A. PENDAHULUAN
Add caption |
Lenyapnya kekuasaan penyatu ummat ini menimbulkan kegamangan yang sangat
dalam di tubuh ummat yang tak lagi memiliki garis komando tunggal.
Sebab, telah dicabik-cabik dalam negara-negara kecil dengan kepentingan
sangat beragam, sehingga mudah disulut dan dibakar. Dari rasa kegamangan
inilah muncul "kerinduan" menggebu dalam dada ummat untuk melahirkan
kembali Islam sebagai kekuatan dan sekaligus sebagai penyelamat dunia.
Usaha-usaha ini dilakukan dengan cara pembentukan gerakan-gerakan Islam.
Dalam kehidupan berbangsa hendaknya setiap dari pada penduduknya harus mengetahui tentang suatu konsep yang berkenaan dengan Negara tersebut. Setiap sistem mempunyai falsafah dan gagasannya atau rancangannya tentang kehidupan. Setiap sistem mempunyai masalah-masalah yang timbul dari penerapannya dan mempunyai persoalan-persoalan yang sesuai dengan watak dan pengaruhnya di alam nyata. Demikian pula setiap sistem mempunyai penyelesaian-penyelesaian untuk menghadapi persoalan dan masalah yang timbul dari watak dan kaedahnya.
Fikiran logik yang sesungguhnya akan berpendapat : Siapa
yang bermaksud meminta pendapat dari suatu sistem tertentu dalam
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan, maka sistem ini harus
dilaksanakan terlebih dahulu dalam kenyataan hidup. Lalu setelah itu
baru dilihat apakah masalah-masalah itu masih ada atau
menghilang, atau berubah bentuk dan unsurnya. Hanya pada saat
inilah kita mungkin meminta pendapat dari sistem ini mengenai
persoalan-persoalan yang timbul, sewaktu pelaksanaannya.
Islam adalah satu sistem kemasyarakatan yang lengkap, yang segi-seginya
saling berjalinan dan saling mendukung. Sistem ini berbeza
wataknya, gagasannya tentang kehidupan dan cara- cara
pelaksanaannya dari sistem-sistem Barat, dan dari sistem yang
kita pakai sekarang ini. Perbezaan ini adalah perbezaan pokok
dan menyeluruh. Sudah pasti bahawa sistem Islam itu tidak
ikut serta dalam menimbulkan persoalan-persoalan yang
terdapat dalam masyarakat sekarang ini. Persoalan-persoalan itu
timbul dari watak sistem-sistem yang dilaksanakan dalam masyarakat dan
timbul kerana dijauhkannya Islam dari lapangan kehidupan.
B. PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup
Sayyid Abul A'la Maududi lahir pada 25 September 1903, bertepatan dengan
3 Rajab 1321 di Awrangabad, Deccan. Ayahnya bernama Sayyid Ahmad Hasan.
Dia adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Garis keturunannya
bersambung langsung dengan Khwaja Qutbu'ddin Maududi Chisti, dari sini
nama Maududi diambil, yang mendapat gelar sebagai syaikhul syuyukh
(guru-gurunya sufi) di India. [2]
Para pendiri tarikat Chistiyyah ini memiliki garis keturunan yang
bersambung pada Nabi. Oleh karenanya, nama mereka selalu diembeli
sayyid. Dari ibunya, Ruqaiyah Begum, nasabnya berasal dari keluarga
utama asal Turki yang berimigrasi ke India pada saat Aurangzeb berkuasa dan pernah menjabat pos penting di pemerintahan Mughal. Pada masa kecilnya, Maududi sangat disayang oleh ayahnya. [3]
Perhatian besar ayahnya yang penganut tasawuf inilah, menurut Maududi dalam autobiografinya,
telah mempengaruhi sikap hidupnya. Terutama sekali dalam idealisme,
kealiman dan kerendahan hati. Ahmad Hasan sangat memperhatikan
pendidikan anak-anaknya. Makanya, dia memandang perlu untuk mengajar
sendiri anak-anaknya. Ayahnya menginginkan Maududi menjadi seorang
maulawi (kiai), seorang ahli ilmu kalam dan sekaligus sebagai pemikir
Islam. Sebelum anak-anaknya tidur, dia selalu bercerita tentang
orang-orang besar dalam Islam dan kebesaran sejarah Islam. Maududi
memulai pendidikannya dengan belajar bahasa Persia, Urdu dan kemudian
Arab. Di samping itu, dia juga belajar mantiq (logika) fikih dan hadits.
Dalam usianya yang sangat muda, Maududi memiliki keinginan yang
menggebu untuk menulis. Namun sang ayah tidak mengijinkan. Sebaliknya,
dia menyarankan anaknya banyak membaca lebih dahulu agar memiliki
fondasi dan kematangan yang kokoh dalam berbagai ilmu. [4]
Pada tahun 1914, saat umurnya menjelang sebelas tahun, dia masuk di
Madrasah Fauqaniyah di Awrangabad. Sekolah ini berafiliasi pada
Uthmaniyah University Hyderabad, yang mengajarkan ilmu-ilmu klasik dan
modern sekaligus. Maududi adalah sosok yang tak pernah puas dengan satu
ilmu tertentu. Di usianya yang sangat muda, dia telah bersentuhan dengan
berbagai disiplin ilmu. Dia telah belajar al-Miqat fil Al-Mantiq dalam bidang logika, al-Quduri dalam bidang fiqh dan Shamail al-Tirmidzi dalam bidang Hadits. Usia sebelas tahun, dia telah mampu menerjemahkan buku Al-Mar'ah Al-Jadidah karya Qasim, pengarang Mesir kenamaan "dan sekaligus sangat liberal" ke dalam bahasa Urdu.
Penerjemahan ini adalah berkat kemampuannya yang sangat tinggi dalam
bahasa Arab. Pada tahun 1915 keluarganya pindah ke Hyderabad. Di sini
dia masuk madrasah Darul Ulum. Namun dia tidak mampu melanjutkan sekolah
di tempat itu karena tak lama setelah mereka sampai di Hyderabad,
ayahnya jatuh sakit. Enam bulan kemudian dia terpaksa meninggalkan
Hyderabad menuju Bhopal untuk menemani ayahnya. Penyakit ayahnya yang
berkepanjangan dan krisis finansial, telah memaksa Maududi untuk
meninggalkan bangku sekolah dan harus menerima realitas hidup yang
pahit. Dalam usia lima belas tahun, Maududi kecil sudah harus bisa
menghasilkan uang lewat keringatnya sendiri.
2. Konsep Negara Menurut Abul A’la Maududi
Pemikiran dan reformasi dari suatu keadaan akan selalu terjadi dimana
saja, kapan saja dan dalam bentuk apa saja. Reformasi dalam konteks ini
mempunyai ragam dan bentuknya, setidaknya ada tiga kecenderungan dari
reformasi itu sendiri.
Pertama, kecenderungan untuk mempertahankan sistem dari
abad-abad permulaan Islam sebagai sesuatu sistem yang benar dan tentunya
setelah dibersihkan dari bid'ah, Kedua, kecenderungan
dalam usaha untuk membangun kembali ajaran yang benar serta apabila
dipandang perlu akan disesuaikan dengan pengertian-pengertian dan
pemahaman-pemahaman kontemporer, disesuaikan dengan zaman dan kebutuhan
yang dihadapinya, khususnya yang mencakup segi-segi agama, kesusilaan
dan kemasyarakatan. Tentunya bagi mereka yang berupaya untuk
memformulasikan sumber-sumber hukum Islam ke dalam realitas sosial serta
disesuaikan dengan keadaan zaman yang selalu berkembang dan berubah,
maka sangatlah dibutuhkan adanya ijtihad. Ketiga,
kecenderungan dalam berpegang teguh kepada dasar-dasar ajaran Islam yang
diakui pada umumnya, tetapi tidak menutup pintu bagi
pandanganp-andangan baru yang biasanya datang dari Barat. [5]
Dari tiga kecenderungan itu, penulis ingin mengetahui konsep yang
dibangun Abul A’la Maududi terhadap politik meliputi konsep negara atau
pemerintahan dan tujuannya, dasar negara, demokrasi, struktur
pemerintahan dan hukum menurut pandangan Maududi.
Dari pemikiran yang berawal dari pembenahan sistem itulah Maududi mempunyai idealisme yang tinggi yaitu menjadikan Islam “as way of life” (sebagai jalan hidup)[6] secara totalitas dan harus menjadi pijakan bagi manusia khususnya bagi ummat Islam.
Maududi menghendaki ummat Islam pada zaman modern ini apabila ingin
kembali mengalami kejayaan dan keemasannya sebagaimana yang telah
dilewati pada awal tradisi Islam, maka ummat Islam harus kembali kepada
dua sumber hukum Islam (al-Qur'an dan as-Sunnah) secara mutlak serta
mengembalikan system pemerintahan yang sedang dijalankan pada abad
modern ini kepada sistem yang telah dibangun Rasulullah SAW dan Khulafa
ar-Rasyidin.[7]
Maududi tidak menerima sistem pemerintahan yang sedang dijalankan pada zaman modern ini, ia selalu memperjuangkan simbol
Islam, bahwa Islam harus diterapkan sebagai dasar negara karena
menurutnya didirikannya suatu negara adalah sebagai manifestasi dan misi
besar Islam dan beliau menolak demokrasi yang berpaham kedaulatan
rakyat, maka sebagai alternatifnya ia menawarkan sistem kekhalifahan
dengan paham kedaulatan Tuhan, manusia harus tunduk pada aturan Tuhan
karena manusia hanya merupakan wakil Allah di muka bumi.
Tentang struktur pemerintahan, Maududi memandang bahwa struktur yang
telah diterapkan oleh Rasulullah SAW dan Khulafa ar-Rasyidin adalah
struktur pemerintahan yang dapat pula dijalankan di abad modern ini
karena struktur itu merupakan struktur ideal yang dibangun di awal
pemerintahan Islam. Oleh karenanya hukum atau undang-undang yang harus
diberlakukanpun adalah syari'at Islam secara apa adanya sebagaimana yang
dijalankan di awal tradisi Islam tanpa perlu adanya ijtihad karena
Islam merupakan sistem yang komprehensif dan sesuai dengan situasi dan
kandisi zaman. Dengan demikian, apa yang menjadi idealisme besar Maududi
yaitu ingin menjadikan Islam kembali sebagai way of fife akan dapat
direalisasikan.
3. Pengaruh Dari Pemikiran Abul A’ala Al Maududi tentang Negara
Dari pemikiran yang telah di cetuskan oleh Abul A’ala Al Maududi tentang
Pandangan dan pemikiran konsep negara berakibat munculnya
partai-partai politik yang bersaskan islam. Partai yang berasaskan
islam itu menginginkan bahwa negara indonesia ini untuk menjadi negara
islam dengan landasan apabila negara ini berlandaskan islam maka akan
mencontoh perjuangan pada sahabat di zaman nabi.
Sebagaimana halnya pemikiran politik Islam Maududi di Pakistan,
pemikiran Politik Islam di Indonesia pun pada prinsipnya menghendaki
tegaknya Syari'at Islam dan menjadikan Islam as way of life, di
Indonesia ada beberapa partai yang berasaskan islam yang mempunyai
kecenderungan dalam gerakannya lebih pada modernis dan kompromis dengan
idealisme Islam/ Islam wal-Muslimiin yang dalam implementasinya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan zaman yang selalu berubah.
Substansi dari ajaran Islam merupakan hal yang utama daripada
simbol-simbol Islam itu sendiri, Ajaran Islam dapat disesuaikan dengan
segala zaman. Oleh karenanya dalam rangka mencari solusi dari suatu hal
yang baru diperlukan ijtihad dengan tetap mengacu kepada dua sumber
hukum Islam yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah. Kedaulatan berada di tangan
rakyat, karena system pemerintahan merupakan urusan yang bersifat
mua'malah dan manusialah yang harus menjalankan system pemerintahan dari
suatu negara.
C. KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Abul A'la Maududi dilahirkan pada tanggal 25 September 1903, yang bertepatan dengan 3 Rajab 1321 di Awrangabad.
2. Konsep
Negara menurut Abul A’ala Almaududi adalah Negara harus dibangun dengan
mencontoh pemerintahan zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang
senantiasa kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
3. Pengaruh
yang di timbulkan akibat dari pemikiran Abul A’la Al-Maududi adalah
banyaknya partai-partai politik yang berasaskan islam yang beri’tiqat
menjadikan Negara Indonesia berasaskan islam.
[1] Mohamed Mahmud dkk, Pemikiran Islam, Erlangga, Jakarta, 2002, h. 107
[2] Depatemen Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar baru Van Hoeve : Jakarta, cet ix 2001 h 208.
[3] Ibid., 209
[5] Abdul Aziz, MA, Esai-esai Sosiologi Agama, Departemen Agama RI : Jakarta, 2003 h. 49
[6] Mohammed Mahmud dkk, Op.Cit., h. 110
0 comments:
Post a Comment