Dalam
perspektif sejarah, terminologi kiri seringkali dikenakan pada segala
(pemikiran dan gerakan sosial) yang berusaha melakukan pembacaan ulang atas
situasi-situasi mapan atau dimapankan oleh kekuasaan dan kekuatan dominan. Dalam
pengertian lain kiri berarti meletakkan rakyat tertindas sebagai pihak yang
patut dibela, dilindungi dan diperjuangkan. Dan Hassan Hanafi memaknai kiri
sebagai pihak yang berada dalam barisan orang-orang yang dikuasai, yang
tertindas, dan kaum miskin. Kiri, masih menurut Hanafi, adalah sebuah istilah
ilmu politik yang berarti resistensi dan kritisisme dan menjelaskan jarak
antara realitas dan idealitas. Jelas, ia adalah istilah akademik yang tanpa
dibarengi pretensi politik dalam arti ideologi partai atau
mobilitas massa, tegas Hanafi.
Kata
“kiri” dalam tulisan ini dilekatkan dengan kata “fiqih” yang secara istilah
berarti pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai
perbuatan-perbuatan manusia, dimana pengetahuan tersebut diambil dari dalil
yang bersifat tafshiliyah. Sehingga Fiqih Kiri yang dimaksud adalah
pengetahuan atau tuntunan syar’i yang memihak kepada rakyat yang tertindas,
miskin (atau dimiskinkan, mustadh’afîn), atau tuntutan syar’i yang
dipakai untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan hegemonik yang despotik.
Fiqih Kiri diposisikan sebagai antitesis terhadap fiqih mainstreem yang
selama ini cenderung memihak kepada -atau dipakai untuk mengamankan –
kekuasaan.
Fiqih
selalu dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat persoalan-persoalan umat.
Hanya saja para ahli fiqih atau lebih dikenal sebagai fuqaha (organisasi
formal fuqaha Indonesia adalah MUI) dalam melihat persoalan umat
dalam banyak kasus cenderung memilih persoalan yang tidak menyinggung atau
menggoyang kemapanan kekuasaan. MUI misalnya, hanya berkutat pada memberi label
halal-haram atau memberi fatwa sesat kepada kelompok yang dianggap menyimpang
dari tradisi keagamaan mainstreem, tapi enggan mengutuk
pabrik-pabrik yang menggaji rendah buruh atau mengutuk (kalau perlu fatwa murtad)
terhadap koruptor kelas kakap.
Fiqih
Kiri diharapkan akan mewarnai kerangka proses maupun hasil ijtihâd para
ulama. Ketidakpekaan fiqih dalam menyoroti masalah kemanusiaan adalah bentuk
lain dari pemberian legitimasi terhadap pelanggaran kemanusiaan. Jika fiqih
terlambat dalam menangani dan mengatasi masalah kemanusiaan, fiqih akan
mengalami dua masalah bersamaan : Pertama, fiqih akan manja dalam
kemapanannya. Fiqih akan selalu dianggap sebagai doktrin yang mapan dan tak
perlu melihat ke bawah. Kedua peran fiqih akan semakin sempit
hanya pada masalah ritual belaka, yang kedua ini menjadikan fiqih tidak berarti
apa-apa dalam menjawab problem-problem real rakyat.
Untuk
menuju kepada Fiqih Kiri, maka perlu dikoreksi berbagai perangkat metodologis
yang melahirkan fiqih, yakni Ushûl fiqh. Jika ilmu fiqih merupakan
ilmu yang bersifat praksis semata-mata, maka ilmu Ushûl fiqh merupakan
ilmu tentang “teoritisasi aktivitas praksis” yang memberikan teoritisasi
perbuatan, logika perilaku, dan metodologi aktivitas praksis. Mengkoreksi
atau mengkaji ulangUshûl fiqh berarti mengkaji ulang berbagai teori
yang terdapat dalamUshûl fiqh, termasuk di dalamnya kaji ulang terhadap
teori qath’i-dzhannî, muhkam-mutasyabih, nasikh-mansukh,
dan yang lebih penting adalah mengembalikan seluruh bangunan fiqih kepada
landasan fundamentalnya, yaitu mashlahah (kepentingan rakyat).
Sebagaimana kata al-Thûfi, mashlahat merupakan sesuatu yangqath’i,
sementara teks bersifat zhannî.
Tulisan
ini akan mencoba melakukan kaji ulang secara kritis terhadap teori-teori Ushûl
fiqh yang selama ini telah memasung fiqih menjadi sekedar kumpulan
hukum statis yang tidak bisa berbicara apa-apa terhadap problem dan nasib
rakyat. Banyak para pemikir muslim kontemporer yang dalam tulisan ini
pemikirannya akan diramu sedemikian rupa sehingga mewujud sebuah konstruksi
pemikiran fiqih baru yang penulis beri nama Fiqih Kiri. Para pemikir
itu tentunya yang selama ini dikenal sebagai para pemikir Islam kiri, seperti
misalnya Ali Syariati dan Hassan Hanafi.
Dalam
makalah ini akan dielaborasi lebih lanjut sebagai sebuah tulisan utuh tentang
konsep Fiqih Kiri dengan berangkat dari pokok-pokok masalah sebagai berikut
: Pertama, tentang apa yang menjadi tujuan dan orientasi Fiqih
Kiri. Kedua, tentang bagaimana revitalisasi ushul fiqih untuk
mendukung bangunan Fiqih Kiri. Dan ketiga, tentang apa yang menjadi
proyek strategis revolusi sosial dalam rangka menggerakkan Fiqih Kiri dalam
dataran praksis.
Fiqih
dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang
mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash dikaitkan
dengan kebutuhan-kebutuhan jamannya. Dalam khasanah fikih klasik dikenal
berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fuqaha dalam
melakukan ijtihâd (intellectual exercise).
Kecenderungan itu dipengaruhi oleh ragam pendekatan dan metodologi yang
digunakan dalam melakukan ijtihâd . Ada aliran fiqih yang
cenderung liberal, karena memberi porsi lebih besar kepada akal untuk terlibat
dalam proses ijtihâd , ada aliran yang cenderung literal
karena berusaha menempatkan teks sebagai faktor dominan proses ijtihâd .
Berbagai
ragam aliran fiqih pada era klasik lebih mencerminkan kebutuhan masyarakat atau
umat saat itu ketimbang sekedar adu argumen berbasis metodologi tertentu yang
tidak memiliki nili praksis apapun. Imam Hanafi lebih liberal dalam ber-ijtihâd ,
karena ia dihadapkan pada dinamika Bashrah yang tinggi, sementara
perbendaharaan teks (Qur’an dan Hadis) jumlahnya terbatas. Inilah kondisi yang
memberi peluang kepada Imam Hanafi untuk lebih kreatif dalam memainkan
eksperimen intelektualnya.
Tetapi
yang jelas dari sekian corak dan ragam pemikiran fiqih yang muncul pada
jamannya, pemikiran itu mencerminkan bentuk solusi kongkret problem masyarakat
yang dapat dijadikan pedoman bagi umat dalam menyelesaikan problem-problem itu.
Inilah yang dimaksud oleh Hasan Hanafi dengan nilai praksis pemikiran
keagamaan, sebuah segmen yang sering diabaikan oleh para pemikir yang lebih
senang bergulat dengan wacana yang terkadang tidak memiliki bobot implementasi
di lapangan.
Fiqih
Kiri yang menjadi diskursus inti dalam kajian tulisan ini tentu saja memiliki
tujuan dan orientasi sebagai bagian dari upaya mengarahkan Fiqih Kiri ke arah
pemikiran keagamaan yang memiliki nilai praksis. Wacana Fiqih Kiri sewarna
dengan wacana Islam Kiri yang sudah digagas luas oleh Hasan Hanafi maupun
beberapa pemikir lain yang menempatkan Islam sebagai kekuatan kritik sosial dan
revolusi. Fiqih Kiri pun diarahkan kepada bentuk pemikiran fiqih yang mempunyai
keberpihakan yang jelas kepada pihak yang teraniaya dan tertindas. Fiqih Kiri
di sini harus dapat memberi panduan kepada umat untuk dapat memformulasikan
bentuk-bentuk perlawanan kepada kedhaliman sebagai manifestasi perjuangan
menegakkan keadilan dan kemashlahatan di muka bumi.
Adalah
Prof. KH. Ali Yafie dan KH. Sahal Mahfudz, ulama fiqih Indonesia yang
pernah melontarkan pemikiran tentang fiqih sosial. Fiqih sosial dalam bayangan
mereka adalah fiqih yang mempunyai orientasi sosial, yaitu senantiasa memberi
perhatian penuh kapada masalah-masalah sosial. Fiqih bukan saja seperangkap
hukum yang mengatur bagaimana orang melaksanakan ibadah mahdhah kepada
Allah, tetapi bagaimana pula seseorang melaksanakan interaksi sosial dengan
orang lain (muamalah) dengan berbagai macam dimensi ; politik, ekonomi, budaya
dan hukum.
Fiqih
sosial, begitu Fiqih Kiri, memiliki asumsi bahwa fiqih adalah al-ahkam
al-amaliyah (hukum perilaku) yang bertanggungjawab atas pernik-pernik
perilaku manusia agar selalu berjalan dalam koridor kebajikan dan tidak
mengganggu pihak lain sehingga kemashlahatan dapat terwujud. Dalam kapasitas
ini, kebenaran fiqih diukur oleh relevansinya dalam membawa masyarakat ke arah
yang lebih makmur, dinamis, adil, dan beradab (mashlahat).
Fiqih
Kiri dalam konteks ini, berseberangan dengan fiqih yang selama ini diasumsikan
sebagai sesuatu yang statis untuk mendukung stabilitas dalam masyarakat.
Lagi-lagi ini adalah sebagai akibat dari bias kepentingan yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan untuk melanggengkan hegemoni kekuasaan maupun
pengetahuannya. Fiqih yang diposisikan sebagai medium harmoni macam ini, akan
terjebak pada arus yang tidak seirama dengan kepentingan rakyat banyak.
Penguasa
memang mempunyai kepentingan yang kuat untuk mengukuhkan hegemoni kekuasaannya,
tanpa peduli apa yang ia lakukan itu bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
dan kemashlahatan masyarakat. Tak jarang penguasa melakukan kolaborasi dengan
pihak penguasa agama (ulama) agar kebijakan yang ia telorkan memiliki bobot
legitimasi yang kuat. Aneka kebijakan pembangunan dengan menggusur rumah-rumah
kumuh yang notabenenya dimiliki oleh rakyat jelata dan papa, diamini oleh ulama
rezim dengan dalih untuk kemashlahatan umum, yaitu ketertiban tata kota.
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Ridwan, Pemikiran Hasan Hanafî tentang Rekonstruksi
Tradisi Keilmuan Islam, cet.I, Yogyakarta : Ittiqa Press, 1998
Abd Wahhab Khallaf, Ushul al-Fiqh, Kuwait :
Dar al-Qalam, 1978
Abdul Aziz Dahlan et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.I,
Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1996
Abdul Hamid Abu Sulayman, “Fiqih Islam”, dalam Syamsul Anwar (Ed),Islam,
Negara dan Hukum, Cet. I, Jakarta : INIS, 1993
Abdul Wahab Khalaf, Masâdir at-Tasyri’ al-Islamî Fîma La
Nassa Fîhi,Kuwait : Dâr al-Qalam, 1973
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki, Usûl al-Fiqh Mazhab
al-Imâm Ahmad Dirâsat Usûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyad : Maktabat
ar-Riyad al-Hadisah, 1980
0 comments:
Post a Comment