IBNU THUFAIL : RIWAYAT
HIDUP DAN FALSAFAH HAYY BIN YAQZAN
I.
PENDAHULUAN
Karya dalam bidang
filsafat yang juga berpengaruh besar pada Abad pertengahan di Barat selain
karya-karya Ibn Sina dan Ibn Rusyd adalah Risalat Hayy bin Yaqzan dari Ibn
Thufail. ‘Novel filsafat’ ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa
seperti bahasa latin, Yahudi, Inggris, Belanda, Spanyol, jerman, Perancis, dan
Rusia (H.L. Bec & N.J.G.Kaptein, 1988:73-74)
Disini akan
diungkapkan tentang riwayat hidup dan falsafat hayy bin Yaqzan untuk menberikan
gambaran, paling tidak secara umum, apa yang terkandung dan ingin disampaikan
oleh pengarangnya. Ini bermanfaat, terutama bagi penulis sendiri, untuk lebih
memahami karya-karya filosof Islam tersebut sehingga dapat mengambil inti sari
dan memperluas pandangan di bidang pemikiran Islam.
II. RIWAYAT HIDUP
Terlahir dengan
nama Abu Bakar Muhammad Ibn Abdul Malik Ibn Thufail al Qaisi. Selain menduduki
jabatan Menteri, dia juga sebagai dokter bagi Abu Ya’kub (1163-1184), Khalifah
Daulah Muwahhidin, sedangkan sebelumnya sebagai Sekretaris di Granada. (T.J.De
Boer, 1970:182). Lahir di Wadi Asy, sebuah kota kecil di timur Granada, tahun
1100. Tidak jelas siapa orang tuanya dan pendidikan apa saja yang telah
ditempuhnya. Namun dikemukakan dia mendalami ilmu kedokteran dan falsafat di
Savilla dan Cordova. (Madjid Fakhry, 1986; 364). Dia lebih menggemari membaca
buku dari pada bergaul dengan masyarakat. Karena tekum membaca di perpustakaan
pribadinya dia dapat mengumpulkan banyak informasi yang memenuhi keinginannya
yang sangat tinggi untuk menguasai pengetahuan. Walaupun demikian dia lebih
senang berkontemplasi dari pada mengerjakan hal-hal yang bersifat ilmiah.
Karena itu dia jarang menulis. (De Boer, 1970: 182).
Kedudukannya yang
tinggi di istana memudahkannya untk mengumpulkan orang-orang pandai dan
memperkenalkan mereka dengan Abu Ya’kub yang memang menghargai ilmu pengetahuan
dan berminat dalam bidang falsafat. Atas dorongan Ibnu Ruyd mengulas buku-buku
Aristoteles , sehingga yang terakhir ini dikenal sebagai komentator
Aristoteles. (A. Hanafi, Ma, 1969;174).
Karya ibn Thufail
meliputi berbagai bidang seperti filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan, dan
juga kesusasteraan. Namun karya-karya tersebut sudah tidak ditemukan lagi dan
yang sampai kepada kita hanyalan risalah Hayy bin Yaqzan, merupakan inti sari
pikiran filsafatnya yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ibn
Thufail meninggal di marokko tahun 1185, setahun setelah wafatnya Abu Ya’kub,
khalifah Daulah Muwahiddin, yang melindungi dan menghargai pikiran-pikirannya.
III. RINGKASAN ISI HAYY BIN
YAQZAN
Seorang anak, yang
ditinggalkan sendirian di suatu pulau, akhirnya ditemukan oleh seekor rusa yang
kehilangan anaknya. Ketika umurnya semakin matang, timbul keinginannya yang
luar biasa untuk mengetahui dan menyelidiki suatu yang tidak dimengertinya. Dia
melihat bahwa binatang memiliki penutup tubuh alami dan alat pertahanan diri
sehingga mampu menghadapi lingkungannya sedangkan dia sendiri tidak punya
pakaian sebagai penutup tubuh dan juga tidak ada senjata untuk mempertahankan
diri. Karena itu dia pertama-tama menutup tubuhnya dengan daun-daunan, kemudian
dengan kulit binatang yang sudah mati serta menggunakan tongkat untuk
pertahanan diri.
Secara
berangsur-angsur dia juga mengenal akan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya. Dia
menemukan api yang dianggapnya sebagai gejala kehidupan. Kemudian dia tahu akan
manfaat bulu binatang, tahu cara bertenun, dan mampu membangun sebuah gubuk
untuk tempat tinggalnya.
Rusa yang
mengasuhnya, pengaruhnya semakin lemah, tua, dan akhirnya mati. Terhadap
kejadian ini timbul keinginannya untuk mengetahui rahasia kematian. Maka tubuh
binatang itu pun dibelahnya untuk mengetahui apa yang terdapat di dalamnya.
Dari penyelidikiannya secara cermat diketahui bahwa penyebab kematian karena
tidak berfungsinya jantung sehingga roh keluar dari tubuh. Karena itu kematian
pada dasarnya karena tidak ada persatuan jiwa dengan tubuh, walaupun yang mati
itu tubuhnya nampak masih utuh.
Dia meneruskan
studinya dengan mempelajari tentang logam, tumbuh-tumbuhan, dan bebagai ragam
jenis binatang. Dia juga dapat menirukan bunyi binatang yang ada disekitarnya.
Setelah itu dia
mengarahkan perhatiannya pada fenomena angkasa dan keanekaragaman bentuk. Dalam
keanekaragaman tersebut ternyata terdapat keseragaman yang pada hakekatnya
adalah satu. Akhirnya dia berpendapat bahwa di belakang yang banyak itu
terdapat asal yang satu, punya kekuatan tersembunyi, unik, suci, dan tak dapat
dilihat. Inilah yang disebutnya penyebab pertama atau pencipta dunia ini.
Kemudian dia
merenungkan tentang keadaan dirinya, caranya memperoleh pengetahuan sehingga
akhirnya dia mendapat pengertian tentang makna substansi, komposisi, materi,
bentuk, jiwa dan keabadian jiwa. Dia juga memperhatikan sungai yang mengalir
dan menelusuri asal usul air tersebut. Dari situ diketahuinya bahwa pada
dasarnya air tersebut berasal dari suatu sumber yang sama. Dia mengambil
kesimpulan bahwa manusia pun asal usulnya adalah satu.
Perhatian
selanjutnya ditujukan kepada langit, gerakan bintang, peredaran bulan, serta
pengaruhnya pada dunia. Dari situ nampak adanya keindahan, ketertiban, dan
tanda-tanda penciptaan.
Dalam hal tingkah
lakunya terhadap lingkungannya, Hayy berusaha menghindari untuk membunuh
binatang, memakan hanya buah yang masak dan menanam bijinya agar dapat tumbuh
dengan baik. Dia juga memakan sayur-sayuran namun tidak makan daging binatang
kecuali keadaan memaksa.
Dari pengamatan
yang bersifat phisik yang mengunakan argumen logis dan eksperimen objektif dia
beralih sebagai pencari Tuhan melalui perenungan rohani. Karena menurut dia
alam semesta ini merupakan pencerminan Tuhan.
Dalam pencariannya
tentang wujud Tuhan itu akhirnya dia berhasil yang dianggapnya itulah objek
pengetahuan tertinggi. Tujuan akhir mencari kebenaran adalah dengan jalan
pemusnahan diri atau penyerapan dalam Tuhan (fana) yang berujung pada kehidupan
mistik. Namun dia tidak menyebut dirinya Tuhan karena Tuhan selalu membimbingnya ke jalan yang benar. (A.M.A. Shustery,
1975; 342-343 & A. Hanafi, Ma., 1969; 176; & Madjid Fakhry, 1986;
367-371).
Di sebuah pulau
yang lain, dekat dengan pulau dimana hayy bin yaqzan tinggal, terdapat penduduk
yang memeluk agama dari nabi terdahulu. Namun pengetahuan mereka terhadap agama
sangat dangkal dan tidak bersifat rohani. Namun terdapat dua orang, Asal dan
Salaman, yang menonjol karena pemahamannya tentang agama. Salaman cenderung
untuk memahami agama secara lahir sedangkan Asal lebih menyukai penghayatan
secara ruhani. Karena itu Asal lebih suka menyepi untuk bermeditasi dan
sembahyang dan bermaksud pindah ke pulau yang dikiranya tidak berpenghuni,
dimana Hayy menetap. Walaupun pada awalnya mereka tidak saling mengenal tapi
akhirnya terjadi suatu persahabatan yang akrab. Asal berhasil mengajar Hayy
agar dapat berbicara sehingga terjadi tukar menukar pengetahuan diantra
keduanya. Dari pertukaran pikiran itu diambil kesimpulan bahwa penyelidikan dan
pengalaman mistik yang telah didapatkan dan dialami oleh hayy bin Yaqzan
tidaklah terlalu berbeda dengan agama yang didapatkan Asal melalui kitab Suci
yang disampaikan Nabi. Kemudian Hayy beriman kepada agama yang dipeluk Asal.
Asal juga
menceritakan kepada Hayy bin Yaqzan tentang keadaan penduduk dan pelaksanaan
mereka terhadap pelajaran agama dimana sebelumnya Asal tinggal. Hayy
menunjukkan perhatiannya dan ingin mengajak penduduk itu menuju jalan yang
benar seperti telah didapatkannya. Namun ada sedikit ganjalan dihati Hayy
tentang agama yaitu mengapa Tuhan memberikan gambaran-gambaran antropomorfis
tentang agama sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dan apa
perlunya ada ritual serta diberikannya kesempatan pada manusia untuk mencari
kekayaan dan pemuasan kesengangan sehingga menimbulkan kesombongan.
Akhirnya Hayy dan
Asal pergi ke pulau tersebut dan bertemu dengan Salaman. Dikemukakanlah maksud
mereka berdua untuk memberikan pengajaran kepada penduduk berdasarkan apa yang
telah mereka capai. Tapi ternyata baik Salaman maupun penduduknya kurang
berminat terhadap penjelasan mereka yang cenderung bersifat ruhani dan mistik
itu. Dari sini Hayy pun menjadi tambah yakin akan kebenaran Kitab Suci yang
memberikan tamsil-tamsil dan gambaran yang masuk akal. Bagi yang berpikiran
dangkal memang cocok dengan gambaran-gambaran Kitab Suci tersebut. Kemampuan
mereka hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat lahir saja. Karena itu Asal dan
Hayy pun mohon pamit untuk kembali dengan pesan perpisahan agar penduduk di
situ berpegang teguh kepada Syara’ dan menjalankan agamanya dengan baik.
Kebenaran keagamaan
bagi orang awam bersifat harfiah dan eksternal sedangkan perenungan tentang
kebenaran hanya bisa didapat oleh orang yang istimewa saja dan melalui proses
pengalaman. Orang istimewa tersebut lebih unggul dari orang awam sehingga
mereka lebih banyak mendapat karunia Tuhan.
IV. FALSAFAT HAYY BIN YAQZAN
Dari ringkasan
cerita itu dapat ditangkap beberapa pemikiran yang ingin dikemukakan oleh
pengarangnya. Pertama fase sewaktu Hayy hanya hidup sendiri di sebuah pulau
tersebut. Penyelidikannya tentang alam dan perenungannya yang ditempuhnya
secara bertingkat menimbulkan kematangannya untuk berpikir logis. Pemikiran
logis ini pada gilirannya membantu proses perenungannya untuk sampai kepada
Tuhan. Tanpa petunjuk Kitab Suci dan bantuan orang yang ahli, seorang yang
berpikiran sehat dan tekun akan dapat mencari kebenaran. Yang kedua pengarang
ingin menyampaikan adanya keserasian antara akal dan wahyu atau antara Falsafat
dan Agama. Ini dapat dilihat sewaktu Hayy betemu dengan Asal dan mereka saling
mengungkapkan pengetahuannya masing-masing. Ternyata ada kecocokan antara
pengetahuan yang diperoleh Hayy melalui pengalaman dengan pengetahuan Asal yang
berdasarkan kitab suci. (Madjid Fakhry, 1986, 367-373).
Ketiga, Ibnu
Thufail tidak mengharapkan bahwa seluruh manusia (masyarakat) dapat dibawa
menuju kebenaran. Agama diperlukan untuk mencegah keinginan-keinginan jahat
manusia, karena itu orang awam harus diberikan bimbingan melalui agama. Seorang
filosof yang berusaha memperbaiki orang tersebut sama dengan mengerjakan
sesuatu yang mengandung resiko dan hilangnya sesuatu yang telah mereka
dapatkan. (D.B.MacDonald, 1903; 252).
Dari uraian tentang
Hayy bin Yaqzan di atas terdapat suatu sistem etika yang dipengaruhi oleh
Phytagoras. Tujuan dari segala tindakannya adalah untuk mencari Yang Maha Esa dalam
segala sesuatu untuk menyatukan dirinya sendiri kepada Yang Absolud dan Yang
Berdiri Sendiri. Dia melihat bahwa seluruh alam berusaha untuk mencapai wujud
tertinggi itu. Dia tidak sependapat bahwa segala sesuatu di dunia ini ada untuk
kepentingan manusia. Menurut dia binatang dan tumbuh-tumbuhan hidup untuk
dirinya sendiri dan untuk Tuhan, karenanya dia tidak diizinkan untuk
berhubungan semaunya dengan mereka. Oleh karena itu dia membatasi segala
keinginannya yang bersifat jasmani hanyalah untuk keperluan yang sangat
terpaksa. Dia lebih suka memakan buah-buahan yang masak sehingga bijinya yang
dibuang ke tanah dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta menjaganya agar
tidak mati. Hanyalah karena sangat terpaksa maka dia mau makan daging binatang.
Demikianlah sikapnya yang bersifat jasmani terhadap yang duniawi, dimana dia
berusaha agar hidupnya berguna bagi lingkungannya sehingga kehidupannya terjaga
kemurniannya. Karena itu dia menjaga tumbuh-tumbuhan dan memelihara binatang di
sekelilingnya sehingga pulau yang didiaminya bisa menjadi suatu tempat yang
menyenangkan. Pengarangnya juga memperhatikan dengan cermat terhadap kebersihan
Hayy dan pakaiannya, dan berusaha memberikan suatu yang selaras terhadap
geraknya, yang sesuai dengan gerak dari tubuh yang jiwanya bersih. Dengan cara
ini maka Hayy secara bertahap mampu meningkatkan dirinya sendiri menuju Jiwa
yang murni, dengan cara meditasi, yang tidak ada pikiran, perkataan, dan
imajinasi yang sanggup memahami atau mengungkapkannya. (T.J. De Boer, 1970;
186-187)
V. PENUTUP
Inti dari yang
dikemukakan Ibn Thufail, seperti yang disimpulkan oleh Nadhim al Djihr dalam
buku “Qissat al Iman”, yaitu :
a.
Urut-urutan tangga
ma’rifah dimulai dari objek indrawi khusus sampai kepada universal.
b.
Akal dapat mengetahui
wujud Tuhan tanpa penjabaran dan petunjuk dengan melalui tanda-tanda yang ada
pada makhluk serta dalil-dalil atas wujudnya.
c.
Akal ada kalanya tidak mampu memahami makna
keazalian, kadim, huduts, dsb.
d.
Qadimnya alam atau
baharunya semua ditujukan untuk membuktikan adanya Tuhan.
e.
Melalui akal manusia dapat
dipahami dasar-dasar keutamaan,dasar-dasar akhlak dan kemasyarakatan, serta
dapat mengendalikan keinginan jasmaniah untuk tunduk kepada pikiran yang benar
tanpa mengabaikan hasrat jasmaniah tersebut.
f.
Apa yang dikemukakan oleh syari’at dan
yang diketahui akal pada dasarnya tidak ada perbedaan.
g.
Pokok semua hikmah sesuai
dengan apa yang ditetapkan oleh Syara’, yaitu mengemukakan sesuatu menurut
kesanggupan akal yang diterimanya. (A.
Hanafi, MA., 1969; 176-177)
VI. BAFTAR PUSTAKA
Beck, H.L. dan
N.J.G.Kaptein (redaktur), Pandangan Barat
Terhadap Literatur, Hukum, Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam,
INIS, Jakarta, 1988.
Fakhry, Madjid,
Prof., Sejarah Filsafat Islam,
Terjemahan Drs. R.Mulyadhi Kartanegara, Pustaka Jaya, Jakarta, 1986.
Ghallab,
Muhammad, Dr., Al Ma’rifah Inda Mufakkiri
al Muslimin, al Daar al Mishriyah, Qairo, t.t.
MacDonnadl, Duncan
B, M.A., B.D., Development of Muslim
Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Charles Scribner’s Sons,
New York, 1903.
Shustery, A.M.A, Outlines
of Islamic Culture, SN. Muhammad Ashraf, Lahore, 1975.
T.J. De Boer, The
History of Philosphy in Islam, Luzac & Company Ltd., London, 1970.
0 comments:
Post a Comment