HAKIKAT MANUSIA
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Tuhan menciptakan manusia dalam
bentuk yang paling sempurna dan melengkapinya dengan sifat yang unggul.
Keunggulannya dibandingkan seluruh makhluk sebagaimana ditunjukkan oleh
kemampuan intelektualnya yang khas dalam berpikir dan memahami, dan kesiapannya
untuk belajar dan mengembangkan budaya tidak perlu dipertanyakan lagi.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki manusia membawanya kepada level makhluk
yang paling tinggi.
Rasionalitas yang dimiliki
memberinya independensi akan dirinya. Dengan independensinya, manusia mempunyai
pilihan dalam menentukan arah kehidupannya sesuai dengan daya nalarnya
(rasionalitas). Dengan rasionalitasnya, manusia diberi kebebasan bagaimana
melakukan sesuatu.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai
khalifah (pengelola) bumi, keberadaan makhluk-makhluk lain semata-mata
untuk dikelola/dikuasai oleh manusia. Pengelolaannya ini tentu bukan hanya
larut dalam stagnasi, akan tetapi harus dinamis ke arah yang lebih baik (sarat
akan nilai), hal ini menuntut manusia sebagai makhluk bukan bebas nilai.
Sebagai khalifah,
manusia diberikan seperangkat pengetahuan dan keterampilan sebagai penunjang.
Hasilnya adalah kebudayaan yang sarat akan nilai juga pengelolaan sumber daya
yang ada di alam. Akan tetapi pengembangan yang tanpa kontrol justru membawa
kea rah kerusakan. Jika terjadi demikian, berarti ada yang salah dalam proses
pengembangan potensi (fitrah) yang dimiliki. Hal ini memungkinkan untuk
revitalisasi pengembangan potensi sesuai dengan penciptaan hakikat manusia.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana fitrah manusia dalam pandangan filosofis dan psikologis?
2.
Bagaimana penempatan manusia sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan
religius?
3.
Bagaimana pengembangan potensi manusia dan implikasinya dalam dunia pendidikan?
PEMBAHASAN
MANUSIA; DISKURSUS
FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS
Diskursus Filosofis
Manusia adalah makhluk yang
mempunyai kesadaran, ia sadar bahwa ia ada (cogito ergo sum kata
Descartes), bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Kesadarannya berpusat pada psikis
atau jiwa, dan bersifat langsung. (Sholeh dan Musbikin: 2005:70). Kesadaran
membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya. Kesadaran dapat membawanya kepada
rasionalitas. Rasionalitas merupakan puncak tertinggi dari manusia. Fitrah (potensi)
merupakan interaksi dan dialog terhadap lingkungan eksternal, di mana hasilnya
membentuk kebudayaan yang sarat akan nilai. (Rosyadi: 2004: 39).
Fitrah manusia merupakan potensi yang dapat dikembangkan.
Manusia merupakan makhluk yang
bertanya, eksentris (tidak ada aku tanpa dunia dan sesama-sosial), paradoksal
(kekhasan kedudukan manusia di dunia), dinamis, dan multi dimensional.(
Snijders: 2004:13-16). Sebagai makhluk yang bertanya
manusia selalu mempertanyakan segala hal yang baru baginya, bahkan eksistensinya
sendiri pun dipertanyakan. Kemampuan mempertanyakan segala hal ini, manusia
menjadi makhluk yang sadar. Sebagai makhluk eksentris, menunjukkan bahwa
manusia tidak dapat hidup secara individual, manusia membutuhkan manusia lain
dan lingkungan untuk hidup. Alam ini ada pun diciptakan untuk dikelola oleh
manusia, hal ini mengukuhkan eksistensinya sebagai makhluk yang paradoksal.
Perubahan-perubahan alam yang semakin berkembang sesuai dengan masa dan
karakteristiknya, menunjukkan dinamisasi sifatnya. Sebagai makhluk multi
dimensional, manusia terdiri dari dua substansi yaitu substansi materi dan
immateri.
Substansi material (atau yang
sering disebut jasad/tubuh), komponen ini berfungsi sebagaimana fungsi indra
(mendengar, melihat, meraba, mengecap, mencium) serta fungsi fisiologis
mekanis, tidak berdiri sendiri, berbentuk komposisi, tidak kekal dan berada
dalam alam jasad (jisim). Sedangkan immaterial (psikis/ruh), ada dua
fungsi yang signifikan pada komponen ini, yaitu daya pikir (rasionalitas/nalar)
dengan akal (bukan organ otak) dan rasa (spiritualitas) dengan hati (bukan
organ hati), berdiri sendiri tidak berbentuk komposisi, mempunyai daya
mengetahui dan menggerakkan, kekal dan berasal dari dunia metafisik.(Nizar:
2002:16)
Menurut eksistensinya, manusia
merupakan makhluk kosmis yang dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat yang
diperlukan untuk mengemban tugas dan fungsi sebagai makhluk Tuhan. (Nizar:
2002: 1). Para filosof percaya bahwa kosmos (alam raya) dengan segala
atributnya merupakan jagat besar, hal ini karena masing-masing komponennya
saling berinteraksi secara harmonis-mekanis. Manusia merupakan jagat kecil, hal
ini karena nilai-nilai yang ada di kosmos dapat terangkum dalam tubuh manusia.
Interaksi antar organ dan sistem dalam tubuh manusia menciptakan harmonisasi
dan mekanistis yang hampir sama dengan planet maupun antariksa di jagat raya.
Kalangan Aristotelian,
beranggapan bahwa jiwa (ruh) mempunyai tiga tipe atau tahapan; pertama,
vegetatif, di mana pada tahapan ini jiwa mampu menyerap makanan dan reproduksi
sendiri. Jiwa ini yang dimiliki tumbuhan (level/tahap tumbuhan). Kedua,
sensitif, pada tahap ini jiwa selain mempunyai jiwa vegetatif juga mempunyai
daya penggerak dan refleks. Jadi rangsangan-rangsangan dari luar, langsung bisa
direspon secepat mungkin karena sensitifitas yang dimiliki. Pada tahapan ini,
jiwa dilengkapi seperangkat jasmaniah yang mendukung berupa alat indra. Jiwa
ini yang dimiliki oleh hewan (level/tahap hewan). Dan ketiga,
rasional, jiwa pada tahapan ini merupakan jiwa tertinggi, di mana keberadaannya
mampu berpikir secara sadar. Jadi tidak hanya jiwa vegetatif maupun sensitif
saja. Jiwa ini yang dimiliki oleh manusia (level/tahap manusia). (Abidin: 2002:
37)
Berbeda dengan Rene Descarter
(1596-1650) yang berpendapat bahwa manusia tidak melulu fisiologi mekanis (jiwa
vegetatif dan sensitif, dikatakan mekanis karena didalamnya ada proses
percernaan, respirasi, sirkulasi, reproduksi, dan sebagainya). Descartes
berpendapat bahwa manusia hanya memiliki jiwa rasional saja dan menolak
mekanistis. Keberadaan manusia merupakan hasil interaksi antara jiwa rasional
dan tubuh. Landasan berpikir Descartes adalah manusia yang tampak
bukanlah hakikat dari manusia itu sendiri, hakikat manusia adalah konsep
manusia, sedangkan yang tampak adalah interpretasi dari konsep manusia.(Abidin:
2002: 42)
Berbeda menurut kaum
materialisme, di mana manusia adalah makhluk alam yang konkrit, bukan ruh yang
terjun ke dalam materi. Manusia merupakan bagian integral dari alam dan materi,
dengan kata lain manusia tergantung dari alam sekaligus mempunyai sikap aktif
terhadap alam, dari alamlah manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya
melalui praksis kerja. ( Muawiyah: 2004:122)
Manusia merupakan bentuk materi yang mekanis (materialisme-mekanis), di mana
terdiri atas proses-proses fisologis, neurologis, fisika, biokimia yang bekerja
sebagai sistem organisasi berpusat pada central nervous system (sistem
syaraf pusat). (Jalaludin: 2007:17)
Diskursus Psikologis
Adanya diskursus psikologi
tentang keberadaan manusia, memudahkan arahan pengembangan fitrah (potensi)
manusia. Para pakar psikologi berbeda tentang pengembangan potensi, hal ini
penting untuk dunia pendidikan.
Aliran psikoanalisis (Sigmund Freud –1856-1939). Freud membagi struktur kepribadian manusia
menjadi tiga sistem, yaitu; Id (doronganan-dorongan biologis), Ego (kesadaran
terhadap realitas kehidupan), dan superego (kesadaran normatif). Ketiganya
saling berinteraksi dan memiliki fungsi dan mekanisme yang khas.
Pada tingkatan Id, manusia berperan
sebagai tubuh mekanis, membutuhkan udara untuk proses respirasi, membutuhkan
makanan untuk proses pencernaan, dan lain sebagainya. Pada tingkatan Ego,
manusi berperan sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain dalam
proses kehidupannya, membutuhkan alam guna memenuhi kebutuhannya, dan
kehidupannya sarat akan kepentingan. Dan pada tingkatan Superego, manusia
kembali kepada fitrahnya (asal penciptaannya). Manusia kembali dengan segala
kesadarannya, kesadaran sebagai makhluk, khalifah, dan kesadarn bahwa
dia sadar.
Aliran behavioristik (Ivan Pavlov, John B. Waston, dan B.F. Skinner). Teorinya tentang
stimultis-respon mengatakan bahwa manusia ketika dilahirkan tidak membawa bakat
apa-apa, dan akan berkembang setelah menerima stimulus dari lingkungan. Jadi
manusia pada dasarnya netral, yang menentukan baik buruknya adalah lingkungan
luar. Teori ini berkembang berlandaskan filsafat empirisme, di mana beranggapan
bahwa manusia lahir dalam keadaan kosong seperti kertas putih, karena
pengalaman lah yang memberinya warna, menggoreskan tulisan-tulisan di setiap
lembarnya, sehingga pengetahuan akan terbentuk berdasarkan pengalaman.
Aliran humanistik (Abraham Maslow dan C.R. Rogers). Semua manusia memiliki perjuangan
atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk mengaktualisasikan diri.
Manusia mempunyai otoritas akan dirinya sendiri.( Sholeh dan Musbikin:
2005:32). Aliran ini muncul akibat ketidaksetujuan dengan dua pandangan
sebelumnya, yaitu psikoanalisis dan behavioristik. Pandangan psikoanalis terlalu
menunjukkan pesimisme suram serta keputusasaan,sedangkan behavioristik diangga
terlalu kaku (mekanistik), pasif, dan statis.(Baharuddin dan Nur Wahyuni: 2008:
141)
MANUSIA; MAKHLUK
INDIVIDU, SOSIAL, SUSILA, DAN RELEGIUS
Manusia sebagai Makhluk
Individu
Setiap insan yang dilahirkan
tentunya mempunyai pribadi yang berbeda atau menjadi dirinya sendiri, sekalipun
sanak kembar. Itulah uniknya manusia. Adanya individulitas setiap orang
memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, daya tahan yang
berbeda. Kesanggupan untuk memikul tanggung jawab sendiri merupakan ciri
yang sangat essensial dari adanya individualitas pada diri setiap insan.
Sebagai makhluk individu,
manusia memerlukan pola tingkah laku yang bukan merupakan tindakan instingtif belaka.
Manusia yang biasa dikenal dengan Homo sapiens memiliki akal pikiran
yang dapat digunakan untuk berpikir dan berlaku bijaksana. Dengan akal
tersebut, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang ada di dalam dirinya
seperti, karya, cipta, dan karsa. Dengan pengembangan potensi-potensi yang ada,
manusia mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya yaitu makhluk
ciptaan Tuhan yang paling sempurna.
Perbedaan individualitas setiap
insan nampak secara khusus pada aspek sebagai berikut
a.
Perbedaan fisik: usia, tingkat dan berat badan, jenis kelamin, pendengaran,
penglihatan, kemampuan bertindak.
b.
Perbedaan sosial: status ekonomi,agama, hubungan keluarga, suku.
c.
Perbedaan kepribadian: watak, motif, minat dan sikap.
d.
Perbedaan kecakapan atau kepandaian
Manusia sebagai Makhluk
Sosial
Manusia adalah makhluk yang
selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang
diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial karena manusia menjalankan
peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan
perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui
medium kehidupan sosial. Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak
pada kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan
ini tanpa bantuan orang lain.
Kesadaran manusia sebagai
makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu
yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”.
Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat) maupun dalam
bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib mengayomi
individu. Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran
manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta
bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.
Manusia sebagai Makhluk
Susila
Susila berasal dari kata “su”
dan “sila” yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Istilah susila biasanya
diinterpretasikan dengan istilah etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan)
dan etika (persoalan kebaikan). Kesusilaan selalu berhubungan dengan
nilai-nilai. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia
karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan sebagainya, sehingga
dapat diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup.
Kehidupan manusia yang tidak
dapat lepas dari orang lain, membuat orang harus memiliki aturan-aturan norma.
Aturan-aturan tersebut dibuat untuk menjadikan manusia menjadi lebih beradab.
Menusia akan lebih menghargai nilai-nilai moral yang akan membawa mereka
menjadi lebih baik.
Pentingnya mengetahui dan
menerapkan secara nyata norma, nilai dan kaidah masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari mempunyai beberapa alasan, antara lain:
Pertama, Untuk kepentingan
dirinya sendiri sebagai individu
Setiap individu harus dapat
menyesuaikan terhadap kehidupan dan bertingkah laku sesuai norma, nilai, dan
kaidah yang berlaku pada masyarakat, agar individu tersebut merasa aman,
diterima dalam kelompok masyarakat tersebut.
Kedua, Untuk kepentingan
stabilitas kehidupan masyarakat itu sendiri
Dalam kehidupan bermasyarakat
tentunya memiliki aturan yang berupa norma, nilai dan kaidah sosial yang
mengatur tingkah laku individu yang bergabung didalamya. Norma, nilai dan
kaidah sosial tersebut merupakan hasil persetujuan bersama demi untuk
dilaksanakan dalam kehidupan bersama, demi untuk mencapai tujuan bersama.
Manusia sebagai Makhluk
Keberagamaan
Manusia adalah makhluk beragama,
dalam arti bahwa mereka percaya dan/atau menyembah Tuhan, melakukan ritual
(ibadah) atau upacara-upacara. Suatu fenomena bahwa manusia menyembah, berdoa,
menyesali diri dan minta ampun kepada sesuatu yang ghaib, walaupun kemudian ada
yang menjadi agnostic (tidak mau tahu akan adanya Tuhan) atau atheis
(mengingkari adanya Tuhan). Mereka cenderung untuk mengganti Tuhan yang
bersifat pribadi seperti negara, ras, proses alam, pengabdian total untuk
mencari kebenaran atau ideal-ideal yang lain.
Manusia diciptakan Tuhan Yang
Maha Kuasa di muka bumi ini sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan
dengan makhluk lain. Melalui kesempurnaannya itu manusia bisa berpikir,
bertindak, berusaha, dan bisa menentukan mana yang benar dan baik. Di sisi
lain, manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan dan kekurangan. Mereka
yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta. Sudah menjadi
fitrah manusia jika manusia mempercayai adanya Sang Maha Pencipta yang mengatur
seluruh sistem kehidupan di muka bumi.
Hubungan pribadi manusia dengan
Tuhan lebih bersifat trasendental, karena hubungan ini lebih banyak melibatkan
rohani pribadi manusia yang bersifat perseorangan. Dengan adanya agama maka
manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia karena manusia
adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia
memerlukan agama demi keselamatan hidupnya.
PENGEMBANGAN DAN
IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Pengembangan Manusia
Sebagai Makhluk Individu
Perkembangan manusia secara
perorangan melalui tahap-tahap yang memakan waktu puluhan atau bahkan belasan
tahun untuk menjadi dewasa. Upaya pendidikan dalam menjadikan manusia semakin
berkembang. Perkembangan keindividualan memungkinkan seseorang untuk
mengmbangkan setiap potensi yang ada pada dirinya secara optimal.
Pengembangan Manusia
Sebagai Makhluk Sosial
Di dalam kehidupannya, manusia
tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi
dengan sesamanya. Ini merupakan salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan
dengan manusia lain. Dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup
sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Hidup
dalam hubungan antaraksi dan interdependensi itu mengandung
konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Keadaan
positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nilai-nilai sekaligus watak
manusia bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh interaksi antarindividu.
Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan
bersama.
Tidak hanya terbatas pada segi
badaniah saja, manusia juga mempunyai perasaaan emosional yang ingin
diungkapkan kepada orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain
pula. Manusia memerlukan pengertian, kasih saying, harga diri pengakuan, dan
berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat
diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam
suatu tatanan kehidupan bermasyarakat.
Dalam berhubungan dan
berinteraksi, manusia memiliki sifat yang khas yang dapat menjadikannya lebih
baik. Kegiatan mendidik merupakan salah satu sifat yang khas yang dimiliki oleh
manusia. Imanuel Kant mengatakan, “manusia hanya dapat menjadi manusia karena
pendidikan”. Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan menjadi manusia
dalam arti yang sebenarnya. Pendidikan memberikan kontribusi bagi pembentukan
pribadi seseorang.
Pengembangan manusia
sebagai makhluk Susila
Hubungan dan kebersamaan dengan
sesama manusialah manusia dapat hidup dan berkembang sebagai manusia. Manusia
bertindak, tidak sembarang bertindak, melainkan mereka dapat mempertimbangkan,
merancang, dan mengarahkan tindakannya. Persoalan mengenai masalah apakah
tindakannya baik dan tidak baik, adalah persoalan tentang nilai, persoalan
norma, persoalan moral atau susila. Peran pendidikan disini membantu
mengarahkan perbuatan anak dalam kehidupannya dimasa mendatang. Dengan
pendidikan pula peserta didik dapat tumbuh kesadarannya terhadap nilai, dapat
tumbuh suatu sikap untuk berbuat dan mau berbuat selaras dengan nilai, atau
berbuat selaras dengan apa yang seharusnya diperbuat. Perbuatan yang selaras
dengan nilai itulah yang menjadi inti dari perbuatan yang bertanggung
jawab.
Pandangan manusia sebagai
makhluk susila atau bermoral, bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani
manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma.
Struktur jiwa yang disebut das Uber Ich (super ego) yang sadar nilai
esensial manusia sebagai makhluk susila. Kesadaran susila (sense of morality)
tidak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab adanya nilai, efektifitas
nilai, berfungsinya nilai hanya ada di dalam kehidupan sosial, artinya
kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Tiap hubungan sosial mengandung
hubungan moral. “Tiada hubungan sosial tanpa hubungan susila, dan tiada
hubungan susila tanpa hubungan sosial”.
Kodrat manusia sebagai makhluk
susila dapat hidup aktif-kreatif, sadar diri dan sadar lingkungan, maka
intervensi pendidikan bukan hanya sekedar penanaman kebiasaan atau latihan
namun juga memerlukan motivasi dan pembinaan kata hati atau hati nurani yang
kelak akan membentuk suatu keputusan. Pendidikan harus mampu menciptakan
manusia susila, karena hanya dengan pendidikan kita dapat memanusiakan manusia.
Dengan mengusahakan peserta didik menjadi manusia pendukung norma, kaidah, dan
nilai-nilai susila dan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Pengembangan Manusia
Sebagai Mahluk Religius
Manusia dapat menghayati agama
melalui proses pendidikan agama, penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama
dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit
formation). Tetapi sebagai pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya
tidak dapat diserahkan hanya kepada satu pihak sekolah saja atau orang tua saja
melainkan keduannya harus berperan. Untuk memenuhi kebituhan manusia tentang
pengetahuan agama, maka dimasukkannya kurikulum pendidikan agama di
sekolah-sekolah.
SIMPULAN
KESIMPULAN
1.
Manusia merupakan makhluk kosmis yang dilengkapi dengan semua pembawaan dan
syarat yang diperlukan untuk mengemban tugas dan fungsi sebagai makhluk Tuhan.
Para filofos berbeda pendapat tentang konsep manusia, seperti halnya
kalangan Aristotelian, beranggapan bahwa jiwa (ruh) mempunyai tiga tipe atau
tahapan; vegetatif, sensitif, dan rasional. Sedangkan Rene Descarter
(1596-1650) berpendapat bahwa manusia hanya memiliki jiwa rasional saja dan
menolak mekanistis. Berbeda dengan kaum materialis (materialisme), manusia
merupakan bentuk materi yang mekanis (materialisme-mekanis), menolak adanya ruh
(unsur ruhaniah). Para pakar psikologi berbeda tentang pengembangan potensi,
hal ini penting untuk dunia pendidikan. Pertama, pemembagian struktur
kepribadian manusia menjadi tiga sitem; Id, Ego dan superego oleh aliran
psikoanalisis. Kedua, anggapan tentang manusia ketika dilahirkan tidak
membawa bakat apa-apa, dan akan berkembang setelah menerima stimulus dari
lingkungan oleh aliran behavioristik. Dan ketiga, teori bahwa manusia
memiliki perjuangan atau kecenderungan yang dibawa sejak lahir untuk
mengaktualisasikan diri oleh aliran humanistik.
2.
Sebagai makhluk individu menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik, manusia
yang satu berbeda dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial menunjukkan
bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan
orang lain. Keterikatan antara individu dalam dunia sosial menciptakan sebuah
pola sebagai kesepakatan bersama, pola tersebut sering disebut susila (manusia
sebagai makhluk susila). Dan manusia meyakini bahwa dia memiliki keterbatasan
dan kekurangan. Mereka yakin ada kekuatan lain, yaitu Tuhan Sang Pencipta Alam
Semesta (manusia sebagai makhluk relegius).
3.
Implikasinya dalam dunia pendidikan menuntut agar terpenuhinya kebutuhan keberadaan
manusia sebagai makhluk indivual, sosial, susila, dan relegius. Keempat hal
tersebut menjadi dasar tujuan pendidikan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal. 2002. Filsafat
Manusia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Baharuddin dan Nur Wahyuni, Esa.
2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar Ruzz Media Grup
http://guruit07.blogspot.com/2009/01/pengembangan-manusia-sebagai-makhluk.html
http://www.infodiknas.com/daspen1/
Jalaludin. 2007. Teologi
Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Muawiyah, Andi Ramly. 2004. Peta
Pemikiran Karl Marx. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Rosyadi, Khoiron. 2004. Pendidikan
Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholeh, Mohammad dan Musbikin,
Imam. 2005.Agama sebagai Terapi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Snijders, Adelbert. 2004. Antropologi
Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisiu
0 comments:
Post a Comment