Terima Kasih Telah Mampir Di Blog MUHAMMAD KHAIRUL AMRY. Semoga apa yang sobat cari ditemukan disini. Jangan lupa kritik dan saran untuk perbaikan Blog ini kedepannya. Thankss...
Powered By Blogger

Tuesday 16 April 2013

SEJARAH DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH


A.     Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun
1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah,
mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.
[1]

Pendidikan pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al
Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah
hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia
dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa
Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat
membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh
Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.[2]
Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu
dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said
Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik
kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah
seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-
rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".

B.     Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh
Muhammad  Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan dasar di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha,  memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami sari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.[3]
Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi prancis (Napoleon) ke Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid (pembaharu) yang menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[4]
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta dorongan Syekh Darwisy agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh  Syekh Hasan Al -Thawil yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya. Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomonikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu.[5]
C.     Corak Pemikiran Muhammad Abduh
                  1.      Moderenisasi
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a.       Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.      Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
c.       Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.[6]
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[7] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah.[8] Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[9]
      2.      Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis.[10]
      3.      Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[11]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
D.    Inti Pemikiran Muhammad Abduh
                  1.      Membebaskan pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
                  2.      Memperbaiki bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat menyurat antar manusia.
                              3.      Pembaharuan di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi anggota majelis itu.[12]
Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan.[13]
E.     Aggenda Pembaharuan Muhammad Abduh
1.      Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran islam telah mendapat tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
                  2.      Reformasi
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan melahirkan pendidikan yang merosot moralnya.[14]
Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil, seperti Muqodimah karya Ibnu Khaldun.[15]
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam yang padam diharapkan hidup kembali.
                  3.      Pembelaan Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.
                  4.      Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya.[16]
F.      Manhaj Pemikiran Keagamaannya
Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling
berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah
(Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis
memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang
Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorang
dalam bertindak.[17]
1.      Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang telah disepakati(mu jma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di
dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai  jelas.[18]
Disinilah peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang tidak pasti tersebut.
Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum, dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah kemustahilan.
Menurutnya, setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai dengan situasi dan  kondisinya. Jadi yang mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.[19]
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam akan selamat dari bahayatak lid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau
suatumadzhab tertentu.
Menurut Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bi al-Madzhab.[20]
Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat  dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid tidak bias dihindarkan.
Abduh menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan, sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.[21]
Oleh karena itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah
dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.
Tantangannya yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.
Di samping itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatantakl id dan bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatu. Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bias diterapkan di kalangan muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan lebi baik.
2.      Bagian Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya,
pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.[22]
Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.
Pemahaman Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
Mempercayai qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut, menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada setiap
sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam  tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.[23]
Menurutnya, manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasandalam menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud.
Namun, manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan hukum sebab akibat itu.[24]


G.    Metode Muhammad Abduh dalam Pembaharuan
            Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran,dan perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan (tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam.[25]
            Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2 bagian yaitu:
1.      Mereka yang condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua. Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2.      Mereka yang condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
            Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil jalan tengah antara kedua kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”. Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para salafus shaleh terdahulu.
H.    Dampak Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam Kontemporer
            Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam. beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Muhammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin  Al-Afghani.
            Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:


1.      Reformasi Pendidikan
            Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2.      Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial.
            Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jamiâah khairiyah islamiyah,jami’ah ihya al-ulum al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.
3.      Mendirikan Sekolah Pemikiran.
            Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.[26



KESIMPULAN
Muhammad Abduh Adalah seorang tokoh filsafat yang terkenal pada masanya, Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Quran dan dengan kecerdasannya beliau bisa menghafal Al-Quran sejak usia 12 tahun.  Dan beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Uneversitas Al-Azhar Kairo.
Ide-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Ide pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan, khususnya di Universitas Al-Azhar telah memberi kesan yang mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Antara ide tersebut ialah: mewujudkan mata pelajaran Matematik, Geometri, Algebra, Geografi, dan Sejarah, mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-Azhar, menyediakan gaji guru dari perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki asrama pelajar dengan menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti metode pengajaran yang bersifat hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.


DAFTAR PUSTAKA

Abduh Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. VII, Mesir: Dar al Manar, 1353 H
Al Bahiy, Muhammad. Pemikiran Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
Madjid, Nur Cholis. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989
Nasution Harun, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1981
Nasution, Harun. teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1984
Ridha Muhammad Rasyid, Târîkh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Juz I, Cet. II, Mesir: Dar al-Manâr, 1367 H
Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1995
Sani, Abdul. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada, 1998
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid ridha, Bandung: Pustaka Hidayah, 1994
Suharto,Toto. Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Arruzz, 2006
Syar’i, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Qutub Sayyid, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam: Republika, 2002, Jakarta


[1][1] Harun Nasution, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 19.
[2][2] Ibid. hal, 19-20
[3][3] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17

[4][4] Ibid, hal. 15
[5][5] Ibid, hal. 18
[6][6] Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[7][7] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258

[8][8] M. Qurais Shihab, Studi Kritis Tafsir Al Manar, hal. 19
[9][9] Ibid, hal. 20
[10][10] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, hal. 265

[11][11] Ibid, hal. 266
[12][12] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488
[13][13] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, terj. Su’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 95
[14][14]  Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), hal. 70
[15][15] Ibid, hal. 77-78
[16][16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 246-247
[17][17] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, hlm 25.
[18][18] Ibid, hlm 26.
[19][19] Ibid, hlm 29.
[20][20] Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.
[21][21] Muhammad Abduh, hlm 40.
[22][22] Muhammad Abduh, 42.
[23][23] Muhammad Abduh, hlm 50.
[24][24] Muhammad Abduh, hlm 51.
[25][25] Nasution, Harun.1984.teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Hal, 172

[26][26] Ridho, Muhammad Rashid. Tarikh al-Ustaadz  al-Imam Muhammad Abduh. Mesir: Al-Manar. Hal, 56-57

1 comments:

Unknown said...

tolong di komen ya sob buat perbaikan penulisan kedepannya y sob..thankss
semoga ini bermanfaat.

Post a Comment

Powered by Blogger.