Opini: Rahmah
Eka Saputri
Bagaimana
hendak menerangkan, seperti apa paradigma kebanyakan para pelajar Indonesia mengenai
pendidikan. Undang-undang wajib belajar sembilan tahun, hanya dijadikan sebagai
kewajiban yang harus dilunasi tanpa paham apa sebenarnya tujuan pendidikan itu
sendiri.
Bicara
tentang pendidikan di perguruan tinggi, paradigma pendidikan seperti apa yang
kita lihat dalam kehidupan kampus hari ini. Dapat dikatakan kebanyakan, jika tidak semuanya, hanya menghargai
pendidikan dengan harga rendah, bahwa pendidikan melalui perguruan tinggi
hanyalah suatu syarat untuk mendapatkan pekerjaan lalu digaji pemerintah. Biar belajar
asal-asalan, jarang membaca, jarang meneliti, jarang mengkaji yang penting
tamat dan mendapatkan ijazah. Seolah-olah saat ini, ijazah itulah nyawa orang untuk dapat
bertahan hidup. Dan memang kebanyakan mantan mahasiswa dapat melunasi impiannya
itu untuk menjadi pegawai pemerintah yang “itu”.
Kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa minat untuk menjadi pegawai pemerintah sangat
tinggi, sedangkan lapangan yang tersedia tidak dapat menampung permintaan yang
kian meningkat. Seolah-olah lagi, jika tidak menjadi, katakanlah PNS, maka
serasa berakhirlah hidup sampai di sini, habis dan tutup buku. Akibatnya di
lapangan, beberapa kita jumpai para pegawai, katakanlah salah satunya guru, kurang
piawai dalam mengajar mata pelajaran yang diembannya, karena mengajar tidak
dijadikan sebagai tanggung jawab moral untuk mencerdaskan anak bangsa,
melainkan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka jadilah mengajar
asal-asalan, yang penting masuk kelas, dan keluar tepat waktu, malah terkadang
ada pula yang korupsi waktu, sehingga proses belajar mengajar menjadi tidak
sempurna.
Atau
barangkali ada pula demi melunasi cita-citanya menjadi pegawai pemerintah terpaksa
harus merogoh kocek dalam-dalam, untuk diserahkan sebagai sogokan agar namanya
dapat “dicurangi” sehingga lolos dalam seleksi penerimaan. Sekalipun peraturan
hari ini sudah sangat ketat, masih ada saja celah untuk mencurangi hak orang
lain.
Bukankah
seperti ini paradigma pendidikan kita hari ini. Pendidikan yang telah mengukur diri kita akan menjadi
“itu”, “di situ”, dan dengan ”gaji segitu”. Bukankah ini berarti kita telah memvonis
diri kita sendiri mengenai masa depan kita, atau bukankah kita telah mencetak
guci sempit dan kecil yang hanya muat sebesar tulang, daging, serta tengkorak kita
saja. Masa depan yang kecil sekali sehingga tidak dapat membesarkan diri lagi
menjadi lebih besar dari pada guci, yang kita diami. Bukankah ini kematian bagi
potensi kita yang lain, dan bukankah kita ini merdeka tanpa harus mengikat
potensi kita, hingga kita sendiri tercekik oleh itu. Sedikit, barangkali ini
potret paradigma yang saya maksud di Indonesia saat ini.
Dahulu
buya Hamka tidak perlu belajar ke Mesir atau ke negara manapun untuk menjadi
Mentri Agama di negara ini, namun karena kesungguhan dan azamnya ingin menjadi
seorang ilmuwan yang berilmu, banyak negara yang akhirnya dapat dijalaninya,
berbekal ilmu yang dipelajarinya secara otodidak saja. Lalu berapa buku yang
sudah dikarang? Ratusan.
Tepatnya ada 118 tulisan yang telah dibukukuan. Tidak
dalam satu genre saja, dia sebagai: sastrawan, budayawan, sufi,
bangasawan, nasionalis, dan agamawan, sejarawan. Dan semua bidang, itu
tidak dapat menafikan arti penting kehadiran buya Hamka, sebagai orang yang ahli
dibidangnya. Hal ini pulalah yang kemudian membuatnya mendapat gelar terhormat
doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar. Prestasi yang membanggakan
tanpa harus meginjak bangku perkuliahan formal. Hanya dengan tekat dan niat
yang lurus, untuk menjadi pencari kebenaran, untuk menjadi seorang ilmuwan.
Lain
lagi dengan Agus Salim, si cerdas lagi gesit dari negri Minang ini pun tidak
juga menginjak perguruan tinggi. Ketika dia ditawarkan beasiswa dari Belanda, dia
tidak langsung mengiiyakannya bahkan segera menolak sebab menurutnya, bukanlah
membanggakan jika hanya mendapat beasiswa bila tidak karena prestasi. Beliau mulai bergerak dalam
negri. Belajar otodidak, membaca dan menilik, pada akhirnya mengantarkan beliau
menjadi seorang Perdana Mentri Luar Negri Indonesia. Dengan penguasaan bahasa
asing yang lancar, memudahkan beliau untuk bernegosiasi dan berunding dengan
negara lain, dialah sang ajudan negeri ini di kancah internasional. Dan lagi,
tanpa memasuki perguruan tinggi. Hanya bermodal kesungguhan, ibarat menanam
padi, maka beliau cukup menikmati proses tanpa menvonis atau membayang-bayangkan
hasil seperti apa yang akan didapat kelak.
Namun
agaknya, dahulu memang berbeda dengan saat ini. Dahulu Indonesia dijajah, hari
ini kita merdeka, dahulu kita angkat senjata, hari ini cuma perlu angkat pena,
dahulu untuk sekolah saja sulit, hari ini
fasilitas sudah sangat luar biasa.
Hari
ini siapa saja dapat berstatus siswa atau mahasiswa tapi kenyataannya produk
dahulu dengan paradigma pendidikan, “Belajar untuk menjadi ilmuwan”, mengantarkan
mereka menjadi para ilmuwan yag diterima
di kancah internasional. Sedang hari ini justru dengan paradigma pendidikan,
“Belajar untuk menjadi pegawai”, membuat kita terasing bahkan di negeri sendiri.
Pada
dasarnya tidak ada yang salah dengan merencanakan masa depan, namun yang kurang
tepat agaknya adalah menvonis diri kita dan membuat guci yang sama besar dengan
diri kita. Sehingga dengan kata lain kita sendiri lah yang telah mempersempit
diri kita sendiri. Bukankah tugas kita hari ini adalah menanam “padi” dengan
cara yang benar, kemudian menyianginya agar tidak berbaur rerumputan dengan
benih yang unggul. Memberinya pupuk agar sehat tumbuhnya. Bukankah untuk hasil
bukan urusan kita. Urusan kita hanya melakukan yang terbaik hari ini, dan
menikmati hasil usaha terbaik itu, suatu saat kelak. Entah sebagai pegawai,
sebagai pengarang, sebagai sastrawan, atau sebagai apa saja yang barangkali
tidak pernah kita duga. Yang terpenting dari itu semua adalah, belajar untuk
mencari kebenaran, bukan untuk menghasilkan angka-angka di masa depan.
0 comments:
Post a Comment