Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Saturday, 25 May 2013

Minangkabau Hanya Tinggal “Kabau” (Identitas Keminangan Masa Kini)


oleh : Rahmah Eka Saputri
Salah satu program yang dibuat oleh Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, adalah tentang kembali kepada ajaran pokok budaya Minangkabau ABS SBK, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.Sepertinya, dan memang begitu, program ini bermaksud agar budaya lokal tidak kian tergerus oleh peredaran zaman.Bagaimanapun adat Minangkabau merupakan ciri khas orang Sumatera Barat dan ini pulalah yang mestinya mengilhami karakter diri kita sebagai orang Minang.Jika demikian halnya, penting rasanya terutama bagi generasi muda menilik kedalam dirinya sendiri, sudah sejauhmana kira-kira karakter orang Minang itu mendominasi dalam dirinya. Ataukah mungkin barangkali dia tidak mengenal Minang dan budayanya yang kaya akan nilai kemanusiaan yang luhur. Pada dasarnya adat Minangkabau, memiliki beberapa inti pokok filsafat yang membangun adat itu sendiri, yang jika diaplikasikan secara utuh, maka akan terbentuklah pribadi Minang yang beragama, beradat dan berbudi. Inti pokok filsafat Minangkabau itu adalah:
Pertama, ABS SBK, adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah.Islam datang ke Minangkabau, bukanlah laksana menjumpai kotak kosong yang belum memiliki peradaban sebelumnya.Akan tetapi Islam datang ke sebuah negeri yang telah berisi.Islam datang ke dalam negeri yang telah teratur.Maka kedatangan Islam ialah bertujuan untuk menambah kokohnya peraturan itu saja.Sebab dalam kajian Fiqh Islam,urf dan adat yang terdapat pada suatu wilayah yang dimasuki oleh Islam, masih dapat dipakai selagi tidak bertentangan dengan pokok Agama Islam.
Adat Minangkabau adalah adat yang sama sekali relevan dengan syara’, ia bukan berdiri sendiri dan membentuk karakternya sendiri. Keduanya bukanlah seperti minyak dan air, melainkan bersatu padu laksana perpaduan minyak dengan air dalam susu, keduanya susah dipisahkan. Sebab Islam bukanlah tempelan-tempelan saja dalam adat Minangkabau, melainkan sebuah susunan yang dibuat menurut pandangan dan karakter orang Minang itu sendiri.
Syara’ mangato, adat mamakai, inilah sebuah bukti yang menunjukkan bahwa agama dan adat itu tidak berjalan sendiri-sendiri, namun berjalan seiring, dan adat tidak akan membuahkan tradisi yang bertentangan dengan Agama Islam. Syara’ batilanjang adat basisampiang, bahasa syara’ terang-terangan masalah halal-haram, lalu dibawalah ia ke dalam adat Minang, menjadilah ia dalam bentuk petatah-petitih dan juga pengandaian serta sindiran yang kaya akan muatan agama.
Kedua, alam takambang jadi guru.Falsafah ini menunjukkan bahwa orang Minang itu identik dengan hikmah dan kebijaksanaan.Dalam berpikirnya, jauh pandangannya, sebab segala fenomena yang ada di alam ini, mesti ada makna halus di balik yang tampak itu.
Ditelisiknya setiap makhluk, karakterapa yang terdapat pada benda-benda yang ada. Pada ikan ia belajar menantang arus kehidupan. Mengikuti arus tanpa rem dan karakter yang kuat berarti bunuh diri. Dari air ia belajar kegigihan, kekuatan tekat dan keyakinan, serta cita-cita  yang kuat akan dapat mengantarkannya pada tujuan yang dimaksud, sebab air dengan kelihaian dan kegigihannya selalu dapat mencari celah di antara bebatuan, selalu ada cara untuk menembus dan melewatinya agar ia dapat bermuara ke laut. Dari penyu ia belajar tentang kesabaran dan keuletan yang tinggi. Ia lambat namun pantang baginya berhenti sebelum selesai, pantang baginya bekerja setengah hati. Dari merpati ia belajar tentang kesetiaan, burung merpati selalu menjaga kesetiaan pada pasangannya, walau dikepak oleh burung dara yang ayu sekalipun, dia tetap tidak mau, tidak tergoda, teguh imannya untuk tidak menghianati pasangannya, dia hanya akan mendatangi betinanya saja, bukan dara yang lain.
Berguru kepada alam berarti belajar kepada Allah, karna yang dibaca dan dilihat itu adalah ayat-ayat Allah, semua adalah ciptaan Allah. Begitulah orang Minang yang sebenarnya, baginya guru itu tidak hanya yang duduk di depan kelas lalu memberinya wejangan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi wejangan yang dipertontonkan Allah lewat alam ini jauh lebih banyak ilmu yang akan didapat darinya. Maka tidak heran jika banyak kita  temukan  dari nenek moyang kita dahulu petatah-petitih, serta gurindam yang berisi pelajaran hidup dengan mengibaratkan fenomena yang ada di alam ini. Sebagai manifestasi mereka terhadap penafsiran yang ada di alam ini.Alam takambang jadi gurulah yang membuat orang Minang menjadi arif dan bijaksana, wawasannya luas tidak dipersempit oleh keadaan.
Keempat, mufakat.Karakteristik orang Minangkabau selanjutnya adalah musyawarah dan mufakat, setiap keputusan diambil bersama, berunding ninik mamak di rumah gadang terlebih dahulu. Tidak ada perkara yang diputuskan sendiri karena raso jopareso, bagi mereka hidup mesti menghargai orang lain, mesti mendengar pandangan orang lain pula. Agar lebih adil ketika hendak menetapkan suatu keputusan.
Dikenal di Minangkabau bahwa sebuah nagari baru sah dinamakan nagari apabila ada 4 hal: masjid sebuah, balairung seruang, tempat mandi, dan pandam pekuburan. Balairung inilah tempat bermufakat di kalangan orang Minang waktu itu.Keputusan suara terbanyak separuh ditambah satu, tidak berlaku dan tidak dikenal dalam pemusyawaratan di Minangkabau.Yang dikenal adalah bulat segolongan, picak selayang. Kalau belum bulat belumlah bisa dilangsungkan, karna kayu yang bercabang tidak boleh dihentakkan.
Jika belum mendapat kebulatan hari itu, maka masalah  diletakkan di atas golong terlebih dahulu, difikirkan terlebih dahulu, karna fikir pelita hati, tenang seribu akal. Pada hari yang telah disepakati bermufakatlah kembali.Rakyat umum boleh mendengarkan dari luar balairung, oleh sebab itu balairung tidak boleh memakai dinding. Maka jika masih ada yang menyela tak karuan, padahal alasannya tidak cukup, artinya tidak menyandarkan kebenarannya pada kitabullah, hanya pada kekuatan lengannya saja, maka ia akan dihukum oleh orang sekampung. Hukuman yang berat yakni duduk tidak dibawa sama rendah, tegak tidak dibawa sama tinggi. Kendurinya tidak didatangi, mayatnya tidak diurus oleh nagari, sebelum sesat surut, terlangkah kembali, kufur taubat.Jika dia penghulu, hukumannya jauh lebih berat lagi, yakni mengisi kesalahan kepada negeri, kumal diserak berdebu dijentik.Demikian ungkap Buya Hamka dalam buku AYAHKU saat menggambarkan bagaimana potret falsafah bermufakat dalam adat Minangkabau waktu dahulu.
Kelima, budi sebagai dasar pokok adat Minangkabau.Gambaran umum tentang keutamaan budi dalam masyarakat Minang tertuang dalam rumusan sumbang nan 12. Budi adalah akhlak, etika, kurenah.Orang yang berbudi adalah orang yang bermanfaat bagi sesama. Jika berbicara, paham orang yang akan tersingguang, paham pula yang akan menimpa diri dan merugikan orang lain.
Dalam sumbang nan 12, sedikit banyaknya dirumuskan dan dijelaskan segala sesuatu yang membuat budi luntur, budi tercela, dan segala sesuatu yang menggambarkan kesopansantuan.Sebab orang Minang paham, bahwa budi lebih panjang umurnya dari pada orang yang memilki budi itu sendiri.Akhlak itu adalah harga diri, mahal harganya.Insaf pula kita bahwa orang lama dikenal dan dikenang karna budi baiknya. Bagi orang Minang sebagai orang hidup mestilah berjasa bagi kehidupan, sabagai laki-laki harus tegak pada sisi laki-laki, sebagai perempuan pula demikian, menjadi ibu, menjadi saudara yang dapat mengobati hati saudara laki laki, sebagai manusia mempunyai kemanusiaan atau kepribadian. Jika telah punya budi baik walau kaya ataupun miskin, terkenal ataukah tidak, itu tidaklah mengapa sebab hal itu hanya warna kehidupan, yang pokok adalah budi yang tinggi serta kemanfaatan diri kita bagi sesama.
Demikianlah inti pokok ajaran Minangkabau yang sebenarnya, universal dan radikal. Namun sayang semua nilai-nilai itu kini mulai tergerus oleh zaman yang kian berganti, semuanya digantikan oleh gaya hidup hedonis dan meterialis.Cerita kegotongroyongan kini, hanya menjadi pajangan sejarah yang telah berdebu, jangankan untuk meniru, menyapu debunya agar “segeh” saja orang enggan. Sekarang orang telah melirik dan lebih tertarik kepada kilekloyang perak orang, padahal loyangnya sendiri terbuat dari emas, hanya lantaran belum disapu saja, kilatnya tidak terpancar. Itulah sebenarnya PR kita.Miris memang sebagai generasi muda mestilah kita lebih peka terhadap penggerusan ini. Jika dibiarkan lebih lama maka nilai filosofis adat Minang yang luhur dan universal itu akan hilang bahkan mungkin juga akan punah. Sebab kita generasi muda sudah bagai kacang lupa kulitnya, lupa daratan, lupa menilik diri, lupa budi, lupa karakter yang harus dimiliki, lupa melestarikan nilai yang tinggi.
Beberapa solusi yang dapat dijadikan cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai ini adalah dengan membuka dan membaca kembali sejarah nagari sendiri, bagaimana kita bisa cinta jika tidak kenal dengan tanah yang sedang kita pijak. Mengajarkan ilmu budaya Minang secara menarik, mendalam, serta dibahas secara filosofis agar diketahui nilai luhur yang ingin disampaikan oleh sebuah tradisi kebudayaan.Namun yang paling penting dari itu semua adalah sense of belonging terhadap adat Minangkabau itu sendiri.Harus ada rasa mencintai nilai luhur budaya terlebih dahulu barulah nilai-nilai itu dapat diterapkan secara apik di lingkungan modern ini.
Jangan sampai kita tergilas oleh zaman, Orang Jepang saja yang modern, tetap eksis memakai pakaian kekaisarannya sebagai ciri khas budaya mereka.Bahkan mereka bangga dengan budaya asli mereka sendiri.Mereka bukan dikatakan kolot, namun kaya, budayanya masih utuh, pemikirannya tetap maju mengikuti perkembanagn zaman, bahkan lebih modern dari zamannya.Begitu pulalah hendaknya orang Minang.Dengan filsafatnya yang tinggi, mestinya kita tidak tergilas oleh zaman, justru harus berbangga dengan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh the founding father nagari Minang ini.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.