BAB I
PENDAHULUAN
Sejarah Islam mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya,
dimulai dari masa Rasulullah, khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa modern. Jika
khazanah itu dikonsepsikan sangat mungkin melahirkan keanekaragaman teori
pemikiran politik. Namun yang menarik perhatian, setidaknya di masa periode awal Islam, khazanah itu lebih
dominan melahirkan teori-teori firkah dalam Islam yang sekarang sering disebut sebagai aliran
teologi/kalam, bukan melahirkan teori politik, meskipun sesungguhnya akar
persoalannya berawal dari pertikaian politik.
Memasuki periode klasik yang ditandai dengan kemapanan yang terjadi
di dunia Islam, di masa ini terdapat dua dinasti, yaitu Bani Umayyah (661-750
M) dan Bani Abbas (750-1258 M). Secara politis, masa itu Islam memegang
kekuasaan dan pengaruhnya di pentas internasional. Pada periode Bani Umayyah,
kajian fiqih politik (siyasah) masih belum juga muncul. Bani Ummayah lebih mengarahkan kebijakan
pada pengembangan wilayah kekuasaan. Pada masa Bani Abbasiyah barulah kajian fiqih Siyasah ini mulai
dikembangkan. Namun demikian, kuatnya pengaruh negara membuat kajian yang
dikembangkan oleh para ulama sunni waktu itu cenderung akomodatif dan mendukung
kekuasaan. Sementara itu di sisi yang lain syi’ah,
khawarij dan mu’tazilah berkembang menjadi kelompok oposisi, walaupun belum memiliki
pengaruh kuat.
Berdasarkan kenyataan ini, Harun Nasution menyimpulkan bahwa teori
politik sunni abad klasik ini cenderung memberi legitimasi terhadap kekuasaan. ditengah
kepentingan-kepentingan golongan. Karena sifat akomodatif itu sunni mendominasi
percaturan politik saat itu dan para pemikir politiknya mampu mengembangkan
doktrin-doktrin mereka di bawah patronase kekuasaan.
Memasuki periode pertengahan, kekuatan politik Islam mengalami
kemunduran. Berbagai doktrin yang dikembangkan pada masa sebelumnya tidak
efektif lagi dihadapkan kepada situasi obyektif. Maka pada periode pertengahan
itu lahirlah pemikiran politik yang berbeda dengan sunni periode klasik, yang
salah satunya dipresentasikan oleh Ibnu Taimiyah.
Mengkaji pemikiran Ibnu Taimiyah sangat menarik, karena itulah di
dalam makalah ini akan mendeskripsikan pemikiran politik Ibnu Taimiyah dan
menganalisa latar belakang pemikirannya dengan pendekatan sosiopolitik.
Kemudian mendeskripsikan secara analitik bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah
tentang politik, pemerintahan, kepemimpinan dan hakikat negara, di tengah
suasana sejarah yang mengitari pemikirannya, serta relevansi gagasan politik
Ibnu Taimiyah dalam konsep negara modern dengan cara menempatkan pemikiran Ibnu
Taimiyah sebagai cermin dari pemikiran yang lahir di abad modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Pemikiran Politik Ibnu
Taymiyah
BIOGRAFI IBNU TAYMIYAH
Nama lengkap Taqi al-Din Abul Abbas ibn
Abd al Halim ibn Abd al-Salam ibn Taimiyah. Ia
lahir pada 22 Januari 1263/661 H di Harran, dekat Damaskus, lima tahun setelah jatuhnya Bagdad
ke tangan bangsa Tatar, yang berarti masa kekuasaan dinasti Abbasiyah telah
berakhir, dan tutup usia pada tahun 728 H/1329 M. Ini berarti ia hidup pada
masa dinasti Mamalik berkuasa atas Mesir dan Syria. Yaitu, pada masa
pemerintahan al-Zhahir Rukhnuddin Baybars (658-676H./1260-1277 M) sampai di
tengah masa pemerintahan al-Nashir Nashiruddin Muhammad (709-741 H/1309-1340
M).[1]
SUSIO KULTURAL
Dunia Islam pada masa Ibn Taimiyah hidup sedang mengalami
kemunduran. Kemunduran tersebut ditandai dengan puncak disintegrasi politik,
dislokasi sosial, dan dekadensi akhlak serta moral.Pada saat itu hanya dinasti
Mamaliklah
satu-satunya kekuatan di dunia Islam.Di bagian Timur dinasti ini semua negeri
telah ditaklukkan dan diduduki oleh orang-orang mongol. Sementara itu, pada
masa Ibn Taimiyah orang-orang Mongol ini telah memeluk agama Islam, tetapi
keislaman mereka hanya sekedar formalitas? karena mereka masih terus
menghancurkan negeri-negeri Islam beserta penduduknya. Sedang di negeri-negeri
lain di luar dunia Islam ini, dimana terdapat penduduk yang beragama Islam,
kaum muslimin terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang
terus-menerus saling berperang. Pada masa itu Islam sedang dihadapkan kepada tiga
ancaman besar, yaitu pejuang-pejuang Kristen dari Erofa, pasukan Mongol, dan
perpecahan dalam tubuh Islam itu sendiri.
Jatuhnya Bagdad ke tangan Tatar adalah akhir dari dinasti Abbasiyah,
dan merupakan proses klimaks disentegrasi kekuasaan Islam. Hancurnya dinasti
ini menyebabkan para sultan, amir, dan raja yang berkuasa di wilayah-wilayah
bekas imperium Abbasiyah yang dulunya menjadi satelit Bagdad bebas menggunakan
gelar khalifah.
Dari para raja, sultan, dan amir yang ada pada waktu itu, hanya
penguasa dari dinasti Mamalik di Mesir yang masih merasa perlu untuk mengangkat
pangeran Abu al-Qasim Ahmad bin Amir al-Mu’minin, paman Khalifah
Mu’tashim yang dibunuh oleh bangsa Tatar di Bangdad yang bergelar al-Mustanshir
Billah untuk
menjadi khalifah di Kairo pada tahun 659 H.[2]Namun
kekhalifahan ini hanya bersifat formalitas, karena otoritas yang sesungguhnya
berada di tangan Sultan-sultan Mamalik.[3]
Walaupun demikian, dengan pengangkatan al-Mustanshir Billah tersebut fiksi
historis dunia Islam tetap dapat dipertahankan, yaitu bahwa secara politis dan
spiritual dunia Islam masih tetap eksis, sebab eksistensi khalifah sangat
diperlukan sebagai pengganti Nabi. Untuk selanjutnya khalifah memberikan
otoritas yang sesungguhnya kepada Sultan Mamalik sehingga secara yuridis sultan
berhak menuntut kepatuhan dari pangeran-pangeran dan amir-amir di dunia Islam.
Itulah sebabnya, meski akhirnya imperium ini bersifat monarkhis, namun secara de facto inilah satu-satunya
kekuatan Islam yang dapat diandalkan saat itu. Yang menarik kemudian adalah
membentuk pandangan Ibnu Taimiyah bahwa penguasanya adalah pembela-pembela
agama dan ia pun memaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
Pemikiran
Politik Menurut Ibnu Taymiyah
Dalam peta
pemikiran Islam, Ibn Taymiyyah adalah tokoh pemikir yang digolongkan kedalam
kategori fundamentalis. Dalam hal pemikiran keagamaan, pola pemikiran beliau
yang bercorak religius dalam menafsirkan ajaran agama yang tertuang
dalam teks-teks suci menunjukkan bahwa beliau ialah tokoh yang merupakan
representasi dikalangan fundamentalis literal atau skripturalis. Kategorisasi
ini benar ketika kita berbicara pemikiran Ibn Taymiyyah dalam hal-hal yang
berkenaan dengan doktrin keagamaan semisal fiqh, aqidah, dan lain
sebagainya. Namun lain halnya ketika kita berbicara pemikiran beliau dalam sosial
politik. Dalam ranah kajian ini, beliau tampak sangat ”sekuler”. Namun uniknya
sekularitas Ibn Taymiyyah ini justru lahir dari rahim fundamentalisme literal
yang dianutnya, bukan dari liberalisme.
Artinya bahwa
pandangan Ibn Taymiyyah dalam bidang politik yang tampak bercorak sekuler
tersebut lahir dari pemahaman beliau terhadap teks suci yang beliau tafsirkan
secara religi. Dimana letak sekularitas Ibn Taymiyyah? Dalam hal
pendirian negara, berbeda dengan pandangan fundamentalis lainnya, Ibn Taymiyyah
beranggapan bahwa tidak perlu didirikan negara Islam. Artinya kalau toh pada
gilirannya ada sebuah negara Islam yang berdiri, maka itu merupakan buah
dinamika sosial politik yang menghendaki negara tersebut berdiri, bukan
merupakan hasil dogma agama. Sebab dalam kacamata Ibn Taymiyyah, tidak ada satu
nash pun yang menyuruh mendirikan negara Islam. Dalam karyanya,
Qamaruddin Khan menukil adanya anggapan bahwa terdapat kemiripan antara konsep
Ibn Taymiyyah dengan paham politik kaum Khawarij yang cenderung pada
paham anarkisme(tanpa negara).
Menurut Ibn
Taymiyyah, kendati pada akhirnya, tegaknya negara Islam dapat membantu Islam
itu sendiri, namun mendirikan negara Islam bukan merupakan bagian dari pokok
ajaran melainkan hanya hasil dari fenomena atau proses sosiologis. Menurut saya
disini letak perbedaan beliau dengan Khawarij. Bahwa Ibn Taymiyyah tidak menolak
berdirinya suatu negara Islam, hanya saja yang beliau persoalkan adalah
problematik legitimasi kekuasaannya.[4]
Legitimasi kekuasaan: religius atau moral.
Di awal pembahasan telah kita
singgung sedikit tentang legitimasi kekuasaan. Kekuasaan dapat diartikan
sebagai suatu kemampuan unuk mempengaruhi dan menerapkan apa yang kita inginkan
atas pihak lain. Sedangkan legitimasi merupakan suatu pembenaran atau alasan
penerimaan, dalam hal ini legitimasi kekuasaan dapat diartikan sebagai suatu
alasan atau pembenaran penerimaan suatu pihak yang dikuasai atas kekuasaan
pihak penguasa sehingga dalam relasinya kekuasaan tersebut legitimate. Bentuk
dari legitimasi kekuasaan ini beragam, sebagaimana telah saya singgung di awal
bahwa sedikitnya terdapat dua basis utama legitimasi kekuasaan yakni legitimasi
religius dan legitimasi etis yang terbagi lagi kedalam bentuk yang lebih
spesifik semisal legitimasi moral etis, legitimasi tradisional, rasional legal,
dan lain sebagainya.
Membahas hal ini, ada yang menarik
dari pemikiran Ibn Taymiyyah. Sebagai tokoh yang termasuk dalam kategori
fundamentalis, idealnya beliau termasuk pemikir politik Islam yang setuju
terhadap konsep legitimasi religius kekuasaan sebagaimana para fundamentalis
lain semisal al-Mawardi, al-Maududi, Khomeini, dan lain semacamnya. Dalam
pandangan kalangan fundamentalis, penguasa kerap diposisikan sebagai wakil
Tuhan di bumi. Ini berarti bahwa kekuasaannya merupakan representasi
Ilahiyah yang mengembangkan tugas- tugas langit. Dalam kapasitas ini, penguasa
tidak bisa dibantah, sehingga besar kemungkinan terjadi pembelokan otoritas
dari kekuasaan yang suci menjadi otoritarianisme penguasa despotik yang selalu
mengatasnamakan Tuhan dalam setiap kebijakannya. Ini telah terjadi pada masa pemerintahan
Yazid ibn Mu’awiyah yang memerintah atas nama Ilahi namun sewenang-wenang dalam
otoritasnya. Dalam posisi ini, rakyat tidak punya posisi tawar untuk
mempertanyakan pertanggungjawaban atas kekuasaan tersebut. Ini disebabkan
karena memang konsep legitimasi model religius tersebut tidak mengharuskan
adanya pertanggung jawaban penguasa atas rakyatnya.
Mengenai hal
yang berkenaan dengan legitimasi ini, Ibn Taymiyyah berpandangan bahwa dasar
legitimasi kekuasaan dalam suatu pemerintahan atau negara bukanlah doktrin
religiusitas. Sebab dalam pandangannya, Islam tidak pernah menyuruh untuk
mendirikan negara. Menurut Ibn Taymiyyah, tidak ada satu nash pun dalam
Islam yang memerintahkan ummatnya untuk mendirikan negara Islam. Ini bukan
berarti ia menolak negara Islam. Namun kalau toh pada gilirannya negara Islam
itu berdiri, maka yang menjadi dasar legitimasinya bukanlah Islam itu sendiri
melainkan legitimasi tersebut timbul dari bawah (bottom up). Kesadaran
dan pengakuan ini timbul disebabkan oleh faktor sosial, yakni rakyat merasakan
dampak positif dari kekuasaan tersebut dalam bentuk keadaan kehidupan sosial
rakyat yang diuntungkan. Singkatnya, semakin rakyat merasa disejahterakan, maka
semakin mereka tidak berkeberatan untuk mengakui kekuasaan tersebut.
Implikasi
Faktor Obyektif dalam Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Lahirnya suatu pemikiran sangat erat kaitannya dengan konteks sosial
sebagai faktor yang melatarinya.Sebuah pemikiran lahir umumnya setelah
mengalami proses dialektika sosial yang panjang, karena itu tidak dapat
memisahkan diri dari faktor situasional yang mengitarinya. Untuk memahami
pemikiran seorang pemikir secara objektif, paling tidak ada dua hal yang perlu
diperhatikan, yakni perkembangan intelektualitasnya dan realitas objektif yang
mengitari hidupnya Pengetahuan atas perkembangan intelektual seorang pemikir,
akan dapat terhindarkan dari jebakan subjektifitas dan implikasi. Sedang
pengetahuan atas realitas objektif akan dapat menangkap faktor-faktor yang
mendorongnya untuk mengartikulasi-kan ide, pandangan dan sikapnya, bahkan
metode yang ditempuh untuk merealisasikan gagasan-gagasan yang diagendakan.[5]Demikian
juga dengan Ibnu Taimiyah, sebagai pemikir yang realistis, di atas realitas
politiklah ia merumuskan pemikirannya sebagai jawaban terhadap tantangan
keadaan yang berkembang di masanya.
Beberapa pemikiran
tersebut antara lain :
1.
Kosmopolitanisme
Dalam setiap pemikirannya, Taimiyah selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai
landasan utama berpikirpun dalam kosmopolitanisme.Untuk gagasan
kosmopolitanisme,Taimiyah kembali berpatokan pada ajaran bahwa Islam sebagai
kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin) seperti
disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya : 107.
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai
terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromosikan
kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Dalam aspek politik dan kenegaraan,secara radikal, Taimiyah lebih
memenangkan gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala-galanya,termasuk
keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah “lebih baik
dipimpin oleh pemimpin yang kafir yang adil, daripada dipimpin oleh pemimpin
muslim yang dzalim.[6]
Jelas sekali pendapat Taimiyah ini dalam konteks kepemimpinan dan
kewarganegaraan sangat kosmopolit dengan memandang manusia sebagai individu
yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan
tradisional lainnya.
Bermula dari pendapat mengutamakan pemimpin yang adil dibandingkan
keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek
kosmopolitanisme. Taimiyah mengemukakan tugas utama Negara adalah tegaknya
syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal. Dengan demikian
syari’ah dan keadilan universal adalah suatu yang paralel dan harus berjalan
seiring.
Lahirnya gagasan kosmopolit dapat ditelusuri oleh berbagai faktor.
Ibnu Taimiyah hidup dalam lingkungan masyarakat yang hiterogen.
Hiterogenitasnya menyangkut hal yang sangat kompleks, baik dalam hal
kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat
sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat
tinggi. Dalam satu wilayah terdapat berbagai bangsa : Arab asal Irak, Arab
asal Suria, Mesir, Turki, Tatar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap,
Armenia dan sebagainya. Mereka masing-masing berbeda dalam adat istiadat,
tradisi, prilaku dan alam pikiran.[7]
Hal tersebut jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan bagi kehidupan
bernegara. Dalam situasi demikian sukar diciptakan stabilitas politik,
keserasian sosial, dan pemupukan moral serta akhlak. Selain itu dipertajam lagi
oleh faktor banyaknya mazhab, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hanbali. Jika semasa hidupnya sering keluar masuk penjara, hal itu tidak selalu
disebabkan karena ia memusuhi penguasa. Dia adalah tokoh mazhab Hanbali yang
tegas dan berani, karena kritiknya yang tegas dan tajam terhadap kebiasaan
memuja para Nabi dan Wali, maka ia mendapat tantangan dari para ulama dan
mazhab lain.
2. Doktrin
Kekhalifahan di tangan orang Quraisy tidak relevan dan tidak urgen
Isu sentral yang dikumandangkan Ibn Taimiyyah adalah kembali kepada
Al-Qur’an dan Hadits, dengan membuang jauh-jauh perbuatan syirik, khurafat,
bid’ah, pengkultusan seseorang dan lain-lain. Dalam kerangka inilah kita dapat
melihat relevansi kondisi sosial masyarakat yang mendorong Ibnu Taimiyyah untuk
tidak mengakui kehujjahan hadits bahwa pemimpin harus dari bangsa Quraisy, karena dalam
hadits tersebut ada unsur yang menyeru kepada pengkultusan suatu bangsa atau
golongan. Padahal Al-Quran menurut Ibnu Taimiyah memuliakan manusia bukan
karena keturunan dan kebangsaan, namun atas dasar ketaqwaan.Sehingga wajar
kalau pada akhirnya ia tidak mengakui kequraisyan sebagai salah satu syarat
kekhalifahan, tetapi berusaha menggali syarat-syarat kepemimpinan berdasarkan syari’at
melalui pesan dan nilai-nilai Al-Qur’an.Kepemimpinan berdasarkan syari’ah
inilah yang merupakan konsep politik yang ia tawarkan sebagai usaha memberikan
solusi atas kondisi politik yang dihadapinya.
3. Pemikiran
Ibnu Taimiyah tentang Institusi Negara
Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam,
merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi
negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia
menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan
masyarakat untuk mencapai keadilan.
“Manusia pada
dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah
mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan
dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang
padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang
mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.”[8]
Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan
memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas
mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena
pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui
suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian
untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut kepatuhan
dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih
baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi
hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk
kita”.[9]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan
lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang
dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas
pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga
Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam
bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan
mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi
munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan
sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah
penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[10]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan,
Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara.
“Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk detik
meninggalkan kewajiban maupun detik mengerjakan larangan.”
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang
terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak
dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan
Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam
pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti
pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah
keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pemimpin
menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas
politik termasuk dalam kategori “amanat” dan “tugas publik (waliyat)” seperti yang dipahami
dalam syariat. Karena itu, seorang penguasa politik wajib “menyampaikan amanat
kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil”.[11]
Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan
politik (sultan, mulk, amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk
membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah
bersikukuh bahwa agama tidak dapat diamalkan tanpa kekuasaan politik. Tugas
agama untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran benar-benar tidak
dapat dicapai “kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya
yang terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya
dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.” [12]Dalam
pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa
adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik,
kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk
mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan
memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau
semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali,
wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa
pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya;
kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur
Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya
berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang
wajib ia upayakan sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara
atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba
pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang
korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban
untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia
yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan
penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan.
Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi
Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya
pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental
dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan
sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah
bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan
pada stabilitas. Dasar pandangan ini dikatakan berasal dari Rasulullah Muhammad
(?) yang bersabda bahwa 70 tahun kehidupan sosial di bawah kekuasaan refresif
masih lebih baik dari hidup sosial tanpa ada kepemimpinan atau (lebih baik) dari
anarki.[13]
Dari sumber
lain pernyataan “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim
dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan adalah berasal dari pendapat
ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.[14]
Bentuk
negara menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan
politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah
meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama
(Al-Quran dan As-Sunnah). Suatu pemikiran ekstrim yang menentang arus pemikiran
teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya,
tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan
tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat
Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah.
Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya.
Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya,
negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang
mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah
negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih
meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan,
dibandingkan meributkan bentuk negara.
Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan yang lebih dekat
kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud
menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas
dari penjelasan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang
menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini
kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para
filsuf Islam tentang teori kekuasaan.[15]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari sini pemakalah coba menarik suatu kesimpulan
bahwa dalam pandangan Taymiyah, legitimasi moral lah yang ia anggap layak
diterapkan mengingat itu menguntungkan ummat. Ini tercermin dalam pernyataan
beliau yang dikutip Qamaruddin Khan : ”kesejahteraan ummat tidak dapat terwujud
melainkan dalam sebuah tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung. Dan
oleh karenanya masyarakat membutuhkan seorang untuk mengatur mereka” .Dari
pernyataan ini jelas bahwa yang menjadi titik tekan bagi Taymiyyah adalah
problem sosial, ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial harus ada dan
karena pemikirannya lebih cenderung pada
legitimasi etis moral kekuasaan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan
rakyat.
[9] Lihat Albert
Hourani, Pemikiran Liberal di
Dunia Arab, (Bandung :
Mizan, 2004)., h. 31, pandangan tersebut diambil dari karya Ibnu Taimiyah Al-Siyasah yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis.
[11] Lihat Q. S. 4 (An-Nisa) : 61-62.
[13] Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, terjemahan Firdaus AN, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1960) h. 229-241.
[14] Lihat Masrohin
dalam “Pengantar Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu
Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. h. vii.
[15] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti.