan.” Bahkan ia “menyulap” rumahnya menjadi sekolah.
Syarifah Nawawi meninggal di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minang—bukan emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya. 

8. Buya HAMKA
http://rifafreedom.files.wordpress.com/2008/08/hamka1.jpg

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.








9. Chairil Anwar
Chairil Anwar.jpg

Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ibunya bernama Solehah, Lahir di Situjuh, Payakumbuh dan ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Payakumbuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.




















10. Mohammad Natsir

Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 – meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah perdana menteri kelima, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan salah seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
Ayah Natsir bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya seorang ulama. Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Agam dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persis. Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan.


11. Taufik Ismail
Taufik ismail.jpg

Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 25 Juni 1935; umur 75 tahun, ialah seorang sastrawan Indonesia. Dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
12. Tan Malaka
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8UuE6DlW8GrhPxpmJ2iu5zU34VJ4Lq89_ilq-Fxlio0ZHHEPl2BCUUafOs8hFDme52xH3W5lr79kA6BrYV9n24pmKusNPsplNbfOB6Gque1GoiKi2qGkC70xGtkIsbqnQSTi6CYC7uHjA/s1600/moh_natsir_pyo.jpg

Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 16 April 1949 pada umur 53 tahun) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. 

13. Rasuna Said

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2KqtW6tCZ6YJPBSyy226UQMdxadJVSgZx1qWGaKGY32rZCDUM1wy8YTBVMUBGesjzrVVmIey_p0UpqI5mlU6RWOvy3d3rPn-WkDScApq1XpN0DfvGOa71MBeNNRBz0cyffa7lp6wlW6_H/s1600/said.jpeg

Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Sebagai Sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun 1932 di H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat RakyatSemarang.

Pada masa pendudukan Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.

H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).


14. Gus tf Sakai

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgTqwI5YvfxNpl3mV0loz903WtCz_k2XrBpG74hgAyCbtDzNiDhAjxrWKXlaGIwO1PEWl0FHXHJuCnRrrvoW8iCqj_SeY4L3N1dfrx-v_1G8rrumMDGgbc1onZSoMynU0EJYI8t1O37Pubu/s1600/index.jpeg

Gus tf Sakai nama dari orang tua Gustafrizal (lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 Agustus 1965) adalah sastrawan Indonesia.
Bersama istrinya, Zurniati, ia memutuskan untuk hidup dan menetap di kampungnya bersama tiga anaknya: Abyad Barokah Bodi (L), Khanza Jamalina Bodi (P), dan Kuntum Faiha Bodi (P). Walaupun menetap di kota kecil Payakumbuh yang dikepung oleh tiga gunung.
Beberapa puisinya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Inggris, dan Jerman dan penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta 2004) serta Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kumpulan cerpen Perantau (2007)
15. Gamawan Fauzi

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSVYFaEafrMjkZyc8Dp_UJsw1sYXgtB6xADOUJjI6rv8ZQNF69SkZFEegMBKrx6RvFjNmWpluCKcK9NaR2xb2-PrBGZCdgNQ2TIFmxEUAACXBu9bdB8965IYOVLPzH0RKUSDb7lY2c8AOz/s1600/images.jpeg
Gamawan Fauzi, S.H., M.M., (lahir di Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957; umur 52 tahun) adalah Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak 22 Oktober 2009. Sebelumnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat sejak 15 Agustus 2005 hingga 22 Oktober 2009. Ia juga penerima Bung Hatta Award atas keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi bupati pada kabupaten Solok.
Riwayat Karier
  • Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-sekarang)
  • Gubernur Sumatera Barat (2005-2009)
  • Bupati Solok (1995-2000), (2000-2005)
  • Kepala Biro Humas Pemprov Sumatera Barat
  • Sekretaris Pribadi Gubernur Sumatera Barat
  • Staf biasa di Kantor Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat



Saturday 16 November 2013

Ta'arudh al 'adillah



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Hukum fiqih mempunyai lapangan yang luas, meliputi berbagai peraturan dalam kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan Khaliqnya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan sesama makhluk. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan situasi/keadaan tertentu, maka mengetahui landasan hukum yang menjadi pedoman berpikir dalam menentukan hukum tersebut sangatlah penting.
Islam yang diturunkan oleh Allah tidaklah sebuah agama yang tanpa dasar dalam menentukan suatu hukum, ataupun seenaknya sendiri yang dilakukan oleh umat muslim untuk membuat hukum, namun di sana ada aturan-aturan yang mengikat, harus melalui koridor-koridor yang sesuai dengan syari’at. Dasar utama yang digunakan oleh umat Islam dalam menentukan hukum adalah Al-Qur’an dan Hadits, namun seiring munculnya suatu permasalahan yang baru maka dibutuhkan ijtihad dalam penetuan suatu hukum, maka muncul produk hukum qiyas dan ijma’.
Dengan dasar itulah umat Islam menjalankan roda-roda kehidupan dengan syari’at yang telah terlandaskan. Namun ketika seorang mujtahid itu menentukan suatu hukum sesuai dengan koridor syara’ tentunya tidak terlepas dari kelemahan dalam pemahaman. Maka di sini dikenal dengan ta’arudl al-adillah (pertentangan dalil), meskipun kemampuan seseorang terbatas dalam memahami sesuatu namun di sana juga ditetapkan suatu aturan-aturan yang baru untuk menentukan suatu hukum yang mashlahah.







  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ta’arud al-Adillah

Secara etimologi ta’arudh adalah pertentangan. Sedangkan al-adillah adalah jamak dari kata dalil yang berarti alasan, argumen dan dalil. Persoalan ta’arudl al-adillah dibahas para ulama dalam ilmu ushul fiqih ketika terjadinya pertentangan secara zhahir antara satu dalil dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.
 Secara terminologi ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqih di antaranya:
a.     Imam Al-Syaukani mendefinisikannya dengan suatu dalil yang menentukan hukum tertentu terhadap satu persoalan, sedangkan dalil lain menentukan hukum yang berbeda dengan hukum tersebut.
b.     Kamal Ibn Al-Human dan Al-Taftahzani keduanya ahli fiqih Hanafi, mendefinisikannya dengan pertentangan dua dalil yang tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya.
c.     Ali Hasaballah (ahli ushul fiqih kontemporer dari Mesir) mendefinisikannya dengan terjadinya pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang dikandung dalil lainnya, yang kedua dalil tersebut berada dalam satu derajat. Yang dimaksud dengan satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara sunnah dengan sunnah.
Contoh pertentangan dalam ayat Al-Qur'an adalah se­perti ketentuan tentang 'iddah wanita yang kematian suami. Firman Allah dalam surat al-Baqarah, 2: 234, menyatakan bahwa wanita-wanita yang kematian suami 'iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ayat ini tidak membedakan antara wanita itu hamil atau tidak. Secara umum Allah menyatakan bahwa, apabila seorang wanita yang kematian suami, maka 'iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari. Dalam surat Al-Thalaq, 65: 4, Allah menyatakan bahwa wanita yang hamil 'iddahnya sampai melahirkan anaknya. Ayat ini juga tidak membedakan antara cerai hidup (talak) atau cerai mati (kematian suami). Secara umum ayat ini mengandung pengertian bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, 'iddahnya adalah sampai melahirkan. Dengan demikian, terdapat pertentangan kandungan kedua ayat tersebut bagi wanita hamil yang kematian suami.
Contoh lain dari hadits Rasulullah SAW adalah dalam masalah riba. Dalam sebuah sabda Rasulullah SAW. dinyatakan bahwa:
لاَرَيْباً إِلاَّ فِى النَّسِيْئَةِ
Tidak ada riba kecuali riba nasi'ah (riba yang muncul dari utang piutang).” HR. Bukhari dan Muslim.
Hadits ini meniadakan bentuk riba selain riba nasi'ah, yaitu riba yang berawal dari pinjam meminjam uang. Dengan demikian, riba al-fadl (riba yang muncul akibat suatu transaksi, baik jual beli dan transaksi lainnya), tidaklah haram. Akan tetapi, dalam hadits lain Rasulullah saw, menyata­kan:
لاَتَبِيْعُ الْبُرَّ بِالْبُرِّ إِلاَّ مَثَلاً بِمَثَلٍ
Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama.. HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal)
Hadits ini mengandung hukum bahwa riba al-fadl diharamkan. Antara
kedua hadits tersebut terkandung pertentangan hukum dalam masalah riba
al-fadl.
Hadits pertama membolehkan, dan hadits kedua mengharamkan
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan antara kedua dalil atau hukum itu hanya dalam pandangan mujtahid, sesuai dengan kemampuan pemahaman, analisis, dan kekuatan logikanya; bukan pertentangan aktual, karena tidak mungkin terjadi Allah atau Rasul-Nya menurunkan aturan­-aturan yang saling bertentangan. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Syathi­bi, pertentangan itu bersifat semu, bisa terjadi dalam dalil yang qath`i (pasti benar) dan dalil yang zhanni (relatif benar), selama kedua dalil itu dalam satu derajat. Apabila pertentangan itu antara kualitas dalil yang berbeda, seperti pertentangan antara dali yang qath'i dengan yang zhanni, maka yang diambil adlah dalil yang qath'i, atau apabila yang bertentangan itu ayat Al-­Qur'an dengan hadits ahad (hadits yang diriwayatkan oleh satu, dua, atau tiga orang lebih yang tidak sampai ke tingkat mutawatir), maka dalil yang diambil adalah Al-Qur'an, karena dari segi periwayatannya ayat-ayat al-­Qur'an bersifat qath'i, sedangkan hadits ahad bersifat zhanni.
Di samping itu, menurut Wahbah al-Zuhaili, pertentangan tidak mung­kin muncul dari dalil yang bersifat fi'liyyah (perbuatan), seperti dalil yang menunjukkan Rasul berpuasa pada hari tertentu, kemudian ada lagi dalil lain yang menyatakan bahwa pada hari itu ia juga berbuka.
Kata Adillah merupakan jamak  dari dalil. Sedang maksudnya adalah “Apa saja yang memungkinkan untuk tercapainya kebenaran nalar dari apa yang dicari.’’ . Dengan demikian, ta’arudl al-adillah adalah pertentangan dua dalil atau lebih dalam satu masalah di mana pertentangan itu satu sama lainnya tidak bersesuaian hukumnya. Lebih lanjut Ali Hasballah menyebutkan ketentuan-ketentuan pada ta’arudl, yaitu:
1.         Adanya dua dalil atau lebih
2.         Dalil-dalil itu sama derajatnya
3.         Mengandung ketentuan hukum yang berbeda
4.         Berkenaan dengan masalah yang sama
5.         Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu
Di antara sesuatu yang seyogyanya mendapat perhatian, yaitu bahwasannya tidak terdapat kontradiksi yang sebenarnya antara dua ayat, atau antara dua hadits shahih, dan atau antara ayat dengan hadits shahih. Apabila tampak ada kontradiksi antara dua nash di antara nash-nash itu maka itu hanyalah kontradiksi lahir saja sesuai dengan yang tampak kepada akal kita. Bukan kontradiksi yang sebenarnya. Karena menurut Syari’ yang Esa dan Maha Bijaksana itu tidak mungkin jika keluar daripada-Nya dalil yang menghendaki hukum dalam suatu peristiwa dan keluar dari Dia juga dalil lain yang menghendaki dalam peristiwa itu, hukum yang bertentangan dengan hukum pertama dalam satu waktu. Maka jika didapati dua nash yang lahirnya kontradiksi, wajib berijtihad untuk memalingkan dua nash itu dari lahirnya, dan memperhatikan hakikat pengertian keduanya. Ini untuk memahasucikan Syari’ yang Maha Mengetahui dan Bijaksana, dari kontradiksi dalam pembentukan syari’at-Nya. Jika mungkin menghilangkan kontradiksi yang bersifat lahir antara dua nash itu dengan menghimpun dan mengkompromikan keduanya, maka dipadukanlah keduanya itu dan dilaksanakan keduanya. Ini penjelasan karena sebenarnya tidak ada kontradiksi antara kedua nash itu.
Menurut Abdul Karim Zaidan yang dikutip oleh Afin, pada prinsipnya tidak mungkin terjadi pertentangan antara dalil-dalil syara’. Ta’arudl atau pertentangan dua dalil syara’ hanya terjadi dalam pandangan mujtahid. Atas dasar ini, dapat dipastikan bahwa ta’arudl hanya terjadi secara dhahir, bukan secara hakiki dan yang demikian hanya dalam pandangaa mujtahid. Kadangkala sebagian mujtahid menilai suatu dalil bertentangan dengan dalil lain karena terkait dengan kekuatan pemahaman mujtahid bersangkutan tentang maksud yang dikandung suatu dalil. Berarti ta’arudl terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum yang dikandung dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil lain yang menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama.
Pertentangan ini tidak terjadi hanya pada dalil-dalil dzanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara dalil-dalil yang qath’i. bahkan pertentangan dalil ini terjadi pula antara dalil naqli (yang ditetapkan secara tekstual dalam al-Qur’an atau sunnah dengan dalil ‘aqli (dalil yang berdasarkan aqal, seperti qiyas).

B.     Cara Penyelesaian Ta’arudl Al-Adillah
Apabila dhahir (formal)-nya dua nash yang bertentangan, maka wajib mengadakan penelitian dan ijtihad untuk mengumpulkan dan mengkompromikan kedua nash itu dengan cara yang benar di antara cara-cara mengumpulkan dan mengkompromikan dua nash yang kontradiksi. Jika tidak mungkin, wajib meneliti dan ijtihad untuk mengutamakan salah satunya dengan cara diantara cara-cara tarjih. Jika ini dan itu tidak mungkin, dan diketahui sejarah datangnya, maka ditangguhkan dua nash itu.
Para ulama ushul telah merumuskan tahapan-tahapan penyelesaian dalil-dalil yang kontradiksi yang bertolak pada suatu prinsip yang tertuang dalam kaidah sebagai berikut: “Mengamalkan dua dalil yang berbenturan itu lebih baik daripada meninggalkan keduanya“.
Dari kaidah di atas dapat dirumuskan tahapan penyelesaian dalil-dalil yang berbenturan serta cara-caranya sebagai berikut:
1.         Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi.
2.         Mengamalkan satu di antara dua dalil yang kontradiksi.
3.         Meninggalkan dua dalil yang kontradiksi.

Adapun pembahasan dari tahapan-tahapan di atas adalah sebagai berikut:
·           Mengamalkan dua dalil yang kontradiksi (al-Jam’u wa al-Taufiq), dapat ditempuh dengan cara:
a.    Jam’u wa Taufiq (kompromi). Maksudnya adalah mempertemukan dan mendekatkan dalil-dalil yang diperkirakan berbenturan atau menjelaskan kedudukan hukum yang ditunjuk oleh kedua dalil tersebut, sehingga tidak terlihat lagi adanya kontradiksi.
b.    Takhsis, yaitu jika dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu di antara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.

·           Mengamalkan satu dalil di antara dua dalil yang berbenturan
Bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat dikompromikan atau ditakhsis, maka kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan keduanya. Dengan demikian hanya satu dalil yang dapat diamalkan. Usaha penyelesaian dalam bentuk ini dapat ditempuh dengan cara:
1.    Nasakh. Maksudnya apabila dapat diketahui secara pasti bahwa satu di antara dua dalil yang kontradiksi itu lebih dahulu turun atau lebih dahulu berlakunya, sedangkan dalil yang satu lagi belakangan turunnya, maka dalil yang datang belakangan itu dinyatakan berlaku untuk seterusnya, sedangkan dalil yang lebih dulu dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku lagi.
2.    Tarjih. Maksudnya adalah apabila di antara dua dalil yang diduga berbenturan tidak diketahui mana yang belakangan turun atau berlakunya, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan nasakh, namun ditemukan banyak petunjuk yang menyatakan bahwa salah satu di antaranya lebih kuat dari pada yang lain, maka diamalkanlah dalil yang disertai petunjuk yang menguatkan itu, dan dalil yang lain ditinggalkan.
3.    Takhyir. Maksudnya bila dua dalil yang berbenturan tidak dapat ditempuh secara nasakh dan tarjih, namun kedua dalil itu masih mungkin untuk diamalkan, maka penyelesaiannya ditempuh dengan cara memilih salah satu diantara dua dalil itu untuk diamalkan, sedangkan yang lain tidak diamalkan.

·           Meninggalkan dua dalil yang berbenturan
Bila penyelesaian dua dalil yang dipandang berbenturan itu tidak mampu diselesaikan dengan dua cara di atas, maka ditempuh dengan cara ketiga, yaitu dengan meninggalkan dua dalil tersebut. Adapun cara meninggalkan kedua dalil yang berbenturan itu ada dua bentuk, yaitu:
1.    Tawaquf (menangguhkan), menangguhkan pengamalan dalil tersebut sambil menunggu kemungkinan adanya petunjuk lain untuk mengamalkan salah satu di antara keduanya.
2.    Tasaquth (saling berguguran), meninggalkan kedua dalil tersebut dan mencari dalil yang lain untuk diamalkan.

·           Cara Penyelesaian Ta’arudl Al-Adillah Menurut Syafi'iyyah
Adapun cara penyelesaian dua dalil yang bertentangan menurut ulama Syafi'iyyah adalah sebagai berikut:
a.        Jam'u wa al-Taufiq
Ulama Syafi'iyyah menyatakan bahwa metode pertama yang harus ditempuh adalah mengumpulkan dan mengkompromikan kedua dalil tersebut; sekalipun dari satu sisi saja. Alasan mereka adalah kaidah fiqih yang dikemukakan Hanafiyyah di atas yaitu "mengamal­kan kedua dalil itu lebih baik daripada meninggalkan salah satu di antaranya." Mengamalkan kedua dalil; sekalipun dari satu segi, menurut mereka ada tiga cara, yaitu:
1)   Apabila kedua hukum yang bertentangan itu bisa dibagi, maka di­lakukan cara pembagian yang sebaik-baiknya. Apabila, dua orang sa­ling menyatakan bahwa rumah "A" adalah miliknya maka kedua per­nyataan itu jelas bertentangan yang sulit untuk diselesaikan, karena pemilikan terhadap sesuatu sifatnya menyeluruh. Akan tetapi, kare­na barang yang dipersengketakan adalah barang yang bisa dibagi, maka penyelesaiannya adalah dengan membagi dua rumah tersebut.
2)   Apabila hukum yang bertentangan itu sesuatu yang berbilang, seperti sabda Rasulullah SAW yang menyatakan:Tidak (dinamakan) shalat bagi tetangga masjid kecuali di masjid. (H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal). Dalam hadits ini ada kata "tidak" yang dalam ushul fiqih mempunyai pengertian banyak, yaitu bisa berarti "tidak sah," bisa berarti "tidak sempurna" dan bisa berarti "tidak utama." Oleh sebab itu, seorang mujtahid boleh memilih salah satu pengertian mana saja, asal didukung oleh dalil lain.
3)   Apabila hukum tersebut bersifat umum yang mengandung beberapa hukum, seperti kasus 'iddah bagi wanita hamil di atas, atau kasus persaksian yang terdapat dalam hadits di atas. Surat al-Baqarab, 2: 234 bersifat umum dan surat al-Thalaq, 65: 4 bersifat khusus, maka dari satu sisi 'iddah wanita hamil ditentukan hukumnya berdasarkan kandungan surat al-Thalaq, 65: 4. Ulama Hanafiyyah menempuh cara ini dengan metode naskh, bukan melalui pengkompromian.

b.        Tarjih
Apabila pengkompromian kedua dalil itu tidak bisa dilakukan, maka seorang mujtahid boleh menguatkan salah satu dalil berdasarkan dalil yang mendukungnya. Kata tarjih yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih bisa ditempuh dengan berbagai cara. Umpamanya, dengan mentarjih dalil yang lebih banyak diriwayatkan orang dari dalil yang perawinya sedikit, bisa juga melalui pen-tarjih-an sanad (para penutur hadits), bisa melalui pen-tarjih-an dari sisi matan (lafal hadits), atau ditarjih berdasarkan indikasi lain di luar nash.



c.        Naskh
Apabila dengan cara tarjih kedua dalil tersebut tidak dapat diamalkan, maka cara ketiga yang ditempuh adalah dengan membatalkan salah satu hukum yang dikandung kedua dalil tersebut, dengan syarat harus diketa­hui mana dalil yang pertama kali datang dan mana yang datang kemudian. Dalil yang datang kemudian inilah yang diambil dan diamalkan, seperti sabda Rasulullah saw.:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فُزُوْرُوْهَا (رواه مسلم)
Adalah saya melarang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi sekarang ziarahilah. (HR. Muslim). Dalam hadits ini mudah sekali dilacak mana hukum yang pertama dan mana yang terakhir. Hukum pertama adalah tidak boleh menziarahi kubur, dan hukum terakhir adalah dibolehkan menziarahi kubur, karena 'illat (motivasi) larangan dilihat Nabi  SAW tidak ada lagi.

d.        Tasaqut al-Dalilain
Apabila cara ketiga, yaitu naskh pun tidak bisa ditempuh, maka seorang mujtahid boleh meninggalkan kedua dalil itu dan berijtihad dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah dari kedua dalil yang bertentangan tersebut. Menurut ulama Syafi'iyyah, keempat cara tersebut harus ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menyelesaikan pertentangan dua dalil secara berurutan.


















BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil uraian yang telah dipaparkan dalam pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan, yaitu: Ta’arudl al-Adillaah dapat diartikan sebagai perlawanan antara kandungan salah satu dari dua dalil yang sama derajatnya dengan kandungan dalil yang lain yang mana salah satu diantara dua dalil tersebut menafikan hukum yang ditunjuk oleh dalil yang lainnya.
Metode Syafi’iyyah dalam menyelesaikan Ta’arudh al-Adillah, yaitu secara dengan empat langkah yaitu al-Jamu wa al-Taufiq, tarjih, naskh dan tasaqut al-Dalilain. Metode Syafi’iyyah ini juga digunakan oleh ulama Malikiyyah, Hanabilah dan Zahiriyyah.

















DAFTAR KEPUSTAKAAN

Prof.Dr.H.Satria Effendi,Ushul fiqih,Jakarta:kencana.2005
Syekh Abdul Wahab Khalaf.(terjemahan kitab al ‘ilmu ushul fiqih)penterjemah:Halimudin SH(Jakarta:PT RINEKA CIPTA.2005)
Hhtp://Ta’arudh al ‘adillah.com
Powered by Blogger.