PENDAHULUAN
Islam sebagai agama yang utuh, mengandung konsep yang
menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan manusia dalam mencapai hakikat
dan tujuan hidupnya. Dorongan dan upaya untuk mengimplementasikan ajaran-
ajaran Al-Quran yang terkandung dalam Al-Quran dan hadis tidak dapat dilepaskan
dari perkembangan politik, sosial, budaya.
Sejarah mencatat bahwa diantara sekian banyak disiplin ilmu
yang tumbuh dan berkembang dalam islam yang melingkupi tiga aspek yaitu tauhid,
fiqh dan tasawuf yang menjadi polemik dikalangan para ulama yang menimbulkan
berbagai aliran dalam islam.
Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keesaan Allah,
asma (nama- nama), af’al (perbuatan- perbuatan) Allah yang wajib, mustahil,
jaiz, dan sifat wajib, mustahil, jaiz bagi Rasullnya. Secara objektif ilmu
kalam dan ilmu tauhid itu sama yang membedakan yaitu argumentasi ilmu kalam
lebih dikonsentrasikan oleh penguatan logika. Pemahaman dan penggalaman suatu
ajaran yang berkembang dalam bidang keilmuan islam tidak terlepas dari
usaha pemikir-pemikir islam yang berkaitan erat dengan peran dan fungsi
keulamaan yang tumbuh dalam sejarah islam
Banyak sekali tokoh- tokoh pemikiran islam dalam teologi
kalam (teologi) di indonesia seperti H. M. Rasyidi, Harun Nasution,
Nurcholas Madjid, Utomo Danajaya dan lainnya. Tokoh-tokoh diatas memiliki peran
aktif dalam meningkatkan kualitas dan pencerahan kajian islam di indonesia yang
menyumbangkan pemikirannya lewat buku-buku karangan mereka yang dengannya kita
dapat mengetahui pandangan-pandangan mereka mengenai aspek– aspek agama
islam.
A.
Riwayat Hidup Ringkas dan Karya-karya Tulis H M Rasyidi
H.M. Rasyidi (almarhum)
merupakan seorang perintis belajar ke Barat sesudah kemerdekaan. Pemikiran dan
sikapnya selama ini atau sepanjang keterlibatannya secara intelektual dalam
pergerakan Islam cukup diperhitungkan terutama di Indonesia. Pada waktu kecil
nama yang diberikan ayahnya Atmosudigdo adalah Saridi, dilahirkan di Kotogede
pada hari kamis tanggal 20 Mei 1915 M.[1]
Semenjak kecil H.M. Rasyidi
hidup dalam suasana Jawa Islam dan berasal dari keluarga Abangan.[2]
Rumah keluarganya berbentuk Joglo dengan ruang ampen tengah, sentong kulun,
sentong wetan, emper. Kepercayaannya disamping kulon rumah dan wetan rumah,
kalau hari kamis sore apalagi jum’at kliwon dan selasa kliwon, ibunya menyuruh
membeli kembang untuk ditarok di pojok rumah dekat pintu dan lainnya.
Kemudian sebagaimana halnya
anak-anak yang sebaya dengannya, Rasyidi mulai masuk sekolah. Pada waktu itu
sekolah satu-satunya di Kotogede adalah sekolah Ongko Loro yaitu sekolah dasar
yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa daerah dan kelas tertinggi adalah
kelas Lima. Sementara itu pada tanggal 15 nopember 1912 didirikan perkumpulan
Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad dahlan, yang menerobos sampai keperbatasan
Yogyakarta. Rasyidi tidak ingat lagi mengapa perhatiannya pada waktu itu
tertuju pada sekolah Muhammadiyah tersebut, akan tetapi dapat dianalisis
mungkin karena di sana disamping diajarkan pelajaran agama juga pelajaran umum,
mengaji dan sembahyang. Rasyidi sengat tertarik dengan sekolah tersebut hingga
akhirnya dia pindah ke sekolah yang baru
berdiri tersebut.
Setelah tamat dari sekolah
Muhammadiyah di Kotogede. Rasyidi meneruskan pelajaranya kweekschool
Muhammadiyah di Ngabean. Setelah mendapat izin dari ayahnya Atmosudigdo, yang menjadi kepala kweekschool pada waktu
itu adalah Raden Ngabehi Djojo Sigito. Seorang pegawai pemerintah belanda yang
mendapat izin mengajar di perguruan Muhammadiyah.
Sebagai anak didik
Muhammadiyah, Rasyidi juga ikut menjadi anggota kepanduan “Hisbul Wathan”
bercelana biru dengan kacu untuk dasi warna hijau dengan gambar matahari
bersinar yang didampingi dengan tulisan “Muhamammadiyah” tiap hari minggu dia
ikut latihan baris berbaris, menyanyi dengan teman- teman sesama pandu Hisbul
Wathan, kadang- kadang berkejar-kejaran, di halaman Masjid Kotogede,
kweekschol secara tak langsung merupakan tempat pemusatan pemuda Indonesia.
Sebab murid- muridnya berasal dari berbagai kepulauan Indonesia, dari ujung
Pandang, Manado, Minangkabau dan Kalimatan Barat.
Pada usia 14 tahun Rasyidi
merasa berontak hatinya dengan sistem belajar yang diperolehnya. Meskipun di
Kweekschool merasa bertambah ilmu umumnya, namun dia merasa kurang cocok dengan
cara mengajar para ustazd di sana. Menurut dia apa yang diajarkan oleh guru agama
di sana hanyalah pelajaran mengaji biasa dan kurang mendalami makna kitab yang
dibacanya. Dirinya menuntut lebih dari apa yang diterimanya, dia merasa jenuh
karena tiap hari harus menghafal dari itu ke itu saja.
Pada waktu luang ia membolak
balik surat kabar dan majalah-majalah”swara Oemoem dan Kadjawen”
langganan ayahnya. Secara kebetulan ia membaca bahwa Syekh A. Surkati pindah
dari Jakarta ke lawang Jawa Timur dan membuka sekolah al – Irsyad di sana.
Kemudian Rasyidi berkirim surat kepada A. Surkati dan menyatakan keinginannya
untuk meneruskan pendidikan di perguruan al- Irsyad. Selang beberapa waktu
kemudian diterimalah jawabannya yang mempersilahkan Rasyidi datang ke lawang.
Maka dengan izin kedua orang tuanya, Rasyidi berangkat ke Jawa Timur.
Pada tahun 1931, Rasyidi
berangkat pula ke Kairo bersama temannya Tahir Ibrahim, seorang putra
Minangkabau anak dari Syekh Ibrahim Musa. Pengaruh lingkungan dan suasana
terasa mempengaruhi Rasyidi yaitu pergolakan zaman perjuangan menuju
kemerdekaan tanah air. Tetapi ia selalu ingat bahwa tugas utamanya di Kairo adalah menuntut ilmu
pengetahuan. Dia berminat akan mengambil ijazah ilmiah karena dia merasa dapat
melakukan dalam tempo waktu yang singkat. Namun setelah berbincang- bincang
dengan Abdul Kahar Muzakkir, dia dianjurkan untuk mencari diploma ilmiah,
tetapi melanjutkan ke Sekolah Guru Tinggi bahasa Arab yang bernama Darul Ulum.
Berkat tekunnya belajar dan
delapan bulan kemudian dia berhasil mengantongi ijazah di Mesir dinamakan Kaffaah. Lalu dia keluar dari sekolah itu dengan alasan
ingin mempelajari bahasa Inggeris dan Perancis secara intensif, setelah delapan
bulan ia menekuni dua bahasa tersebut dia berhasil mendapat nilai “
equivalent” ia pun kembali ke sekolahnya yang lama. empat bulan kemudian
Rasyidi diuji untuk masuk kelas lima, yang akhirnya delapan bulan kemudian dia
berhasil meraih diploma sekolah menengah umum dan agama dan hafal al- Qur’an
secara lengkap 30 juz dengan ijazah “beccalaureat”
Dengan ijazah itulah Rasyidi
dapat diterima di Darl Ulum, tetapi baru setengah bulan belajar di sana, dia
merasa bahwa jurusan itu tidak cocok dengan panggilan jiwanya. Akhirnya dia
memilih pelajaran pada bidang filsafat dan agama di Universitas Kairo Mesir. Rasyidi merasa beruntung dengan
menetapkan pilihan pada jurusan filsafat dan Agama sebab jurusan itu masih baru
dan peminatnya belum banyak, guru yang memberikan kuliah sebagian besar adalah dosen di Universitas Sarbonne. Dengan
demikian Rasyidi banyak sekali menimba ilmu dari dosennya secara langsung. Salah
satu diantaranya adalah Syekh Mustafa Abdul Raziq yang pernah menjadi murid
langsung dari Muhamad Abduh.[3]
Pada tahun 1937 sewaktu
sudah duduk di tingkat III, dia meminta cuti untuk menunaikan ibadah haji
bersama Abdul Kahar Muzakkir. Dan pada tahun itu juga Rasyidi berhasil
mendapatkan ijazah “ lincence”. Dia putra Indonesia yang berhasil lulus
nomor satu setelah tujuh tahun belajar di Kairo. Maka tiba saatnya Mesir
ditinggalkannya dan kembali ke tanah air.
Pada usia 19 tahun Rasyidi sudah diikat dengan pernikahan yaitu
“ nikah gantung” oleh kedua orang tua masing- masing, tujuh tahun kemudian
nikah gantung itu diresmikan dengan nikah sungguhan secara Islam. Pernikahan
itu dilaksanakan pada tanggal 26 Oktober 1938 di Kotogede, perayaan dilakukan
secara besar-besaran karena Siti Sa’adah merupakan putri bungsu dari haji
Muzakkir.
Setelah menikah Rasyidi
mengisi waktunya membantu mengajar di Madrasah Ma’ad Islamy pimpinan kiyai Haji
Amir di Kotogede dan Pesantren Luhur di Solo. Ia juga menjadi anggota pengurus
besar PII hasil kongres pada tanggal 11 april 1940 yang diketuai oleh Sukiman.
Selain masuk partai juga menjadi anggota “Alliance Francaise”(
perkumpulan Perancis) di Yogyakarta yang sebagian besar anggotanya adalah
orang-orang Belanda dan yang lebih menyenangkan bagi Rasyidi adalah dengan
adanyanya “ Islam Stadie Club”
yang diketuai oleh Mr. Kasmat, ceramah Rasyidi yang dinilai masyarakat sangat
memuaskan yaitu tentang Isra’ Mi’raj di Islam
Studi Club yang dimuat di Harian Sedyo Tomo yang terbit di Yogyakarta.
Sewaktu bertemu dengan M.r.
Suwandi di kantornya di jalan Cilacap IV Jakarta, Rasyidi mengetahui bahwa
kepadanya diserahkan untuk mengurus sebuah perpustakaan oleh balatentara Da’i
Nippon. Perpustakaan itu diberi nama perpustakaan Islam yang menempati sebuah
gedung di Tanah Abang.
Perpustakan Islam kadang-
kadang oleh para Kiyai dari seluruh Jawa yang sedang dilatih oleh Shumubu (
kantor urusan agama). Shumubu yang diberikan Jepang tersebut dikepalai oleh
Abdul Kahar Muzakkkir. Sebelum menjadi kepala Shumubu Abdul Kahar Mazakkir
menjabat sebagai komentatoor / penyiar radio militer untuk siaran luar negeri
dalam bahasa Arab. Setelah menjabat sebagai kepala Shumubu tugas sebagai komentator diserahkan kepada
Rasyidi. Sebagaimana pegawai kantor lainnya Rasyidi diajari baris - berbaris
dan bahasa Jepang.
Sesudah diproklamirkan
kemerdekaan Indonesia dan terbentuknya kabinet Sjahrir pada tanggal 14 November
1945, dalam kabinet tersebut Rasyidi ditunjuk sebagai menteri negara yang
diketahuinya lewat koran merdeka yang terbit di Jakarta, setelah lebih kurang
dua bulan menjadi menteri negara kemudian ditunjuk pula menjadi menteri Agama.
Pada tanggal 3 Januari 1946 pimpinan pemerintah RI pindah dari Jakarta ke
Yogyakarta, waktu itulah Rasyidi berpidato di RRI Yogya mengumumkan bahwa RI
secara resmi mempunyai kementerian agama.
Setelah jatuhnmya kabinet
Sjahrir sewaktu ada sidang KNIP di Solo, dan untuk kedua kalinya presiden
Soekarno menunjuk Sjahrir sebagai formatur, dalam kabinet Sjahrir II inilah
Rasyidi resmi disebut sebagai menteri Agama. Kabinet Sjahrir II ini hanya
berumur tujuh bulan sepuluh hari, karena kuatnya oposisi Sjahrir maka pada
tanggal 2 oktober 1946 Sjahril harus mengembalikan mandatnya kepada kepala
negara.
Setelah terbentuk kabinet
Sjahrir III, Rasyidi tidak ditunjuk lagi menjadi menteri Agama karena kurang
disukai oleh kiyai-kiyai dari NU. Tetapi satu minggu kemudian ketika dia berada di kampungnya Kotogede datang utusan
Bung Karno membawa surat keputusan (SK)
yang menyebutkan bahwa Rasyidi ditetapkan sebagai sekretaris jenderal
kementerian agama yang berkedudukan di Yogyakarta.
Peran Rasyidi dalam
mengemban tugas negara terlihat sewaktu pemerintah mengambil keputusan mengirim
delegasi diplomatik RI ke negara-negara Timur Tengah pada tanggal 17 maret 1947
delegasi waktu itu diketuai oleh H. Agus Salim, sedangkan Rasyidi sebagai
sekretaris merangkap bendahara.
Setelah penyerahan
kedaulatan RI, Rasyidi diminta datang ke Jakarta untuk konsultan. Dalam
pembicaraan disepakati, bahwa Rasyidi selain Dubes untuk Mesir juga untuk Arab,
berkedudukan di kairo. Setelah 2 tahun, kemudian pada tahun 1953 Rasyidi
dipindahkan ke Taheran untuk menjabat Dubes RI di Iran dan Afganistan, hanya 11
bulan di sana kemudian dipanggil ke Jakarta, selanjutnya ia ditunjuk sebagai
Dirjen penerangan Deplu oleh Sekjen Deparlu Mr. Sutan M. Rasyid.
Kemudian ketika Lembertus
Nico Palar ditunjuk sebagai wakil tetap RI untuk PBB singgah di Kairo, dia
meminta Rasyidi untuk perjalanannya ke Paris” (markas PBB waktu itu). Pada kesempatan
itu Rasyidi memanfaatkan untuk datang ke Universitas Sarbone di sela-sela
sidang PBB. Sekembali dari Paris timbullah semangat baginya untuk pergi kembali
ke Paris, maka ia berfikir bagaimana cara mengumpulkan biaya, dan pada waktu
itu datanglah seorang petugas dari “Rockefeller
Foundation” yang bersedia membiayai selama 2
tahun, tapi bagi Rasyidi tidak perlu
satu tahun, tapi cukup 4 bulan saja.
Setelah belajar di sana, maka pada
tanggal 23 maret 1956 Rasyidi menyelesaikan belajar di sana dengan thesis I
Islam en Indonesia ou consideration critique du livre tjentini dan mendapat
yudisium cum laude.[4]
Beberapa hari kemudian disaat ada kabar untuk menyatakan
bahwa Rasyidi yang pernah ikut dalam partai politik Masyumi saingan NU. Pada
tahun 1950 an ini, diangkat sebagai Dubes luar biasa berkuasa penuh dari RI untuk Republik Islam pakistan
berkedudukan di Karachi.
Sejak tahun 1965 Rasyidi sudah aktif
dalam rabithah alam Islami dan dia pernah ditunjuk oleh pimpinan pusat Rabithah
yang berkedudukan di Jeddah, untuk mengepalai Rabithah di Indonesia. Disamping
itu Rasyidi juga sebagai anggota Majelis Ta’sisi (dengan konstitusi yang beranggotakan
lima puluh orang dari berbagai negara islam kecuali Iran yang menganut faham Syi’ah).
Adapun
karya-karya H.M. Rasyidi berupa karangan
–karangan dan juga hasil terjemahan-terjemahan Sbb:
- Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekulerisasi
- Filsafat Agama
- Islam di Indonesia Di Zaman Modern
- Keutamaan Hukum Islam
- Islam dan Kebatinan Islam Menentang Komunisme
- Islam dan Sosialisme
- Mengapa Aku tetap Memeluk Agama Islam
- Dari Rasyidi dan Maududi Kepada Paus Paulus VI
- Sikap umat Islam Indonesia terhadap Expansi Kristen
- Agama dan Etik Disekitar Kebatinan Kasus RUU Perkawinan Dalam Hubungan Islam dan Kristen
- Empat kulia Agama Islam pada Perguruan Tinggi
- Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Islam.
- Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di Jakarta 1975 ( artinya bagi dunia Islam)
- Koreksi terhadap Dr, Harun Nasution tentang “ Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya”
- Bibel Qur’an dan Sains Modern ( judul Aslinya : la bible le coran et la science oleh Dr. Maurice bucaille)
B.
Latar Belakang Pemikiran H M Rasyidi
Sebagaimana diketahui setiap
tindakan perilaku serta pola pikir seseorang tidak luput dari pengaruh
lingkungan, baik lingkungan keluarga secara mikro maupun lingkungan tempat
tinggal dan pendidikan secara Makro. Demikian juga halnya dengan Rasyidi sebagai
seorang intelektual muslim yang telah menyelamatkan dari ajaran-ajaran yang
dianggapnya datang dari luar Islam. Dia juga dikenal sebagai seorang pengkritik
yang tajam, karena analisa masalahnya yang tajam dan mendasar dia tidak
segan-segan mengkritik seorang yang dianggapnya telah salah dalam berpikir, dan
ia juga telah ikut membangkitkan pembaharuan pemikiran Islam dan mempertajam
daya nalar sarjana muslim Indonesia.[5]
Rasyidi adalah seorang yang
pendiam, cermat, sabar dan tekun, namun jiwanya menyala-nyala dan sedikit
emosional. Emosi yang digugah oleh kewaspadaan yang tinggi karena cintanya pada
agama, maka hatinya terasa tergelitik dan terpanggil untuk melakukan pembelaan
dengan kemampuan ilmunya apabila mendengar, melihat atau membaca hal-hal yang
dianggapnya merugikan dan mengurangi kesucian agama.
Dalam
bukunya “ Islam dan Kebatinan”
mengungkapkan kenangan kecilnya hidup ditengah masyarakat kampung di Kotogede
Yogyakarta tidak jauh dari rumahnya berdiri sebuah mesjid dan maqam penembahan
senopati. Di sana ada pula tempat pemandian yang dihuni oleh seekor kura-kura
besar yang dianggap keramat, seorang perempuan tua yang selalu berada di maqam
tersebut bertugas melaksanakan sesaji dan menyampaikan permohonan orang kepada
arwah sang penembahan agar dikabulkan.[6]
Hampir seluruh penduduk kotogede pemeluk agama Islam yang taat dan setiap
shalat jum’at mesjid selalu penuh sesak hingga jama’ah melimpah keluar.[7]
Dalam lingkungan seperti itulah Rasyidi
dilahirkan, mungkin
inilah yang membuat dia sensitif dan sangat peka terhadap masalah keagamaan
yang selalu melakukan pembelaaan dan mengkritik hal-hal yang dianggapnya telah
merusak kemurniaan Islam. Dengan demikian dia merasa telah melakukan yang wajar
dan perlu bagi kesucian agamanya yang merupakan suatu yang wajib dilakukan oleh
setiap muslim yang sadar. Rasyidi belajar agama hingga dapat mengaji dengan
fasih bahkan ia beruntung sempat berguru langsung kepada Syekh Ahmad Surkati
pendiri al- Irsyad, sebelum belajar di al- Irsyad Rasyidi telah menamatkan
sekolahnya di Muhammadiyah dan Kweekschool Muhammadiyah sampai kelas tiga.
Perkembangan yang menarik yang terjadi
sesudah kemerdekaan adalah bersekolahnya dia mula-mula ke negara Arab atau
Islam untuk menuntut ilmu agama, tetapi kemudian melanjutkan studinya ke pasca
sarjana di negara Eropa atau Amerika Utara.[8]
Rasyidi dan teman-temannya seperti A. Mukti Ali, Harun Nasution dan jauh
kemudian menyusul Nurcholish Madjid. Mereka menekuni bidang yang sama dan dapat
memperoleh kesempatan berkenalan dengan metode berpikir ilmiah Barat. Kemudian
Rasyidi juga memperoleh pengalaman dan pengetahuan yang banyak setelah dia menjadi tenaga
pengajar di Mc Gll university. Selain itu dia juga mengikuti kuliah teologi Kristen selama
satu tahun bersama sepuluh orang pendeta sehingga Rasyidi dapat mengetahui cara
berpikir mereka.
Pada suatu diskusi rutin sekali
seminggu, didatangkan seorang penceramah kaliber internasional yaitu Joseph
Schacht, tokoh internasional ini seorang yang dianggap selalu benar dan tak
dapat dibantah lagi segala apa yang disampaikannya. Para hadidrin khusunya guru
Besar merasa bangga dan puas kecuali Rasyidi yang berani membantah, namun
karena bantahannya itu sehingga ia sempat diperiksa dan diadili oleh direktur
dan para guru besar. Karena dianggap telah menghina wibawa pemimpin orientalis
tersebut. Setelah kebenaran berada dipihak Rasyidi, dia berkeyakinan bahwa yang
fanatik adalah orang-orang Barat bukan kaum muslimin. Usaha yang dilakukan
Rasyidi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Murtadha Muthahhari dalam bukunya
“ Islam dan Tantangan Zaman” bahwa pada pundak mereka “Mujtahid” terletak
kewajiban menjelaskan hukum Islam. Dan inilah penggerak dalam Islam.[9]
Pemikiran
Rasyidi mungkin juga dilatarbelakangi oleh keterlibatannya sebagai penterjemah.
Dia mengekpresikan pandangannya lewat pikiran-pikiran Barat. Tetapi dengan
tidak lupa membuat catatan kaki dan sifatnya mengoreksi pandangan-pandangan
atau interpretasi yang dianggapnya
keliru.[10] Di luar koreksi itu Rasyidi
mengidentifikasikan dirinya dalam buku yang diterjemahkan tersebut. Maka dengan
demikian dia bukan seorang penterjemah yang profesional, tetapi juga seorang
pemikir yang patut diperhatikan.
C. Pemikiran H M Rasyidi
1.
Kedudukan Akal dan
Fungsi Wahyu
Dalam Islam akal mempunyai
kedudukan yang sangat penting untuk
kehidupan manusia. Menurut Dr. H.M. Rasjidi dalam Filsafat
Agama, hingga sekarang yang berlaku dalam dunia Islam ialah, bahwa Tuhan
telah memberi akal kepada manusia
sehingga dengan akal itu manusia dapat memikirkan
hal-hal yang melingkunginya dengan alam kehidupannya dan akhirnya ia dapat
mengetahui dengan akalnya tentang adanya Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, kemudian
Tuhan menambah suatu hal baru, yaitu menurunkan wahyu kepada beberapa orang
yang diangkatnya sebagai utusan-Nya diantaranya kepada nabi Musa AS, Nabi Isa AS dan yang terakhir
kepada nabi Muhammad SAW.
Tentang akal, beliau
berpendapat bahwa akal tidak mampu mengetahui baik dan buruk, hal
ini dapat dibuktikan dengan munculnya aliran eksistensialisme sebagai reaksi
terhadap aliran rasionalisme dalam filsafat Barat.[11] Dengan
menganggap akal dapat mengetahui baik dan buruk berarti juga meremehkan
ayat-ayat al Qur’an. Seperti yang dipahami oleh Muhamad Abduh dan yang dikembangkan oleh Harun Nasution
di Indonesia. Bagi Mu’tazilah akal hanya
bisa mengetahuai empat persoalan yaitu mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui
Tuhan, mengetahui baik buruk, kewajiban mengetahui baik buruk.
2.
Perbuatan manusia
Untuk
menjelaskan tentang perbuatan manusia menurut H.M. Rasyidi, perlu dijelaskan
terlebih dahulu bahwa manusia keseluruhan punya hak dan kebebasan dalam
kehidupan. Persoalannya adalah manusia sekarang ini tidak mendapatkan hak dan
kebebasan tersebut karena keadilan yang tidak tegak, seperti yang digambarkan
oleh H.M. Rasyidi dalam buku Empat Kuliha Agama Islam Pada Perguruan Tinggi.
Dalam zaman yang tidak menentu seperti sekarang ini, banyak orang bingung
karena pelaksanan hukum tidak sesuai dengan yang semestinya. Seperti ada orang
yang terang-terangan salah menurut hukum, tetapi berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu mereka dibebaskan dari tuntutan. Sebaliknya
ada orang yang jujur bekerja sebagai seorang warga negara yang taat dan cinta
pada negara. Namun dengan kejujurannya itu membuat orang tidak senang. Sehingga
ia kadang-kadang dilecehkan oleh orang lain.[12]
Penggambaran yang
disampaikan Rasyidi di atas, secara praktis masih terdapat di Indonesia pada
zaman sekarang seperti yang kita lihat dalam media elektronik dan media masa
yang begitu banyak kasus yang tidak sesuai dengan hukum yang semestinya.
Contohnya nenek yang miskin mengambil biji buah coklat yang tidak bermaksud
untuk mencuri disidang dan dihukum penjara. Namun banyak orang kaya yang
jelas-jelas mencuri uang negara ( korupsi) ratusan Milyar hukuman yang
diberikan tidak setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dari penjelasan
di atas dapat dipahami bahwa manusia mempunyai hak dan kebebasan dalam
kehidupannya untuk menuju ke arah yang lebih baik yang diingininya. Begitu pula
halnya kebebasan dalam beragama. Berdasarkan informasi dan pedoman dari
Al-Qur’an bahwa manusia itu bebas untuk memilih kepercayaan sesuai keyakinannya
karena tidak ada paksaan untuk memeluk suatu agama.[13] Seperti yang terdapat
dalam al- Qur’an
a.
al-Baqarah
(2: 256)
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ
Artinya:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang
tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui
3. Konsep Iman
Konsep iman merupakan konsep
dasar dalam kajian teologi Islam dan iman kepada Allah wajib dan dasar utama dalam aqidah Islam. Dalam aliran-aliran
yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan,
iman tidak bisa mempunyai arti fasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq
yaitu menerima apa yang disampaikan orang sebagai benar. Bagi aliran ini iman
mesti mempunyai pengertian aktif.[14]
Pemahaman tentang konsep iman menurut H.M. Rasyidi,
penulis mencoba menganalisis tulisan beliau dalam buku koreksi atas tulisan
Drs. Nurcholish Madjid tentang sekulerisasi. Yang intinya beliau menolak
faham Cak Nur yang menganggap akal itu mutlak dalam bidang – bidang kehidupan
dunia. Hal ini beliau bandingkan dengan kemutlakan fikiran pada filsafat Yunani
yang dimulai dari Socrates kemudian pada zaman pertengahan ketika Gereja
Katolik berkuasa pada abad 13. Bahwa yang perlu adalah iman bukan fikiran
sebagai semboyan pada zaman pertengahan “ Credo Ut Intelligam” yang
artinya aku percaya agar aku dapat mengerti, bukan aku mengerti, maka aku
percaya.[15]
[2] Abangan
adalah yang mewakili suatu titik berat pada Aspek animisme dari singkrifisme
jawa yang melingkupi semuanya dan secar luas dihubungkan dengan elemen petani,
lihat Clifford Geertz, Abangan Santri, priyayi dalam masyarakt Jawa (
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hal. 8
[5] Romdoni Muslim, 72 Tokoh Muslim Indonesia ( Pola
Pikir Gagasan Kiprah dan Falsafah), (Jakarta : Restu Ilahi, 2005), hal. 103
[8] M. Dawam
Raharjo, Intelektual Intelegensia dan
Perilaku Politik Bangsa ( Bandung : Mizan, 1996), cet ke-3, hal. 56
[9] Murtadhah Muthahhari, Islam dan Tantangan Zaman ( Bandung :
Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke- 1, hal. 163
[11] H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, tentang” Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya “, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1977), hal.
52
[12] H.M. Rasyidi. Op. Cit., hal. 17
[13] Ibid., hal. 105-106
[14] Harun Nasution, Teologi Islam, Op.Cit. hal. 147
0 comments:
Post a Comment