Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Monday 21 October 2013

H. M Rasyidi ( Sistem dan corak pemikiran teologi )



PENDAHULUAN

Islam sebagai agama yang utuh, mengandung  konsep yang menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai  hakikat dan tujuan hidupnya. Dorongan dan upaya untuk mengimplementasikan ajaran- ajaran Al-Quran yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik, sosial, budaya.
Sejarah mencatat bahwa diantara sekian banyak disiplin ilmu yang tumbuh dan berkembang dalam islam yang melingkupi tiga aspek yaitu tauhid, fiqh dan tasawuf yang menjadi polemik dikalangan para ulama yang menimbulkan berbagai aliran dalam islam.
Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keesaan Allah, asma (nama- nama), af’al (perbuatan- perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, jaiz, dan sifat wajib, mustahil, jaiz bagi Rasullnya. Secara objektif ilmu kalam dan ilmu tauhid itu sama yang membedakan yaitu argumentasi ilmu kalam lebih dikonsentrasikan oleh penguatan logika. Pemahaman dan penggalaman suatu ajaran yang berkembang  dalam bidang keilmuan islam tidak terlepas dari usaha pemikir-pemikir islam  yang berkaitan erat dengan peran dan fungsi keulamaan yang tumbuh dalam sejarah islam
Banyak sekali tokoh- tokoh pemikiran islam dalam teologi kalam (teologi) di indonesia seperti  H. M. Rasyidi, Harun Nasution, Nurcholas Madjid, Utomo Danajaya dan lainnya. Tokoh-tokoh diatas memiliki peran aktif dalam meningkatkan kualitas dan pencerahan kajian islam di indonesia yang menyumbangkan pemikirannya lewat buku-buku karangan mereka yang dengannya kita dapat mengetahui pandangan-pandangan mereka mengenai  aspek– aspek agama islam.


A.    Riwayat Hidup Ringkas dan Karya-karya Tulis H M Rasyidi
H.M. Rasyidi (almarhum) merupakan seorang perintis belajar ke Barat sesudah kemerdekaan. Pemikiran dan sikapnya selama ini atau sepanjang keterlibatannya secara intelektual dalam pergerakan Islam cukup diperhitungkan terutama di Indonesia. Pada waktu kecil nama yang diberikan ayahnya Atmosudigdo adalah Saridi, dilahirkan di Kotogede pada hari kamis tanggal 20 Mei 1915 M.[1]
Semenjak kecil H.M. Rasyidi hidup dalam suasana Jawa Islam dan berasal dari keluarga Abangan.[2] Rumah keluarganya berbentuk Joglo dengan ruang ampen tengah, sentong kulun, sentong wetan, emper. Kepercayaannya disamping kulon rumah dan wetan rumah, kalau hari kamis sore apalagi jum’at kliwon dan selasa kliwon, ibunya menyuruh membeli kembang untuk ditarok di pojok rumah dekat pintu dan lainnya.
Kemudian sebagaimana halnya anak-anak yang sebaya dengannya, Rasyidi mulai masuk sekolah. Pada waktu itu sekolah satu-satunya di Kotogede adalah sekolah Ongko Loro yaitu sekolah dasar yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa daerah dan kelas tertinggi adalah kelas Lima. Sementara itu pada tanggal 15 nopember 1912 didirikan perkumpulan Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad dahlan, yang menerobos sampai keperbatasan Yogyakarta. Rasyidi tidak ingat lagi mengapa perhatiannya pada waktu itu tertuju pada sekolah Muhammadiyah tersebut, akan tetapi dapat dianalisis mungkin karena di sana disamping diajarkan pelajaran agama juga pelajaran umum, mengaji dan sembahyang. Rasyidi sengat tertarik dengan sekolah tersebut hingga akhirnya dia pindah ke sekolah  yang baru berdiri tersebut.
Setelah tamat dari sekolah Muhammadiyah di Kotogede. Rasyidi meneruskan pelajaranya kweekschool Muhammadiyah di Ngabean. Setelah mendapat izin dari ayahnya Atmosudigdo,  yang menjadi kepala kweekschool pada waktu itu adalah Raden Ngabehi Djojo Sigito. Seorang pegawai pemerintah belanda yang mendapat izin mengajar di perguruan Muhammadiyah.
Sebagai anak didik Muhammadiyah, Rasyidi juga ikut menjadi anggota kepanduan “Hisbul Wathan” bercelana biru dengan kacu untuk dasi warna hijau dengan gambar matahari bersinar yang didampingi dengan tulisan “Muhamammadiyah” tiap hari minggu dia ikut latihan baris berbaris, menyanyi dengan teman- teman sesama pandu Hisbul Wathan, kadang- kadang berkejar-kejaran, di halaman Masjid Kotogede, kweekschol secara tak langsung merupakan tempat pemusatan pemuda Indonesia. Sebab murid- muridnya berasal dari berbagai kepulauan Indonesia, dari ujung Pandang, Manado, Minangkabau dan Kalimatan Barat.
Pada usia 14 tahun Rasyidi merasa berontak hatinya dengan sistem belajar yang diperolehnya. Meskipun di Kweekschool merasa bertambah ilmu umumnya, namun dia merasa kurang cocok dengan cara mengajar para ustazd di sana. Menurut dia apa yang diajarkan oleh guru agama di sana hanyalah pelajaran mengaji biasa dan kurang mendalami makna kitab yang dibacanya. Dirinya menuntut lebih dari apa yang diterimanya, dia merasa jenuh karena tiap hari harus menghafal dari itu ke itu saja.
Pada waktu luang ia membolak balik surat kabar dan majalah-majalah”swara Oemoem dan Kadjawen” langganan ayahnya. Secara kebetulan ia membaca bahwa Syekh A. Surkati pindah dari Jakarta ke lawang Jawa Timur dan membuka sekolah al – Irsyad di sana. Kemudian Rasyidi berkirim surat kepada A. Surkati dan menyatakan keinginannya untuk meneruskan pendidikan di perguruan al- Irsyad. Selang beberapa waktu kemudian diterimalah jawabannya yang mempersilahkan Rasyidi datang ke lawang. Maka dengan izin kedua orang tuanya, Rasyidi berangkat ke Jawa Timur.
Pada tahun 1931, Rasyidi berangkat pula ke Kairo bersama temannya Tahir Ibrahim, seorang putra Minangkabau anak dari Syekh Ibrahim Musa. Pengaruh lingkungan dan suasana terasa mempengaruhi Rasyidi yaitu pergolakan zaman perjuangan menuju kemerdekaan tanah air. Tetapi ia selalu ingat bahwa  tugas utamanya di Kairo adalah menuntut ilmu pengetahuan. Dia berminat akan mengambil ijazah ilmiah karena dia merasa dapat melakukan dalam tempo waktu yang singkat. Namun setelah berbincang- bincang dengan Abdul Kahar Muzakkir, dia dianjurkan untuk mencari diploma ilmiah, tetapi melanjutkan ke Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum.
Berkat tekunnya belajar dan delapan bulan kemudian dia berhasil mengantongi ijazah di Mesir dinamakan  Kaffaah.  Lalu dia keluar dari sekolah itu dengan alasan ingin mempelajari bahasa Inggeris dan Perancis secara intensif, setelah delapan bulan ia menekuni dua bahasa tersebut dia berhasil mendapat nilai “ equivalent” ia pun kembali ke sekolahnya yang lama. empat bulan kemudian Rasyidi diuji untuk masuk kelas lima, yang akhirnya delapan bulan kemudian dia berhasil meraih diploma sekolah menengah umum dan agama dan hafal al- Qur’an secara lengkap 30 juz dengan ijazah “beccalaureat”
Dengan ijazah itulah Rasyidi dapat diterima di Darl Ulum, tetapi baru setengah bulan belajar di sana, dia merasa bahwa jurusan itu tidak cocok dengan panggilan jiwanya. Akhirnya dia memilih pelajaran pada bidang filsafat dan agama di Universitas  Kairo Mesir. Rasyidi merasa beruntung dengan menetapkan pilihan pada jurusan filsafat dan Agama sebab jurusan itu masih baru dan peminatnya belum banyak, guru yang memberikan kuliah sebagian besar  adalah dosen di Universitas Sarbonne. Dengan demikian Rasyidi banyak sekali menimba ilmu dari dosennya secara langsung. Salah satu diantaranya adalah Syekh Mustafa Abdul Raziq yang pernah menjadi murid langsung dari Muhamad Abduh.[3] 
Pada tahun 1937 sewaktu sudah duduk di tingkat III, dia meminta cuti untuk menunaikan ibadah haji bersama Abdul Kahar Muzakkir. Dan pada tahun itu juga Rasyidi berhasil mendapatkan ijazah “ lincence”. Dia putra Indonesia yang berhasil lulus nomor satu setelah tujuh tahun belajar di Kairo. Maka tiba saatnya Mesir ditinggalkannya dan kembali ke tanah air.
Pada usia 19 tahun  Rasyidi sudah diikat dengan pernikahan yaitu “ nikah gantung” oleh kedua orang tua masing- masing, tujuh tahun kemudian nikah gantung itu diresmikan dengan nikah sungguhan secara Islam. Pernikahan itu dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1938 di Kotogede, perayaan dilakukan secara besar-besaran karena Siti Sa’adah merupakan putri bungsu dari haji Muzakkir.
Setelah menikah Rasyidi mengisi waktunya membantu mengajar di Madrasah Ma’ad Islamy pimpinan kiyai Haji Amir di Kotogede dan Pesantren Luhur di Solo. Ia juga menjadi anggota pengurus besar PII hasil kongres pada tanggal 11 april 1940 yang diketuai oleh Sukiman. Selain masuk partai juga menjadi anggota “Alliance Francaise”( perkumpulan Perancis) di Yogyakarta yang sebagian besar anggotanya adalah orang-orang Belanda dan yang lebih menyenangkan bagi Rasyidi adalah dengan adanyanya “  Islam Stadie Club” yang diketuai oleh Mr. Kasmat, ceramah Rasyidi yang dinilai masyarakat sangat memuaskan  yaitu tentang Isra’ Mi’raj di Islam Studi Club yang dimuat di Harian Sedyo Tomo yang terbit di Yogyakarta.
Sewaktu bertemu dengan M.r. Suwandi di kantornya di jalan Cilacap IV Jakarta, Rasyidi mengetahui bahwa kepadanya diserahkan untuk mengurus sebuah perpustakaan oleh balatentara Da’i Nippon. Perpustakaan itu diberi nama perpustakaan Islam yang menempati sebuah gedung di Tanah Abang.
Perpustakan Islam kadang- kadang oleh para Kiyai dari seluruh Jawa yang sedang dilatih oleh Shumubu ( kantor urusan agama). Shumubu yang diberikan Jepang tersebut dikepalai oleh Abdul Kahar Muzakkkir. Sebelum menjadi kepala Shumubu Abdul Kahar Mazakkir menjabat sebagai komentatoor / penyiar radio militer untuk siaran luar negeri dalam bahasa Arab. Setelah menjabat sebagai kepala Shumubu  tugas sebagai komentator diserahkan kepada Rasyidi. Sebagaimana pegawai kantor lainnya Rasyidi diajari baris - berbaris dan bahasa Jepang.
Sesudah diproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan terbentuknya kabinet Sjahrir pada tanggal 14 November 1945, dalam kabinet tersebut Rasyidi ditunjuk sebagai menteri negara yang diketahuinya lewat koran merdeka yang terbit di Jakarta, setelah lebih kurang dua bulan menjadi menteri negara kemudian ditunjuk pula menjadi menteri Agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 pimpinan pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, waktu itulah Rasyidi berpidato di RRI Yogya mengumumkan bahwa RI secara resmi mempunyai kementerian agama.
Setelah jatuhnmya kabinet Sjahrir sewaktu ada sidang KNIP di Solo, dan untuk kedua kalinya presiden Soekarno menunjuk Sjahrir sebagai formatur, dalam kabinet Sjahrir II inilah Rasyidi resmi disebut sebagai menteri Agama. Kabinet Sjahrir II ini hanya berumur tujuh bulan sepuluh hari, karena kuatnya oposisi Sjahrir maka pada tanggal 2 oktober 1946 Sjahril harus mengembalikan mandatnya kepada kepala negara.
Setelah terbentuk kabinet Sjahrir III, Rasyidi tidak ditunjuk lagi menjadi menteri Agama karena kurang disukai oleh kiyai-kiyai dari NU. Tetapi satu minggu kemudian ketika dia  berada di kampungnya Kotogede datang utusan Bung Karno membawa surat keputusan  (SK) yang menyebutkan bahwa Rasyidi ditetapkan sebagai sekretaris jenderal kementerian agama yang berkedudukan di Yogyakarta.
Peran Rasyidi dalam mengemban tugas negara terlihat sewaktu pemerintah mengambil keputusan mengirim delegasi diplomatik RI ke negara-negara Timur Tengah pada tanggal 17 maret 1947 delegasi waktu itu diketuai oleh H. Agus Salim, sedangkan Rasyidi sebagai sekretaris merangkap bendahara.
Setelah penyerahan kedaulatan RI, Rasyidi diminta datang ke Jakarta untuk konsultan. Dalam pembicaraan disepakati, bahwa Rasyidi selain Dubes untuk Mesir juga untuk Arab, berkedudukan di kairo. Setelah 2 tahun, kemudian pada tahun 1953 Rasyidi dipindahkan ke Taheran untuk menjabat Dubes RI di Iran dan Afganistan, hanya 11 bulan di sana kemudian dipanggil ke Jakarta, selanjutnya ia ditunjuk sebagai Dirjen penerangan Deplu oleh Sekjen Deparlu Mr. Sutan M. Rasyid.
Kemudian ketika Lembertus Nico Palar ditunjuk sebagai wakil tetap RI untuk PBB singgah di Kairo, dia meminta Rasyidi untuk perjalanannya ke Paris” (markas PBB waktu itu). Pada kesempatan itu Rasyidi memanfaatkan untuk datang ke Universitas Sarbone di sela-sela sidang PBB. Sekembali dari Paris timbullah semangat baginya untuk pergi kembali ke Paris, maka ia berfikir bagaimana cara mengumpulkan biaya, dan pada waktu itu datanglah seorang petugas dari “Rockefeller Foundation” yang bersedia membiayai selama 2 tahun, tapi bagi Rasyidi tidak perlu  satu tahun, tapi cukup 4 bulan saja.
Setelah belajar di sana, maka pada tanggal 23 maret 1956 Rasyidi menyelesaikan belajar di sana dengan thesis I Islam en Indonesia ou consideration critique du livre tjentini dan mendapat yudisium cum laude.[4]
Beberapa hari kemudian disaat ada kabar untuk menyatakan bahwa Rasyidi yang pernah ikut dalam partai politik Masyumi saingan NU. Pada tahun 1950 an ini, diangkat sebagai Dubes luar biasa berkuasa penuh  dari RI untuk Republik Islam pakistan berkedudukan di Karachi.   
Sejak tahun 1965 Rasyidi sudah aktif dalam rabithah alam Islami dan dia pernah ditunjuk oleh pimpinan pusat Rabithah yang berkedudukan di Jeddah, untuk mengepalai Rabithah di Indonesia. Disamping itu Rasyidi juga sebagai anggota Majelis Ta’sisi (dengan konstitusi yang beranggotakan lima puluh orang dari berbagai negara islam kecuali Iran  yang menganut faham Syi’ah).
    
Adapun karya-karya H.M. Rasyidi  berupa karangan –karangan dan juga hasil terjemahan-terjemahan Sbb:
  1. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi
  2. Filsafat Agama
  3. Islam di Indonesia Di Zaman Modern
  4.  Keutamaan Hukum Islam
  5.  Islam dan Kebatinan Islam Menentang Komunisme
  6.  Islam dan Sosialisme
  7.  Mengapa Aku tetap Memeluk Agama Islam
  8. Dari Rasyidi dan Maududi Kepada Paus Paulus VI
  9. Sikap umat Islam Indonesia terhadap Expansi Kristen
  10. Agama dan Etik Disekitar Kebatinan  Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen
  11. Empat kulia Agama Islam pada Perguruan Tinggi
  12. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
  13. Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 ( artinya bagi dunia Islam)
  14. Koreksi terhadap Dr, Harun Nasution tentang “ Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya”
  15. Bibel Qur’an dan Sains Modern ( judul Aslinya : la bible le coran et la science oleh Dr. Maurice bucaille)

B.     Latar Belakang Pemikiran H M Rasyidi
Sebagaimana diketahui setiap tindakan perilaku serta pola pikir seseorang tidak luput dari pengaruh lingkungan, baik lingkungan keluarga secara mikro maupun lingkungan tempat tinggal dan pendidikan secara Makro. Demikian juga halnya dengan Rasyidi sebagai seorang intelektual muslim yang telah menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang dianggapnya datang dari luar Islam. Dia juga dikenal sebagai seorang pengkritik yang tajam, karena analisa masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak segan-segan mengkritik seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan ia juga telah ikut membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam daya nalar sarjana muslim Indonesia.[5]
Rasyidi adalah seorang yang pendiam, cermat, sabar dan tekun, namun jiwanya menyala-nyala dan sedikit emosional. Emosi yang digugah oleh kewaspadaan yang tinggi karena cintanya pada agama, maka hatinya terasa tergelitik dan terpanggil untuk melakukan pembelaan dengan kemampuan ilmunya apabila mendengar, melihat atau membaca hal-hal yang dianggapnya merugikan dan mengurangi kesucian agama.
Dalam bukunya “ Islam dan Kebatinan” mengungkapkan kenangan kecilnya hidup ditengah masyarakat kampung di Kotogede Yogyakarta tidak jauh dari rumahnya berdiri sebuah mesjid dan maqam penembahan senopati. Di sana ada pula tempat pemandian yang dihuni oleh seekor kura-kura besar yang dianggap keramat, seorang perempuan tua yang selalu berada di maqam tersebut bertugas melaksanakan sesaji dan menyampaikan permohonan orang kepada arwah sang penembahan agar dikabulkan.[6] Hampir seluruh penduduk kotogede pemeluk agama Islam yang taat dan setiap shalat jum’at mesjid selalu penuh sesak hingga jama’ah melimpah keluar.[7]
Dalam lingkungan seperti itulah Rasyidi dilahirkan, mungkin inilah yang membuat dia sensitif dan sangat peka terhadap masalah keagamaan yang selalu melakukan pembelaaan dan mengkritik hal-hal yang dianggapnya telah merusak kemurniaan Islam. Dengan demikian dia merasa telah melakukan yang wajar dan perlu bagi kesucian agamanya yang merupakan suatu yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang sadar. Rasyidi belajar agama hingga dapat mengaji dengan fasih bahkan ia beruntung sempat berguru langsung kepada Syekh Ahmad Surkati pendiri al- Irsyad, sebelum belajar di al- Irsyad Rasyidi telah menamatkan sekolahnya di Muhammadiyah dan Kweekschool Muhammadiyah sampai kelas tiga.
Perkembangan yang menarik yang terjadi sesudah kemerdekaan adalah bersekolahnya dia mula-mula ke negara Arab atau Islam untuk menuntut ilmu agama, tetapi kemudian melanjutkan studinya ke pasca sarjana di negara Eropa atau Amerika Utara.[8] Rasyidi dan teman-temannya seperti A. Mukti Ali, Harun Nasution dan jauh kemudian menyusul Nurcholish Madjid. Mereka menekuni bidang yang sama dan dapat memperoleh kesempatan berkenalan dengan metode berpikir ilmiah Barat. Kemudian Rasyidi juga memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang banyak setelah dia menjadi tenaga pengajar di Mc Gll university. Selain itu dia juga mengikuti kuliah teologi Kristen selama satu tahun bersama sepuluh orang pendeta sehingga Rasyidi dapat mengetahui cara berpikir mereka.
Pada suatu diskusi rutin sekali seminggu, didatangkan seorang penceramah kaliber internasional yaitu Joseph Schacht, tokoh internasional ini seorang yang dianggap selalu benar dan tak dapat dibantah lagi segala apa yang disampaikannya. Para hadidrin khusunya guru Besar merasa bangga dan puas kecuali Rasyidi yang berani membantah, namun karena bantahannya itu sehingga ia sempat diperiksa dan diadili oleh direktur dan para guru besar. Karena dianggap telah menghina wibawa pemimpin orientalis tersebut. Setelah kebenaran berada dipihak Rasyidi, dia berkeyakinan bahwa yang fanatik adalah orang-orang Barat bukan kaum muslimin. Usaha yang dilakukan Rasyidi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya “ Islam dan Tantangan Zaman” bahwa pada pundak mereka Mujtahid” terletak kewajiban menjelaskan hukum Islam. Dan inilah penggerak dalam Islam.[9]
Pemikiran Rasyidi mungkin juga dilatarbelakangi oleh keterlibatannya sebagai penterjemah. Dia mengekpresikan pandangannya lewat pikiran-pikiran Barat. Tetapi dengan tidak lupa membuat catatan kaki dan sifatnya mengoreksi pandangan-pandangan atau interpretasi  yang dianggapnya keliru.[10]  Di luar koreksi itu Rasyidi mengidentifikasikan dirinya dalam buku yang diterjemahkan tersebut. Maka dengan demikian dia bukan seorang penterjemah yang profesional, tetapi juga seorang pemikir yang patut diperhatikan.
C.    Pemikiran H M Rasyidi
1.   Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu
Dalam Islam akal mempunyai kedudukan yang sangat penting  untuk kehidupan manusia. Menurut Dr. H.M. Rasjidi dalam Filsafat Agama, hingga sekarang yang berlaku dalam dunia Islam ialah, bahwa Tuhan telah memberi akal kepada manusia sehingga dengan akal itu manusia dapat memikirkan hal-hal yang melingkunginya dengan alam kehidupannya dan akhirnya ia dapat mengetahui dengan akalnya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, kemudian Tuhan menambah suatu hal baru, yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang yang diangkatnya sebagai utusan-Nya diantaranya kepada nabi Musa AS, Nabi Isa AS dan yang terakhir kepada nabi Muhammad SAW.
Tentang akal, beliau berpendapat bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk, hal ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat Barat.[11] Dengan menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang dipahami oleh Muhamad Abduh dan yang dikembangkan oleh Harun Nasution di Indonesia. Bagi Mu’tazilah akal hanya bisa mengetahuai empat persoalan yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik buruk, kewajiban mengetahui baik buruk.

2.         Perbuatan manusia
Untuk menjelaskan tentang perbuatan manusia menurut H.M. Rasyidi, perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa manusia keseluruhan punya hak dan kebebasan dalam kehidupan. Persoalannya adalah manusia sekarang ini tidak mendapatkan hak dan kebebasan tersebut karena keadilan yang tidak tegak, seperti yang digambarkan oleh H.M. Rasyidi dalam buku Empat Kuliha Agama Islam Pada Perguruan Tinggi. Dalam zaman yang tidak menentu seperti sekarang ini, banyak orang bingung karena pelaksanan hukum tidak sesuai dengan yang semestinya. Seperti ada orang yang terang-terangan salah menurut hukum, tetapi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu mereka dibebaskan dari tuntutan. Sebaliknya ada orang yang jujur bekerja sebagai seorang warga negara yang taat dan cinta pada negara. Namun dengan kejujurannya itu membuat orang tidak senang. Sehingga ia kadang-kadang dilecehkan oleh orang lain.[12]
Penggambaran yang disampaikan Rasyidi di atas, secara praktis masih terdapat di Indonesia pada zaman sekarang seperti yang kita lihat dalam media elektronik dan media masa yang begitu banyak kasus yang tidak sesuai dengan hukum yang semestinya. Contohnya nenek yang miskin mengambil biji buah coklat yang tidak bermaksud untuk mencuri disidang dan dihukum penjara. Namun banyak orang kaya yang jelas-jelas mencuri uang negara ( korupsi) ratusan Milyar hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa manusia mempunyai hak dan kebebasan dalam kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik yang diingininya. Begitu pula halnya kebebasan dalam beragama. Berdasarkan informasi dan pedoman dari Al-Qur’an bahwa manusia itu bebas untuk memilih kepercayaan sesuai keyakinannya karena tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama.[13] Seperti yang terdapat dalam  al- Qur’an
a.       al-Baqarah (2: 256)
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas  jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui
3.     Konsep Iman
Konsep iman merupakan konsep dasar dalam kajian teologi Islam dan iman kepada Allah wajib dan dasar  utama dalam aqidah Islam. Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti fasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq yaitu menerima apa yang disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran ini iman mesti mempunyai pengertian aktif.[14]
Pemahaman tentang konsep iman menurut H.M. Rasyidi, penulis mencoba menganalisis tulisan beliau dalam buku koreksi atas tulisan Drs. Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi. Yang intinya beliau menolak faham Cak Nur yang menganggap akal itu mutlak dalam bidang – bidang kehidupan dunia. Hal ini beliau bandingkan dengan kemutlakan fikiran pada filsafat Yunani yang dimulai dari Socrates kemudian pada zaman pertengahan ketika Gereja Katolik berkuasa pada abad 13. Bahwa yang perlu adalah iman bukan fikiran sebagai semboyan pada zaman pertengahan “ Credo Ut Intelligam” yang artinya aku percaya agar aku dapat mengerti, bukan aku mengerti, maka aku percaya.[15]



[1] Mohamad Herry, Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, ( Jakarta: Gema Insani, 2006),  hal. 79
[2] Abangan adalah yang mewakili suatu titik berat pada Aspek animisme dari singkrifisme jawa yang melingkupi semuanya dan secar luas dihubungkan dengan elemen petani, lihat Clifford Geertz, Abangan Santri, priyayi dalam masyarakt Jawa ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 8
[3] Mohammad Herry, Op.Cit., hal. 81
[4] Ibid., hal. 82
[5]  Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia ( Pola Pikir Gagasan Kiprah dan Falsafah), (Jakarta : Restu Ilahi, 2005), hal. 103
[6] H.M. Rasyidi, Islam dan Kebatinan  (Jakarta : Yayasan Islam Studi Club Indonesia, 1967),  hal. 5
[7] Ibid

[8] M. Dawam Raharjo,  Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa ( Bandung : Mizan, 1996), cet ke-3, hal. 56  
[9] Murtadhah Muthahhari,  Islam dan Tantangan Zaman ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke- 1, hal. 163  
[10] M. Dawan,  Op.Cit., hal. 61
[11] H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang” Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya “, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977), hal. 52
[12] H.M. Rasyidi. Op. Cit., hal. 17
[13] Ibid., hal. 105-106
[14] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.Cit. hal. 147
 [15] H.M. Rasyidi. Sekulerisasi Dalam Persoalan Lagi, Suatu  Koreksi atas tulisan  Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekulerisasi, (Jakarta : yayasan Bangkit, 1972),  hal. 34
 



0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.