1. Mohammad Hatta
H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 12 Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur
77 tahun) adalah pejuang, negarawan, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang
pertama. Ia mundur dari jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih
dengan Presiden Soekarno. Hatta dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Hatta lahir dari keluarga
ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di Sekolah
Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan studinya ke Europeesche
Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13 tahun, sebenarnya ia telah
lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA) di Batavia (kini Jakarta), namun
ibunya menginginkan Hatta agar tetap di Padang dahulu, mengingat usianya yang
masih muda. Akhirnya Bung Hatta melanjutkan studi ke MULO di Padang. Baru pada
tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah Tinggi Dagang "Prins
Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan hasil sangat baik, dan
pada tahun 1921, Bung Hatta pergi ke Rotterdam, Belanda untuk belajar ilmu
perdagangan/bisnis di Nederland Handelshogeschool (bahasa inggris: Rotterdam
School of Commerce, kini menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian
tinggal selama 11 tahun.
2. Mohammad Yamin
Mr. Prof. Muhammad Yamin,
SH (lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 – meninggal
di Jakarta, 17 Oktober 1962 pada umur 59 tahun) adalah seorang pahlawan
nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Talawi, Sawahlunto
Dilahirkan di Kota
Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada
dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan.
Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong
Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya
yang awal masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin
muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ;
maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan
himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti
Nurbaya, novel modern pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun
yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang
Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun
.
Pada tahun 1932, Yamin
memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam
bidang hukum di Jakarta sehingga tahun 1942. Karier politiknya dimulai dan
beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II
menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa
gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak
supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh
itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan
inovatif.
Semasa pendudukan Jepang
antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas pada Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepang. Pada tahun
1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru mencakup
Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah
Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPK menyokong Yamin.
Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan
Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.
3. A.A. Navis
Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatra Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami.
Dunia sastra Indonesia
kehilangan salah seorang sastrawan besar. Navis telah lama mengidap komplikasi
jantung, asma dan diabetes. Dua hari sebelum meninggal dunia, ia masih meminta
puterinya untuk membalas surat kepada Kongres Budaya Padang bahwa dia tidak
dbisa ikut Kongres di Bali. Serta minta dikirimkan surat balasan bersedia untuk
mencetak cerpen terakhir kepada Balai Pustaka. Ia meninggalkan satu orang
isteri, Aksari Yasin, yang dinikahi tahun 1957 dan tujuh orang anak yakni; Dini
Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan
Rika Anggraini, serta 13 cucu. Ia dikebumikan di Taman Pemakaman Umum (TPU)
Tunggul Hitam, Padang.
4. Agus Salim
Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela
kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8
Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70
tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Agus Salim lahir dari
pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya adalah seorang
kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh
di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa,
kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia
berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim
bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan
di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada
Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke
dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II.
Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan
dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung
hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan
Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di
Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem
(AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai
pemimpin Sarekat Islam.
5. Yahya Dt. Kayo
Dia diberi nama Yahya. Mengapa diberi nama oleh keluarganya yang kebetulan nama itu mengingatkan kita akan nama nabi-nabi. Kita tidak tahu. Cobalah renungkan nama-nama dua mamaknya yang terdahulu, Ibrahim dan Ismail. Dua-duanya jadi laras di IV Koto, Agam Tua. Sedangkan mamaknya yang gagal jadi Laras, namanya Lanjadin Katib Besar1, bukan bernama seperti nama nabi. Sewaktu dia lahir, baru dua tahun Jabatan Laras disandang oleh Tuanku Janaid St Dinegeri. Apakah memang nama Yahya telah di persiapkan agar jadi Laras? Walluhualam. Dia adalah putera sejati, artinya bapak dan ibunya orang Koto Gadang, yang di lahirkan di tengah-tengah kampung Koto Gadang pada 1 Augustus 1874, 10 tahun lebih dahulu dari kelahiran Haji Agus Salim. Ibunya bernama Bani, dan Bapaknya bernama Pinggir dari pesukuan Sikumbang. Di masa kecilnya telah dididik agar dianya sangat cinta kepada negerinya Koto Gadang, segala sesuatunya diperhatikannya dan di selidikinya benar-benar.
6. Rohana Kudus
Rohana Kudus (lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 –
meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun) adalah wartawan
Indonesia. Ia lahir dari ayahnya yang bernama Rasjad Maharaja Soetan dan ibunya
bernama Kiam. Rohana Kudus adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana
Menteri Indonesia yang pertama dan juga mak tuo (bibi) dari penyair
terkenal Chairil Anwar. Ia pun adalah sepupu H. Agus Salim. Rohana hidup di
zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat
pendidikan yang baik sangat dibatasi. Ia adalah perdiri surat kabar perempuan
pertama di Indonesia.
Rohana adalah seorang
perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum
perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan
yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk
mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan
kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan
ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam Umur yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
7. Syarifah Nawawi
Syarifah lahir di Bukittinggi sekitar tahun 1896, anak dari Guru Nawawi gelar Soetan Ma’moer (1859-1928), seorang guru pribumi yang terkenal di Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi pada zaman kolonial. Nawawi menikah dengan seorang wanita Minang bernama Chatimah, istrinya satu-satunya. Dari perkawinan itu ia beroleh 9 anak: 6 laki-laki dan 3 perempuan.
Waktu Jepang masuk,
Syarifah mengundurkan diri sebagai direktur Sekolah Kemajuan Istri. Mien
Soedarpo (1994:53) menulis tentang kegiatan ibunya setelah itu: “Ia tetap
[mengabdikan hidupnya] untuk memajukan pendidikan wanita dan anak-anak. Ibu
aktif di Fujinkai, organisasi umum wanita yang ditopang oleh Jepang, ia
kemudian aktif di Perwari, organisasi wanita yang didirikan tahun 1945. Di
samping [itu], ia meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberikan pengajaran
kepada anak-anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya
pendidikan.” Bahkan ia “menyulap” rumahnya menjadi sekolah.
Syarifah Nawawi meninggal
di Jakarta tgl. 17 April 1988 dalam usia 91 tahun. Anak-anaknya merawatnya
sampai akhir hayatnya. Sumbangan Syarifah bagi perbaikan pendidikan wanita di
tanah air diakui umum. Ia juga simbol emansipasi kaum wanita Minang—bukan
emansipasi semu yang dibungkus mamangan adat dan pepatah petitih yang elok
bunyinya itu. Syarifah menerima piagam penghargaan atas dedikasinya yang tak
kenal pamrih bagi anak-anak perempuan yang putus sekolah. Potretnya tergantung
di gedung Panti Trisula Perwari sebagai pengakuan atas jasa-jasanya.
8. Buya HAMKA
Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan
namanya, (lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari
1908 – meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun) adalah sastrawan
Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.
HAMKA (1908-1981), adalah
akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia
adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal
di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau,
Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau
dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik
Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat
menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki
Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal.
Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan
Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Soerjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki
Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato
yang handal.
9. Chairil Anwar
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ibunya bernama Solehah, Lahir di Situjuh, Payakumbuh dan ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Payakumbuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia.
Chairil meninggal di
Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si
Binatang Jalang" (dari karyanya yang berjudul Aku [2]) adalah
penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan
oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
10. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 –
meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun) adalah perdana
menteri kelima, pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan salah
seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia.
Ayah Natsir bekerja sebagai
pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya seorang ulama.
Natsir merupakan pemangku adat untuk kaumnya yang berasal dari Maninjau, Agam
dengan gelar Datuk Sinaro Panjang. Ketika kecil, Natsir belajar di HIS Solok serta
di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun
1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian
melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir
berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin
Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir
berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persis.
Dengan keunggulan spritualnya, beliau banyak menulis soal-soal agama,
kebudayaan, dan pendidikan.
11. Taufik Ismail
Taufiq Ismail, lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat, 25 Juni 1935; umur 75 tahun, ialah seorang sastrawan Indonesia.
Dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam
keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi
sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan
ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi
cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya
usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka.
12. Tan Malaka
Tan Malaka atau Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Payakumbuh, Sumatera Barat, 19 Februari 1896 – meninggal di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur, 16 April 1949 pada umur 53 tahun) adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.
13. Rasuna Said
Hajjah Rangkayo Rasuna Said (lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 14 September 1910 – meninggal di Jakarta, 2 November 1965 pada umur 55 tahun) adalah salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Sebagai Sekretaris cabang
dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia (PERMI). Beliau sangat
mahir dalam berpidato yang isinya mengecam secara tajam ketidak adilan
pemerintah Belanda, sehingga beliau sempat ditangkap dan dipenjara pada tahun
1932 di H.R. Rasuna Said adalah seorang muda yang mempunyai kemauan yang keras
dan berpandangan luas. Awal perjuangan beliau dimulai dengan beraktivitas di Sarekat
RakyatSemarang.
Pada masa pendudukan
Jepang, beliau ikut serta sebagai pendiri organisasi pemuda Nippon Raya di
Padang yang kemudian dibubarkan oleh Pemerintah Jepang.
H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
H.R. Rasuna Said duduk dalam Dewan Perwakilan Sumatera mewakili daerah Sumatera Barat setelah Proklamasi Kemerdekaan, diangkat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung sejak 1959 sampai akhir hayat beliau.
H.R. Rasuna diangkat sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 084/TK/Tahun 1974 tanggal 13 Desember 1974. H.R. Rasuna Said meninggalkan seorang putri (Auda Zaschkya Duski) dan 6 cucu (Kurnia Tiara Agusta, Anugerah Mutia Rusda, Moh. Ibrahim, Moh. Yusuf, Rommel Abdillah dan Natasha Quratul'Ain).
14. Gus tf Sakai
Gus tf Sakai nama dari
orang tua Gustafrizal (lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 Agustus 1965)
adalah sastrawan Indonesia.
Bersama istrinya, Zurniati,
ia memutuskan untuk hidup dan menetap di kampungnya bersama tiga anaknya: Abyad
Barokah Bodi (L), Khanza Jamalina Bodi (P), dan Kuntum Faiha Bodi (P). Walaupun
menetap di kota kecil Payakumbuh yang dikepung oleh tiga gunung.
Beberapa puisinya itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab,
Inggris, dan Jerman dan penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand
untuk kumpulan cerpen Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta 2004) serta
Khatulistiwa Literary Award (KLA) untuk kumpulan cerpen Perantau (2007)
15. Gamawan Fauzi
Gamawan Fauzi, S.H., M.M., (lahir di Solok, Sumatera Barat, 9 November 1957;
umur 52 tahun) adalah Menteri Dalam Negeri Indonesia sejak 22 Oktober 2009.
Sebelumnya ia menjabat sebagai Gubernur Sumatra Barat sejak 15 Agustus 2005
hingga 22 Oktober 2009. Ia juga penerima Bung Hatta Award atas
keberhasilannya memerangi korupsi pada saat menjadi bupati pada kabupaten
Solok.
Riwayat Karier
- Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II (2009-sekarang)
- Gubernur Sumatera Barat (2005-2009)
- Bupati Solok (1995-2000), (2000-2005)
- Kepala Biro Humas Pemprov Sumatera Barat
- Sekretaris Pribadi Gubernur Sumatera Barat
- Staf biasa di Kantor Direktorat Sosial Politik (Ditsospol) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Barat
0 comments:
Post a Comment