oleh : Rahmah Eka Saputri
Salah satu program yang
dibuat oleh Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, adalah tentang kembali
kepada ajaran pokok budaya Minangkabau ABS SBK, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.Sepertinya, dan
memang begitu, program ini bermaksud agar budaya lokal tidak kian tergerus oleh
peredaran zaman.Bagaimanapun adat Minangkabau merupakan ciri khas orang
Sumatera Barat dan ini pulalah yang mestinya mengilhami karakter diri kita
sebagai orang Minang.Jika demikian halnya, penting rasanya terutama bagi
generasi muda menilik kedalam dirinya sendiri, sudah sejauhmana kira-kira
karakter orang Minang itu mendominasi dalam dirinya. Ataukah mungkin barangkali
dia tidak mengenal Minang dan budayanya yang kaya akan nilai kemanusiaan yang
luhur. Pada dasarnya adat Minangkabau, memiliki beberapa inti pokok filsafat
yang membangun adat itu sendiri, yang jika diaplikasikan secara utuh, maka akan
terbentuklah pribadi Minang yang beragama, beradat dan berbudi. Inti pokok
filsafat Minangkabau itu adalah:
Pertama, ABS SBK, adat basandi syara’ syara’ basandi
kitabullah.Islam datang ke
Minangkabau, bukanlah laksana menjumpai kotak kosong yang belum memiliki
peradaban sebelumnya.Akan tetapi Islam datang ke sebuah negeri yang telah
berisi.Islam datang ke dalam negeri yang telah teratur.Maka kedatangan Islam
ialah bertujuan untuk menambah kokohnya peraturan itu saja.Sebab dalam kajian
Fiqh Islam,urf dan adat yang terdapat
pada suatu wilayah yang dimasuki oleh Islam, masih dapat dipakai selagi tidak
bertentangan dengan pokok Agama Islam.
Adat Minangkabau adalah
adat yang sama sekali relevan dengan syara’, ia bukan berdiri sendiri dan
membentuk karakternya sendiri. Keduanya bukanlah seperti minyak dan air,
melainkan bersatu padu laksana perpaduan minyak dengan air dalam susu, keduanya
susah dipisahkan. Sebab Islam bukanlah tempelan-tempelan saja dalam adat
Minangkabau, melainkan sebuah susunan yang dibuat menurut pandangan dan
karakter orang Minang itu sendiri.
Syara’
mangato, adat mamakai,
inilah sebuah bukti yang menunjukkan bahwa agama dan adat itu tidak berjalan
sendiri-sendiri, namun berjalan seiring, dan adat tidak akan membuahkan tradisi
yang bertentangan dengan Agama Islam. Syara’
batilanjang adat basisampiang, bahasa syara’ terang-terangan masalah halal-haram,
lalu dibawalah ia ke dalam adat Minang, menjadilah ia dalam bentuk
petatah-petitih dan juga pengandaian serta sindiran yang kaya akan muatan
agama.
Kedua, alam takambang jadi guru.Falsafah ini menunjukkan bahwa orang
Minang itu identik dengan hikmah dan kebijaksanaan.Dalam berpikirnya, jauh
pandangannya, sebab segala fenomena yang ada di alam ini, mesti ada makna halus
di balik yang tampak itu.
Ditelisiknya setiap
makhluk, karakterapa yang terdapat pada benda-benda yang ada. Pada ikan ia
belajar menantang arus kehidupan. Mengikuti arus tanpa rem dan karakter yang
kuat berarti bunuh diri. Dari air ia belajar kegigihan, kekuatan tekat dan
keyakinan, serta cita-cita yang kuat
akan dapat mengantarkannya pada tujuan yang dimaksud, sebab air dengan
kelihaian dan kegigihannya selalu dapat mencari celah di antara bebatuan,
selalu ada cara untuk menembus dan melewatinya agar ia dapat bermuara ke laut.
Dari penyu ia belajar tentang kesabaran dan keuletan yang tinggi. Ia lambat
namun pantang baginya berhenti sebelum selesai, pantang baginya bekerja
setengah hati. Dari merpati ia belajar tentang kesetiaan, burung merpati selalu
menjaga kesetiaan pada pasangannya, walau dikepak oleh burung dara yang ayu
sekalipun, dia tetap tidak mau, tidak tergoda, teguh imannya untuk tidak
menghianati pasangannya, dia hanya akan mendatangi betinanya saja, bukan dara yang
lain.
Berguru kepada alam
berarti belajar kepada Allah, karna yang dibaca dan dilihat itu adalah
ayat-ayat Allah, semua adalah ciptaan Allah. Begitulah orang Minang yang
sebenarnya, baginya guru itu tidak hanya yang duduk di depan kelas lalu
memberinya wejangan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi wejangan yang
dipertontonkan Allah lewat alam ini jauh lebih banyak ilmu yang akan didapat
darinya. Maka tidak heran jika banyak kita
temukan dari nenek moyang kita
dahulu petatah-petitih, serta gurindam yang berisi pelajaran hidup dengan
mengibaratkan fenomena yang ada di alam ini. Sebagai manifestasi mereka
terhadap penafsiran yang ada di alam ini.Alam
takambang jadi gurulah yang membuat orang Minang menjadi arif dan
bijaksana, wawasannya luas tidak dipersempit oleh keadaan.
Keempat,
mufakat.Karakteristik orang Minangkabau
selanjutnya adalah musyawarah dan mufakat, setiap keputusan diambil bersama,
berunding ninik mamak di rumah gadang terlebih dahulu. Tidak ada perkara yang
diputuskan sendiri karena raso jopareso,
bagi mereka hidup mesti menghargai orang lain, mesti mendengar pandangan orang
lain pula. Agar lebih adil ketika hendak menetapkan suatu keputusan.
Dikenal di Minangkabau
bahwa sebuah nagari baru sah dinamakan nagari apabila ada 4 hal: masjid sebuah,
balairung seruang, tempat mandi, dan pandam pekuburan. Balairung inilah tempat
bermufakat di kalangan orang Minang waktu itu.Keputusan suara terbanyak separuh
ditambah satu, tidak berlaku dan tidak dikenal dalam pemusyawaratan di
Minangkabau.Yang dikenal adalah bulat segolongan, picak selayang. Kalau belum
bulat belumlah bisa dilangsungkan, karna kayu yang bercabang tidak boleh
dihentakkan.
Jika belum mendapat
kebulatan hari itu, maka masalah
diletakkan di atas golong terlebih dahulu, difikirkan terlebih dahulu,
karna fikir pelita hati, tenang seribu akal. Pada hari yang telah disepakati
bermufakatlah kembali.Rakyat umum boleh mendengarkan dari luar balairung, oleh
sebab itu balairung tidak boleh memakai dinding. Maka jika masih ada yang
menyela tak karuan, padahal alasannya tidak cukup, artinya tidak menyandarkan
kebenarannya pada kitabullah, hanya pada kekuatan lengannya saja, maka ia akan
dihukum oleh orang sekampung. Hukuman yang berat yakni duduk tidak dibawa sama
rendah, tegak tidak dibawa sama tinggi. Kendurinya tidak didatangi, mayatnya
tidak diurus oleh nagari, sebelum sesat surut, terlangkah kembali, kufur
taubat.Jika dia penghulu, hukumannya jauh lebih berat lagi, yakni mengisi
kesalahan kepada negeri, kumal diserak berdebu dijentik.Demikian ungkap Buya
Hamka dalam buku AYAHKU saat menggambarkan bagaimana potret falsafah bermufakat
dalam adat Minangkabau waktu dahulu.
Kelima, budi sebagai
dasar pokok adat Minangkabau.Gambaran
umum tentang keutamaan budi dalam masyarakat Minang tertuang dalam rumusan
sumbang nan 12. Budi adalah akhlak, etika, kurenah.Orang
yang berbudi adalah orang yang bermanfaat bagi sesama. Jika berbicara, paham
orang yang akan tersingguang, paham pula yang akan menimpa diri dan merugikan
orang lain.
Dalam sumbang nan 12,
sedikit banyaknya dirumuskan dan dijelaskan segala sesuatu yang membuat budi
luntur, budi tercela, dan segala sesuatu yang menggambarkan
kesopansantuan.Sebab orang Minang paham, bahwa budi lebih panjang umurnya dari
pada orang yang memilki budi itu sendiri.Akhlak itu adalah harga diri, mahal
harganya.Insaf pula kita bahwa orang lama dikenal dan dikenang karna budi
baiknya. Bagi orang Minang sebagai orang hidup mestilah berjasa bagi kehidupan,
sabagai laki-laki harus tegak pada sisi laki-laki, sebagai perempuan pula
demikian, menjadi ibu, menjadi saudara yang dapat mengobati hati saudara laki
laki, sebagai manusia mempunyai kemanusiaan atau kepribadian. Jika telah punya
budi baik walau kaya ataupun miskin, terkenal ataukah tidak, itu tidaklah
mengapa sebab hal itu hanya warna kehidupan, yang pokok adalah budi yang tinggi
serta kemanfaatan diri kita bagi sesama.
Demikianlah inti pokok
ajaran Minangkabau yang sebenarnya, universal dan radikal. Namun sayang semua
nilai-nilai itu kini mulai tergerus oleh zaman yang kian berganti, semuanya
digantikan oleh gaya hidup hedonis dan meterialis.Cerita kegotongroyongan kini,
hanya menjadi pajangan sejarah yang telah berdebu, jangankan untuk meniru, menyapu
debunya agar “segeh” saja orang enggan. Sekarang orang telah melirik dan lebih
tertarik kepada kilekloyang perak
orang, padahal loyangnya sendiri terbuat dari emas, hanya lantaran belum disapu
saja, kilatnya tidak terpancar. Itulah sebenarnya PR kita.Miris memang sebagai
generasi muda mestilah kita lebih peka terhadap penggerusan ini. Jika dibiarkan
lebih lama maka nilai filosofis adat Minang yang luhur dan universal itu akan
hilang bahkan mungkin juga akan punah. Sebab kita generasi muda sudah bagai
kacang lupa kulitnya, lupa daratan, lupa menilik diri, lupa budi, lupa karakter
yang harus dimiliki, lupa melestarikan nilai yang tinggi.
Beberapa solusi yang
dapat dijadikan cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ini adalah dengan
membuka dan membaca kembali sejarah nagari sendiri, bagaimana kita bisa cinta
jika tidak kenal dengan tanah yang sedang kita pijak. Mengajarkan ilmu budaya
Minang secara menarik, mendalam, serta dibahas secara filosofis agar diketahui
nilai luhur yang ingin disampaikan oleh sebuah tradisi kebudayaan.Namun yang
paling penting dari itu semua adalah sense
of belonging terhadap adat Minangkabau itu sendiri.Harus ada rasa mencintai
nilai luhur budaya terlebih dahulu barulah nilai-nilai itu dapat diterapkan
secara apik di lingkungan modern ini.
Jangan sampai kita
tergilas oleh zaman, Orang Jepang saja yang modern, tetap eksis memakai pakaian
kekaisarannya sebagai ciri khas budaya mereka.Bahkan mereka bangga dengan
budaya asli mereka sendiri.Mereka bukan dikatakan kolot, namun kaya, budayanya
masih utuh, pemikirannya tetap maju mengikuti perkembanagn zaman, bahkan lebih
modern dari zamannya.Begitu pulalah hendaknya orang Minang.Dengan filsafatnya
yang tinggi, mestinya kita tidak tergilas oleh zaman, justru harus berbangga
dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh the founding father nagari Minang ini.
0 comments:
Post a Comment