Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Thursday 18 April 2013

IBNU THUFAIL : RIWAYAT HIDUP DAN FALSAFAH HAYY BIN YAQZAN



IBNU THUFAIL : RIWAYAT HIDUP DAN FALSAFAH HAYY BIN YAQZAN

I.          PENDAHULUAN
Karya dalam bidang filsafat yang juga berpengaruh besar pada Abad pertengahan di Barat selain karya-karya Ibn Sina dan Ibn Rusyd adalah Risalat Hayy bin Yaqzan dari Ibn Thufail. ‘Novel filsafat’ ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti bahasa latin, Yahudi, Inggris, Belanda, Spanyol, jerman, Perancis, dan Rusia (H.L. Bec & N.J.G.Kaptein, 1988:73-74)

Disini akan diungkapkan tentang riwayat hidup dan falsafat hayy bin Yaqzan untuk menberikan gambaran, paling tidak secara umum, apa yang terkandung dan ingin disampaikan oleh pengarangnya. Ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, untuk lebih memahami karya-karya filosof Islam tersebut sehingga dapat mengambil inti sari dan memperluas pandangan di bidang pemikiran Islam.

II.       RIWAYAT HIDUP
Terlahir dengan nama Abu Bakar Muhammad Ibn Abdul Malik Ibn Thufail al Qaisi. Selain menduduki jabatan Menteri, dia juga sebagai dokter bagi Abu Ya’kub (1163-1184), Khalifah Daulah Muwahhidin, sedangkan sebelumnya sebagai Sekretaris di Granada. (T.J.De Boer, 1970:182). Lahir di Wadi Asy, sebuah kota kecil di timur Granada, tahun 1100. Tidak jelas siapa orang tuanya dan pendidikan apa saja yang telah ditempuhnya. Namun dikemukakan dia mendalami ilmu kedokteran dan falsafat di Savilla dan Cordova. (Madjid Fakhry, 1986; 364). Dia lebih menggemari membaca buku dari pada bergaul dengan masyarakat. Karena tekum membaca di perpustakaan pribadinya dia dapat mengumpulkan banyak informasi yang memenuhi keinginannya yang sangat tinggi untuk menguasai pengetahuan. Walaupun demikian dia lebih senang berkontemplasi dari pada mengerjakan hal-hal yang bersifat ilmiah. Karena itu dia jarang menulis. (De Boer, 1970: 182).

Kedudukannya yang tinggi di istana memudahkannya untk mengumpulkan orang-orang pandai dan memperkenalkan mereka dengan Abu Ya’kub yang memang menghargai ilmu pengetahuan dan berminat dalam bidang falsafat. Atas dorongan Ibnu Ruyd mengulas buku-buku Aristoteles , sehingga yang terakhir ini dikenal sebagai komentator Aristoteles. (A. Hanafi, Ma, 1969;174).

Karya ibn Thufail meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hayy bin Yaqzan, merupakan inti sari pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ibn Thufail meninggal di marokko tahun 1185, setahun setelah wafatnya Abu Ya’kub, khalifah Daulah Muwahiddin, yang melindungi dan menghargai pikiran-pikirannya.

III.    RINGKASAN ISI HAYY BIN YAQZAN
Seorang anak, yang ditinggalkan sendirian di suatu pulau, akhirnya ditemukan oleh seekor rusa yang kehilangan anaknya. Ketika umurnya semakin matang, timbul keinginannya yang luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suatu yang tidak dimengertinya. Dia melihat bahwa binatang memiliki penutup tubuh alami dan alat pertahanan diri sehingga mampu menghadapi lingkungannya sedangkan dia sendiri tidak punya pakaian sebagai penutup tubuh dan juga tidak ada senjata untuk mempertahankan diri. Karena itu dia pertama-tama menutup tubuhnya dengan daun-daunan, kemudian dengan kulit binatang yang sudah mati serta menggunakan tongkat untuk pertahanan diri.

Secara berangsur-angsur dia juga mengenal akan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Dia menemukan api yang dianggapnya sebagai gejala kehidupan. Kemudian dia tahu akan manfaat bulu binatang, tahu cara bertenun, dan mampu membangun sebuah gubuk untuk tempat tinggalnya.

Rusa yang mengasuhnya, pengaruhnya semakin lemah, tua, dan akhirnya mati. Terhadap kejadian ini timbul keinginannya untuk mengetahui rahasia kematian. Maka tubuh binatang itu pun dibelahnya untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya. Dari penyelidikiannya secara cermat diketahui bahwa penyebab kematian karena tidak berfungsinya jantung sehingga roh keluar dari tubuh. Karena itu kematian pada dasarnya karena tidak ada persatuan jiwa dengan tubuh, walaupun yang mati itu tubuhnya nampak masih utuh.

Dia meneruskan studinya dengan mempelajari tentang logam, tumbuh-tumbuhan, dan bebagai ragam jenis binatang. Dia juga dapat menirukan bunyi binatang yang ada disekitarnya.

Setelah itu dia mengarahkan perhatiannya pada fenomena angkasa dan keanekaragaman bentuk. Dalam keanekaragaman tersebut ternyata terdapat keseragaman yang pada hakekatnya adalah satu. Akhirnya dia berpendapat bahwa di belakang yang banyak itu terdapat asal yang satu, punya kekuatan tersembunyi, unik, suci, dan tak dapat dilihat. Inilah yang disebutnya penyebab pertama atau pencipta dunia ini.

Kemudian dia merenungkan tentang keadaan dirinya, caranya memperoleh pengetahuan sehingga akhirnya dia mendapat pengertian tentang makna substansi, komposisi, materi, bentuk, jiwa dan keabadian jiwa. Dia juga memperhatikan sungai yang mengalir dan menelusuri asal usul air tersebut. Dari situ diketahuinya bahwa pada dasarnya air tersebut berasal dari suatu sumber yang sama. Dia mengambil kesimpulan bahwa manusia pun asal usulnya adalah satu.

Perhatian selanjutnya ditujukan kepada langit, gerakan bintang, peredaran bulan, serta pengaruhnya pada dunia. Dari situ nampak adanya keindahan, ketertiban, dan tanda-tanda penciptaan.
Dalam hal tingkah lakunya terhadap lingkungannya, Hayy berusaha menghindari untuk membunuh binatang, memakan hanya buah yang masak dan menanam bijinya agar dapat tumbuh dengan baik. Dia juga memakan sayur-sayuran namun tidak makan daging binatang kecuali keadaan memaksa.

Dari pengamatan yang bersifat phisik yang mengunakan argumen logis dan eksperimen objektif dia beralih sebagai pencari Tuhan melalui perenungan rohani. Karena menurut dia alam semesta ini merupakan pencerminan Tuhan.

Dalam pencariannya tentang wujud Tuhan itu akhirnya dia berhasil yang dianggapnya itulah objek pengetahuan tertinggi. Tujuan akhir mencari kebenaran adalah dengan jalan pemusnahan diri atau penyerapan dalam Tuhan (fana) yang berujung pada kehidupan mistik. Namun dia tidak menyebut dirinya Tuhan karena Tuhan selalu  membimbingnya ke jalan yang benar. (A.M.A. Shustery, 1975; 342-343 & A. Hanafi, Ma., 1969; 176; & Madjid Fakhry, 1986; 367-371).

Di sebuah pulau yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Namun terdapat dua orang, Asal dan Salaman, yang menonjol karena pemahamannya tentang agama. Salaman cenderung untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan secara ruhani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni, dimana Hayy menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantra keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci yang disampaikan Nabi. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.

Asal juga menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari kekayaan dan pemuasan kesengangan sehingga menimbulkan kesombongan.

Akhirnya Hayy dan Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat ruhani dan mistik itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik.

Kebenaran keagamaan bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.

IV.    FALSAFAT HAYY BIN YAQZAN
Dari ringkasan cerita itu dapat ditangkap beberapa pemikiran yang ingin dikemukakan oleh pengarangnya. Pertama fase sewaktu Hayy hanya hidup sendiri di sebuah pulau tersebut. Penyelidikannya tentang alam dan perenungannya yang ditempuhnya secara bertingkat menimbulkan kematangannya untuk berpikir logis. Pemikiran logis ini pada gilirannya membantu proses perenungannya untuk sampai kepada Tuhan. Tanpa petunjuk Kitab Suci dan bantuan orang yang ahli, seorang yang berpikiran sehat dan tekun akan dapat mencari kebenaran. Yang kedua pengarang ingin menyampaikan adanya keserasian antara akal dan wahyu atau antara Falsafat dan Agama. Ini dapat dilihat sewaktu Hayy betemu dengan Asal dan mereka saling mengungkapkan pengetahuannya masing-masing. Ternyata ada kecocokan antara pengetahuan yang diperoleh Hayy melalui pengalaman dengan pengetahuan Asal yang berdasarkan kitab suci. (Madjid Fakhry, 1986, 367-373).

Ketiga, Ibnu Thufail tidak mengharapkan bahwa seluruh manusia (masyarakat) dapat dibawa menuju kebenaran. Agama diperlukan untuk mencegah keinginan-keinginan jahat manusia, karena itu orang awam harus diberikan bimbingan melalui agama. Seorang filosof yang berusaha memperbaiki orang tersebut sama dengan mengerjakan sesuatu yang mengandung resiko dan hilangnya sesuatu yang telah mereka dapatkan. (D.B.MacDonald, 1903; 252).

Dari uraian tentang Hayy bin Yaqzan di atas terdapat suatu sistem etika yang dipengaruhi oleh Phytagoras. Tujuan dari segala tindakannya adalah untuk mencari Yang Maha Esa dalam segala sesuatu untuk menyatukan dirinya sendiri kepada Yang Absolud dan Yang Berdiri Sendiri. Dia melihat bahwa seluruh alam berusaha untuk mencapai wujud tertinggi itu. Dia tidak sependapat bahwa segala sesuatu di dunia ini ada untuk kepentingan manusia. Menurut dia binatang dan tumbuh-tumbuhan hidup untuk dirinya sendiri dan untuk Tuhan, karenanya dia tidak diizinkan untuk berhubungan semaunya dengan mereka. Oleh karena itu dia membatasi segala keinginannya yang bersifat jasmani hanyalah untuk keperluan yang sangat terpaksa. Dia lebih suka memakan buah-buahan yang masak sehingga bijinya yang dibuang ke tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjaganya agar tidak mati. Hanyalah karena sangat terpaksa maka dia mau makan daging binatang. Demikianlah sikapnya yang bersifat jasmani terhadap yang duniawi, dimana dia berusaha agar hidupnya berguna bagi lingkungannya sehingga kehidupannya terjaga kemurniannya. Karena itu dia menjaga tumbuh-tumbuhan dan memelihara binatang di sekelilingnya sehingga pulau yang didiaminya bisa menjadi suatu tempat yang menyenangkan. Pengarangnya juga memperhatikan dengan cermat terhadap kebersihan Hayy dan pakaiannya, dan berusaha memberikan suatu yang selaras terhadap geraknya, yang sesuai dengan gerak dari tubuh yang jiwanya bersih. Dengan cara ini maka Hayy secara bertahap mampu meningkatkan dirinya sendiri menuju Jiwa yang murni, dengan cara meditasi, yang tidak ada pikiran, perkataan, dan imajinasi yang sanggup memahami atau mengungkapkannya. (T.J. De Boer, 1970; 186-187)

V.       PENUTUP
Inti dari yang dikemukakan Ibn Thufail, seperti yang disimpulkan oleh Nadhim al Djihr dalam buku “Qissat al Iman”, yaitu :
a.      Urut-urutan tangga ma’rifah dimulai dari objek indrawi khusus sampai kepada universal.
b.      Akal dapat mengetahui wujud Tuhan tanpa penjabaran dan petunjuk dengan melalui tanda-tanda yang ada pada makhluk serta dalil-dalil atas wujudnya.
c.           Akal ada kalanya tidak mampu memahami makna keazalian, kadim, huduts, dsb.
d.     Qadimnya alam atau baharunya semua ditujukan untuk membuktikan adanya Tuhan.
e.      Melalui akal manusia dapat dipahami dasar-dasar keutamaan,dasar-dasar akhlak dan kemasyarakatan, serta dapat mengendalikan keinginan jasmaniah untuk tunduk kepada pikiran yang benar tanpa mengabaikan hasrat jasmaniah tersebut.
f.             Apa yang dikemukakan oleh syari’at dan yang diketahui akal pada dasarnya tidak ada perbedaan.
g.      Pokok semua hikmah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Syara’, yaitu mengemukakan sesuatu menurut kesanggupan akal  yang diterimanya. (A. Hanafi, MA., 1969; 176-177)

VI.    BAFTAR PUSTAKA

Beck, H.L. dan N.J.G.Kaptein (redaktur), Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, INIS, Jakarta, 1988.

Fakhry, Madjid, Prof., Sejarah Filsafat Islam, Terjemahan Drs. R.Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.

Ghallab, Muhammad, Dr., Al Ma’rifah Inda Mufakkiri al Muslimin, al Daar al Mishriyah, Qairo, t.t.
MacDonnadl, Duncan B, M.A., B.D., Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Charles Scribner’s Sons, New York, 1903.

Shustery, A.M.A, Outlines of Islamic Culture, SN. Muhammad Ashraf, Lahore, 1975.

T.J. De Boer, The History of Philosphy in Islam, Luzac & Company Ltd., London, 1970.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.