A.
Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun
1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah,
mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.[1]
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun
1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah,
mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedangkan ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.[1]
Pendidikan
pertama yang ditekuni Muhammmad Abduh adalah belajar Al
Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah
hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia
dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa
Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat
membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh
Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.[2]
Qur'an, dan berkat otaknya yang cemerlang maka dalam waktu dua tahun, ia telah
hafal kitab suci dalam usia 12 tahun. Pendidikan formalnya dimulai ketika ia
dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di masjid Ahmadi yang terletak di desa
Thantha. Namun karena sistem pembelajarannya yang dirasa sangat
membosankan, akhirnya ia memilih untuk menimba ilmu dari pamannya, Syekh
Darwisy Khidr di desa Syibral Khit yang merupakan seseorang yang berpengetahuan luas dan penganut paham tasawuf. Selanjutnya, Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877.[2]
Ketika
menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu
dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said
Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik
kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah
seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-
rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said
Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik
kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah
seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-
rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
Udara baru
yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan
mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir
Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum
rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah
meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika
saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus
bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan
hanya berpegang kepada dalil yang ada".
B. Latar Belakang Pemikiran Muhammad
Abduh
Muhammad Abduh dilahirkan dan dibesarkan dan
hidup dalam masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan
dasar di Eropa. Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam
bukunya yang berjudul Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid Ridha, memberikan gambaran singkat mengenai masyarakat tersebut
yakni ”suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad,
mengabaikan peranan akal dalam memahami sari’at Allah atau mengistinbatkan
hukum-hukum karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para
pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta
yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu
masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah
yang sangat mengagumkan ketika itu.[3]
Keadaan masyarakat Eropa tersebut sesungguhnya telah
menanamkan benih pengaruhnya sejak kedatangan ekspedisi prancis (Napoleon) ke
Mesir pada tahu 1798. Namun secara jelas tumbuhnya benih-benih tersebut mulai
dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang Al-Azhar. Waktu
itu, lembaga pendidikan tersebut para pembina dan ulamanya telah terbagi
kedalam dua kelompok., mayoritas dan minoritas. Kelompok pertama menganut pola
taqlid, yakni mengajarkan kepada siswa bahwa pendapat-pendapat ulama terdahulu
hanya sekedar dihapal, tanpa mengantarkan pada usaha penelitian, perbandingan
dan pentarjihan. Sedangkan kelompok kedua menganut pola tajdid (pembaharu) yang
menitik beratkan uraian-uraian mereka ke arah penalaran dan pengembangan rasa.[4]
Berkat pengetahuan Abduh tentang ilmu tasawuf serta
dorongan Syekh Darwisy agar ia selalu mempelajari berbagai bidang ilmu, yang
diterimanya ketika usia muda dulu, maka tidak mengherankan jika naluri Abduh
yang didukung Syaikh tersebut membuat Abduh lebih condong untuk berpihak kepada
kelompok minoritas yang ketika itu dipelopori oleh Syekh Hasan Al -Thawil
yang telah mengajarkan filsafat dan logika jauh sebelum Al-Azhar mengenalnya.
Pada sisi lain pertemuan Abduh dengan Al-Afgani menjadikan Abduh aktif dalam
berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk
bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan
masyarakatnya, serta berkomonikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu.[5]
C. Corak Pemikiran Muhammad Abduh
1.
Moderenisasi
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang
pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh
berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti
penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan
penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan
moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid.
Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada ummatnya untuk
menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat
terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat
tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling
dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea
perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a.
Sangat
mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.
Mengiktikadkan
agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai
kesempurnaan.
c.
Takut
dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya
untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami
Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan
taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia
mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat
ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.[6]
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan
pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya
selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta
keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan
pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi
sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif
antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[7] Perpaduan
antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral
modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan
selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode
utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah
berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang
dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah
taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan
berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial
masyarakat masing-masing daerah.[8] Islam
menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat
serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian,
perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam,
sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.[9]
2.
Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak
pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad
Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar
tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun
kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat
rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang
pertama secara filosofis.[10]
3.
Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh
bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak
bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari
pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali
potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[11]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi
pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan
dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi
dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak
pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh
dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan
kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara
rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya
Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.
D. Inti Pemikiran Muhammad Abduh
1.
Membebaskan
pikiran dari ikatan taqlid dan memahami agama seperti kaum salaf sebelum
timbulnya pertentangan-pertentangan dan kembali dalam mencari pengetahuan agama
kepada sumbernya yang pertama dan mempertimbangkan dalam lingkungan timbangan
akal yang diberikan Allah SWT untuk mencari keseimbangan dan mengurangi
kecampuradukan dan kesalahan. Dengan cara ini orang dianggap sebagai sahabat
ilmu yang bergerak untuk meneliti rahasia-rahasia alam, mengajak menghormati
kebenaran dan untuk berpegang kepada pendidikan jiwa dan perbaikan amal.
2.
Memperbaiki
bahasa arab dan susunan kata, baik dalam percakapan resmi atau dalam surat
menyurat antar manusia.
3.
Pembaharuan
di bidang politik, ini dilakukannya di Majlis Syura sejak ia dipilih menjadi
anggota majelis itu.[12]
Kita melihat di sini agenda pembaharuan dibidang
bahasa, politik, dan akidah dan tunutunan umum. Dan dalam semua sisi itu, Abduh
mengemukakan kritik yang membangun. Sedangkan inti seluruhnya adalah pendidikan
Islam. Ia melihat bahwa rusaknya masyarakat Islam karena salahnya pendidikan.[13]
E. Aggenda Pembaharuan Muhammad Abduh
1. Purifikasi
Purifikasi atau pemurnian ajaran islam telah mendapat
tekanan serius dari Muhammad Abduh berkaitan dengan munculnya bid’ah dan
khurafah yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslimin.
2.
Reformasi
Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi
untuk melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir. Dia menawarkan
kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan
mengandalkan aspek intelektual saja sekolah modern hanya akan melahirkan
pendidikan yang merosot moralnya.[14]
Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar,
Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang
mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan
ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, disamping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam
klasik yang orisinil, seperti Muqodimah karya Ibnu Khaldun.[15]
Reformasi pendidikan tinggi Islam difokuskan Muhammad
Abduh pada Universitas almamaternya, Al-Azhar. Muhammad Abduh menyatakan bahwa
kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku kelasik berbahasa Arab
yang berisi dogma ilmu kalam untuk membela Islam. Akan tetapi kewajiban belajar
juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama
Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai. Usaha awal
reformasi Muhammad Abduh adalah memperjuangkan matakuliah filsafat agar
diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intlektualisme Islam
yang padam diharapkan hidup kembali.
3.
Pembelaan
Islam
Muhammad Abduh lewat Risalah Al-Tauhidny tetap
mempertahankan potret diri Islam. Hasratnya untuk menghilangkan unsur-unsur
asing merupakan bukti ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Muhammad Abduh
berusaha mempertahankan potret Islam dengan dengan menegaskan bahwa jika
pikiran dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Hasil yang dicapainya otomatis akan
selaras dengan kebenaran Illahi yang dipelajari melalui agama.
4.
Reformulasi
Agenda reformulasi tersebut dilaksanakan Muhammad
Abduh dengan cara membuka kembali pintu ijtihad. Menurutnya, kemunduran kaum
muslim disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan ekternal. Muhammad Abduh
dengan reformulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran
manusia dari tidur panjangnya.[16]
F. Manhaj Pemikiran Keagamaannya
Islam adalah
agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling
berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah
(Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis
memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang
Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorang
dalam bertindak.[17]
berhubungan, satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah
(Hukum Islam), dan Akhlak (tasawuf). Namun dalam kesempatan ini, penulis
memilih hanya membahas sedikit manhaj pemikiran Muhammad Abduh tentang
Syariah dan Aqidah. Karena inilah yang mungkin paling mempengaruhi seseorang
dalam bertindak.[17]
1. Hukum Islam
Dalam salah
satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu; hukum yang
pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan
nash dan ijma. Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan
mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya
telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum
muslimin secara berantai dengan praktek. Hukum ini merupakan hukum dasar yang
telah disepakati(mu jma’ ‘alaîhi) kepastiannya. Hal ini bukan merupakan
lapangan ijtihad dan dalam hukum yang telah pasti serupa ini, seseorang boleh
bertaklid. Yang kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash
yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di
dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas.[18]
dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas.[18]
Disinilah
peranan para mujtahid, dan dari masalah ini pula lahir madzhab-madzhab fiqh
yang merupakan cerminan dari keragaman pendapat dalam memahami nash-nash yang
tidak pasti tersebut.
Abduh sangat
menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah
orang-orang yang telah mengorbankan kemampuannya yang maksimal untuk
mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi
kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya
merupakan ancaman bagi kesatuan umat. Yang dapat menimbulkan bencana adalah
jika pendapat yang berbeda-beda tersebut dijadikan sebagai tempat berhukum,
dengan tunduk kepada pendapat tertentu saja, tanpa berani melakukan kritik atau
mengajukan pendapat lain. Keseragaman berfikir dalam semua hal adalah
kemustahilan.
Menurutnya,
setiap muslim harus memandang bahwa hasil ijtihad ulama masa lalu sebagai hasil
pemikiran manusia biasa yang tidak selamanya benar. Sikap yang harus diambil
umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk
itu, Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai
dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam
yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa
kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al Qur’an dan as
Sunnah. Dalam hal ini ijtihad dituntut, karena kekosongan ijtihad dapat
menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’. Dalam
perkembangan zaman,tidak dapat ditahan laju perkembangan situasi dan kondisi
yang muncul. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ulang tentang beberapa
pendapat hasil ijtihad ulama terdahulu, agar hasil ijtihad itu selalu sesuai
dengan situasi dan kondisinya. Jadi yang
mereka ijtihadkan bukan hanya masalah-masalah yang belum ada hukumnya, tetapi
juga mengadakan reinterpretasi terhadap hasil ijtihad terdahulu.[19]
Bagi
kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat
orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan
ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Jadi setiap dikerjakan oleh
orang awam mempunyai dasar kuat yang dia sendiri mengetahui dasarnya dan tidak
mengamalkan suatu perbuatan secara pembabi buta. Dengan sikap ini, umat Islam
akan selamat dari bahayatak lid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat
didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau
suatumadzhab tertentu.
suatumadzhab tertentu.
Menurut
Rasyid Ridla, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan
pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid
tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid
tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang
mereka tempuh dalam beristinbath hukum. Dengan demikian bermadzhab bukan bagi
mereka yang awam, seperti umum dipahami, tetapi bagi mereka yang berijtihad
dalam lingkungan madzhab tertentu. Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah
Mujtahid Bi al-Madzhab.[20]
Maka
fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi. Akan
tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakat adalah sebaliknya. Generasi
sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang mereka dapatkan, bukan mengambil
cara yang ditempuh oleh para imam. Akibatnya, terjadinya perselisihan pendapat
yang membawa perpecahan di kalangan muslimin sendiri. Fanatisme madzhab pun
mucul dan taklid tidak bias dihindarkan.
Abduh
menuding para fuqaha sesudah mujtahid sebagai peletak batu pertama dari
timbulnya fanatisme tersebut, dengan menambah atau memperluas hasil ijtihad
para ulama terdahulu. Sehingga menurutnya ajaran agama dengan segala
permasalahannya bukan semakin jelas, namun semakin rumit. Orang tidak bisa
membedakan antara ajaran dasar Islam dengan ajaran madzhab yang bersumber dari
fuqaha. Kitab madzhab dijadikan bahan rujukan dan kitab al Qur’an ditinggalkan,
sehingga seakan-akan sia-sia Allah mengutus Rasul yang membawa kitab tersebut.[21]
Oleh karena
itu, dalam berijtihad kaum muslimin harus berpedoman kepada al Qur’an dan as
Sunnah. Hal inilah yang mendorongnya untuk menggalakkan ijtihad di kalangan
intelektual dan mengikis taklid buta dalam masyarakat. Beliau membandingkan
sikap umat Islam yang demikian itu dengan sikap kaum Yahudi yang taklid kepada
pendapat pemimpin agama mereka, seperti digambarkan Allah
dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.
dalam surat at-Taubah, ayat 32. Sehingga mereka mengalami kemunduran setelah memperoleh kejayaan.
Tantangannya
yang keras terhadap taklid tampaknya juga dilandasi oleh pandangan teologinya
yang memberikan harkat yang tinggi kepada manusia dengan anugerah akal yang ada
padanya, di samping kebebasan untuk mempergunkan akal tersebut. Dengan
keduanya, seharusnya manusia juga mampu memahami nash-nash yang mujmal. Dengan
demikian manusia tidak selayaknya tunduk dan mengikuti hasil pemikiran orang
lain tanpa memikirkan alasan-alasan yang mendasari pendapat tersebut. Walaupun
beliau juga mengakui bahwa tidak semua orang sanggup berijtihad. Akan tetapi
bagi mereka yang awan pun taklid tidak boleh dilakukan.
Di samping
itu, agaknya apa yang dia saksikan di Barat juga merupakan salah satu sebab
tantangannya yang keras terhadap taklid. Dia melihat kemajuan barat yang
menurut pemahamnnya disebabkan oleh terbebasnya mereka dari ikatantakl id dan
bebasnya mereka dalam menggunakan akal dalam berpikir dan memahami sesuatu.
Tampaknya Abduh menginginkan keadaan seperti itu bias diterapkan di kalangan
muslimin, sehingga kemajuan di Barat dapat juga dirasakan kaum muslimin dengan
lebi baik.
2. Bagian Aqidah
Sebagai
seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi
kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal
ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh
mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya
yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi
aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang
benar dalam masalah ini. Meskipun tampaknya dia tidak menyebut soal qada dan
qadar sebagai salah satu pilar-pilar keimanan, tetapi dia memasukkan masalah
ini ke dalam aspek aqidah Islamiyah. Rupanya,
pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.[22]
pendapat Abduh ini tidak jauh berbeda, untuk tidak dikatakan sama, dari pendapat gurunya, Jamaluddin al Afghany dalam masalah ini.[22]
Menurutnya,
bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan membawa
muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah
terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang
pernah terlihat dalam sejarah Islam.
Pemahaman
Abduh tentang hal ini, mungkin disebabkan kondisi yang dilihat olehnya, baik
dalam pengembaraannya ke negeri-negeri Barat, maupun kondisi Mesir sendiri yang
masih dalam jajahan Perancis. Dia melihat aqidah yang dianut umumnya umat Islam
ketika itu, yaitu paham qada' dan qadar yang telah berwujud fatalisme, yang
justru telah membuat mereka dalam keadaan statis dan beku. Konsekuensinya, umat
semakin mundur dan tidak ada kemauan untuk berbuat yang lebih baik.
Konsekuensi
logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun
perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi,
peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi
penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan
kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
Mempercayai
qada' dan qadar, menurutnya adalah juga meyakini bahwa setiap kejadian atau
peristiwa dilatar belakangi oleh sebab. Rangkaian sebab-sebab tersebut
menciptakan suatu keteraturan. Sehingga kejadian atau peristiwa yang telah
berlalu dapat ditelusuri atau dipelajari. Sumber dari segala sebab tersebut,
menurut Abduh, Allah adalah Tuhan yang mengatur segala sesuatu menurut
kebijaksanaan-Nya. Dia menjadikan setiap peristiwa menurut hukumnya sendiri
yang merupakan komponen dari suatu kerangka atau sistim yang tidak
berubah-ubah. Itulah yang disebutnya dengan istilah sunnatullah (hukum alam
Tuhan), dan manusia tidak dapat melepaskan diri serta harus tunduk kepada
setiap
sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.[23]
sunnah yang ditetapkan Tuhan. Maka, keyakinan yang kuat terhadap hukum alam bukanlah berarti mengingkari adanya kekuasaan Tuhan, justru hal itu sejalan dengan keyakinan akan kekuasaan-Nya yang telah menciptakan hukum alam tersebut. Dengan demikian, nasib manusia akan sesuai dengan apa yang telah dipilihnya. Pandangan Abduh yang demikian akan lebih jelas terlihat ketika dia membicarakan masalah perbuatan manusia.[23]
Menurutnya,
manusia adalah makhluk yang memiliki kebebasan dalam memilih dan menentukan
perbuatannya. Manusia dengan akalnya mempertimbangkan akibat perbuatan yang
akan dilakukan, kemudian dia mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri dan
selanjutnya mewujudkan perbuatan itu dengan daya yang ada pada dirinya. Jelas
bahwa bagi Muhammad Abduh, manusia secara alami mempunyai kebebasandalam
menentukan kemauan dan perbuatan. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah
dia mempertimbangkan akibat-akibatnya dan atas pertimbangan inilah dia
mengambil keputusan melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang
dimaksud.
Namun,
manusia tidak mempunyai kebebasan tanpa batas atau kebebasan absolut. Abduh
membatasi kebebasan manusia dengan memberikan contoh yang tergambar dalam
peristiwa-peristiwa alamiah, seperti angin badai, kebakaran dan
peristiwa-peristiwa lain yang tak terduga. Artinya, kebebasan manusia mempunyai
batas-batasnya, terutama sekali karena di atas manusia masih ada kekuasaan
Tuhan. Kekuasaan Tuhan yang membatasi kemauan dan kebebasan manusia itu terjadi
melalui hukum ciptaan Tuhan. Tuhan menjadikan segala wujud di alam ini di bawah
hukum alam, dalam suatu sistem hukum sebab akibat yang ditetapkan-Nya. Atas
dasar itu, kiranya dapat dikatakan bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa yang
mengakibatkan kerugian pada manusia sebenarnya disebabkan oleh ketidak mampuan
manusia sendiri dalam menguasai dan mengantisipasi hukum alam yang berintikan
hukum sebab akibat itu.[24]
G. Metode Muhammad
Abduh dalam Pembaharuan
Dalam melakukan perbaikan Muhammad Abduh memandang bahwa suatu perbaikan
tidaklah selamanya datang melalui revolusi atau cara serupa. Seperti halnya
perubahan sesuatu secara cepat dan drastis. Akan tetapi juga dilakukan melalui
perbaikan metode pemikiran pada umat islam. Melaui pendidikan, pembelajaran,dan
perbaikan akhlaq. Juga dengan pembentukan masyarakat yang berbudaya dan
berfikir yang bisa melakukan pembaharuan dalam agamanya. Sehingga dengannya
akan tercipta rasa aman dan keteguhan dalam menjalankan agama islam. Muhammad
Abduh menilai bahwa cara ini akan membutuhkan waktu lebih panjang dan lebih
rumit. Akan tetapi memberikan dampak perbaikan yang lebih besar dibanding
melalui politik dan perubahan secara besar-besaran dalam mewujudkan suatu
kebangkitan dan kemajuan. Sebagaimana telah didefinisikan bahwa pembaharuan
(tajdid) adalah kebangkitan dan penghidupan kembali dalam bidang keilmuan Islam
dan aplikasi sebagaimana pada zaman Rasullullah dan para sahabat. Yang selama
ini sempat hilang, terlupakan, bahkan terhapus dari tubuh umat Islam.[25]
Sebagaimana telah diungkapkan oleh Muhammad Abduh bahwa metodenya dalam
perbaikan adalah jalan tengah. Dalam hal ini beliau membagi umat Islam kepada 2
bagian yaitu:
1. Mereka yang
condong kepada ilmu-ilmu agama dan apa yang berhubungan dengan itu semua.
Mereka itu yang biasa disebut al-muqallid.
2. Mereka yang
condong pada ilmu-ilmu dunia. Yang silau dan kagum akan barat serta berbagai
disiplin ilmu yang dimiliki,dan kemajuannya dalam bidang materi.
Metode dalam pembaharuan yang digunakan oleh Muhammad Abduh adalah mengambil
jalan tengah antara kedua kelompok diatas. Menyeimbangkan antara kedua jalan
tersebut. Yaitu antara kelompok yang berpegang teguh pada kejumudan taqlid dan
mereka yang berlebihan dalam mengikuti barat baik itu pada budaya dan disiplin
ilmu yang mereka miliki. Sebagaimana yang diungkapan oleh Muhammad Abduh dalam
metode pembaharuannya: “sesengguhnya aku menyeru kepada kebebasan berfikir dari
ikatan belenggu taqlid dan memahami agama sebagaimana salaful ummat terdahulu”.
Yang dimaksud dengan salaful umat di sini adalah kembali kepada sumber-sumber
yang asli yaitu al-qur’an dan al-hadist sebagaimana yang dipraktikkan oleh para
salafus shaleh terdahulu.
H.
Dampak
Pemikiran Muhammad Abduh dalam Pemikiran Islam Kontemporer
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran
Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh
pemikiran umat Islam. beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah
pemikiran pada zaman modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru
beliau Jamal Al-Afghani adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan
pemikiran dalam jiwanya, akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana
diungkapkan Doktor. Muhammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam
gerakan pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru
beliu Jamaluddin Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam
kontemporer. Telah banyak pembaharuan yang beliau lakukan diantaranya:
1. Reformasi
Pendidikan
Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan
sebagai sektor utama guna menyelamatkan masyarakat mesir. menjadikan perbaikan
sistem pendidikan sebagai asas dalam mencetak muslim yang shaleh.
2. Mendirikan
Lembaga dan Yayasan Sosial.
Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh tidak hanya
terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya perbaikan pendidikan dan
Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga mendirikan beberapa lembaga-lembaga
sosial. Diantaranya: Jamiâah khairiyah islamiyah,jami’ah ihya al-ulum
al-arabiyah,dan juga jami’ah at-taqorrub baina al-adyan.
3. Mendirikan
Sekolah Pemikiran.
Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah pemikiran
kontemporer. Yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan pemikiran islam dan
kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi musuh-musuh islam yang sedang
dengan gencar menyerang umat muslim saat ini.[26
KESIMPULAN
Muhammad
Abduh Adalah seorang tokoh filsafat yang terkenal pada masanya, Nama lengkapnya
adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Quran dan dengan kecerdasannya beliau bisa menghafal Al-Quran sejak usia 12 tahun. Dan beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Uneversitas Al-Azhar Kairo.
Dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, beliau memulai pendidikannya dengan mempelajari Al-Quran dan dengan kecerdasannya beliau bisa menghafal Al-Quran sejak usia 12 tahun. Dan beliau melanjutkan pendidikan formalnya di Uneversitas Al-Azhar Kairo.
Ide-ide yang dibawa oleh Syeikh Muhammad Abduh telah mengubah pandangan
umat Islam terhadap Islam yang sering taqlid dengan sebagian sarjana Muslim
yang jumud dan pasif. Syeikh Muhammad Abduh berjasa dalam memberi gambaran yang
jelas tentang keperluan umat Islam kepada pembaharuan, khususnya dalam bidang
pendidikan. Ide pembaharuan Syeikh Muhammad Abduh dalam bidang pendidikan,
khususnya di Universitas Al-Azhar telah memberi kesan
yang mendalam terhadap perkembangan ilmu pengetahuan umat Islam. Antara ide
tersebut ialah: mewujudkan mata pelajaran Matematik, Geometri, Algebra, Geografi, dan Sejarah, mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas Al-Azhar, menyediakan gaji guru
dari perbendaharaan negara dan waqaf negara, memperbaiki asrama pelajar dengan
menekankan aspek-aspek keselamatan dan kesehatan, mengganti metode pengajaran yang bersifat
hafalan kepada penalaran atau lebih dekat dengan diskusi.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh
Muhammad. Risalah Tauhid, Cet. VII, Mesir: Dar al Manar, 1353 H
Al Bahiy, Muhammad. Pemikiran
Islam Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986
Ali, Mukti. Alam Pikiran Islam
Modern di Timur Tengah, Jakarta: Djambatan, 1995
Madjid, Nur Cholis. Islam
Kemodernan Dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1989
Nasution
Harun, Muhammad Abduh dalam Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
Universitas
Indonesia, 1981
Nasution, Harun. teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1984
Ridha
Muhammad Rasyid, Târîkh Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh, Juz I,
Cet. II, Mesir: Dar al-Manâr, 1367 H
Rahman, Fazlur. Islam dan
Modernitas: Tentang Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, Bandung:
Pustaka, 1995
Sani, Abdul. Lintas Sejarah
Pemikiran; Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Peersada,
1998
Shihab, M. Quraish. Studi Kritis
Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid ridha, Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994
Suharto,Toto. Filsafat Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Arruzz, 2006
Syar’i, Ahmad. Filsafat
Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005
Qutub
Sayyid, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam: Republika, 2002, Jakarta
[2][2] Ibid.
hal, 19-20
[3][3] M. Quraish
Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad
Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm.
17
[4][4] Ibid,
hal. 15
[5][5] Ibid,
hal. 18
[12][12] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah,
(Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 487 – 488
[13][13] Muhammad Al Bahiy, Pemikiran Islam Modern, terj.
Su’adi Sa’ad, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hal. 95
[14][14]
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang
Transformasi Intlektual, terj. Ashin Muhammad, (Bandung: Pustaka,
1995), hal. 70
[16][16] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak
Sejarah Pendidikan Era Rsullullah Sampai Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2009), hal. 246-247
[18][18]
Ibid, hlm 26.
[19][19]
Ibid, hlm 29.
[20][20]
Sayyid Qutub, Khasha'ish At-Tashawwur Al-Islam, hlm 79.
[25][25] Nasution, Harun.1984.teologi Islam: Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press. Hal, 172
[26][26]
Ridho, Muhammad Rashid. Tarikh al-Ustaadz al-Imam Muhammad Abduh.
Mesir: Al-Manar. Hal, 56-57
1 comments:
tolong di komen ya sob buat perbaikan penulisan kedepannya y sob..thankss
semoga ini bermanfaat.
Post a Comment