PENGARUH PEMIKIRAN ISLAM
TERHADAP PEMIKIRAN BARAT
Oleh : Adi Hasan Basri
A. Pendahuluan
Agaknya sebuah kebetulan, setiap enam abad terjadi
reformasi pemikiran yang sangat signifikan di dalam perkembangan
peradaban manusia. Prof. L.W.H. Hull dalam History & Philosophy of
Science, sebagaimana dikutip A.M.Saifuddin, membagi perkembangan sejarah
ilmu pengetahuan dan filsafat ke dalam lima periode, yaitu: Pertama,
periode Filsafat Yunani (Abad 6 SM - 0 M).
Periode ini ditandai dengan penggunaan pendekatan induktif dan pendekatan deduktif dalam memecahkan problematika keilmuan. Dalam hal ini, Athena menjadi sentra para intelektual yang menganut pendekatan induktif dan Alexandria menjadi pusat penganut pendekatan deduktif. Kedua, periode Kelahiran Nabi Isa (Abad 0 - 6 M) yang ditandai dengan perseteruan antara Kristen dan filsafat. Kala itu, Raja dan Gereja adalah pemegang hak veto kebenaran yang pada gilirannya membekukan kebebasan berfikir. [1]
Ketiga, periode ini sangat penting bagi kita karena
disebutnya dengan kebangkitan Islam (Abad 6 – 13 M) yang disebut sebagai
Abad Pertengahan. Dalam periode ini, usaha untuk mensintesiskan antara
iman, intelektual, filsafat, empirik, dan sufisme. Sejumlah ilmuan
muncul di masa ini, seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu Rusyd,
Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Keempat, periode Kebangkitan Eropa (Abad
14 – 20 M) yang sering disebut Abad Pemikiran. Pada masa ini, pemikiran
keilmuan didominasi oleh filsafat materialisme yang bermuara pada krisis
teori dan kehidupan karena nilai etika telah tercerabut dari akarnya.
Kondisi demikian memicu Muhammad Abduh dan Muhammad bin Abdul Wahhab
untuk membentuk langkah solutif menghadapi kekalutan yang sedang
terjadi. [2]
Kelima, Periode Kebangkitan Islam Kedua (Abad 20 -
....) yang ditandai oleh adanya kesadaran akan keterbatasan potensi akal
dan filsafat materialisme dalam menyelesaikan problematika keilmuan.
Untuk itulah, tokoh-tokoh sekaliber Sayyed Hossein Nasr, Ismail Faruqi,
Naquib al-Attas tampil merumuskan suatu konsep ilmu yang
all-comprehensive dan teruji dengan tolak ukur sistem nilai yang
islami.
B. Pembahasan
Reintegrasi & Reorientasi Ilmu Pengetahuan
Perkembangan awal ilmu pengetahuan masih sangat sederhana, belum
tersistematisasi, dan masih lebih merupakan pengetahuan intuitif.
Perkembangan berikutnya menjadi pengetahuan analitis dan logika serta
mulai ada spesialisasi meskipun masih bersifat generik. Selanjutnya ilmu
perkembangan ilmu pengetahuan sudah mulai memasuki wilayah penjurusan
dan spesifikasi. Perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan melulai
dihubungkan dengan persoalan moral, karena mulai disadari bahwa
perkembangan ilmu tanpa dibarengi dengan kendari moral justru akan
mengancam eksistensi martabat kemanusiaan.
Perkembangan terakhir mulai disadari bahwa cakupan
ilmu pengetahuan bukan hanya pada dimensi kognitif dan logika tetapi
juga pada wilaya spiritual, maka tidak heran kalau akhir-akhir ini
muncul istilah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual di samping
kecerdasan intelektual, terutama setelah terbitnya buku Emotional
Intelligence karya Daniel Goleman dan Spiritual Intelligence: The
Ultimate Intelligence, karya Danah Zohar & Ian Marshal. Aspek seni,
keindahan, dan rasa mulai terintegrasi di dalam ontologi dan
epistimologi keilmuan.
Dahulu kala ilmu pengetahuan masih terpisah-pisah,
bahkan pernah terjadi ketegangan antara dimensi intelektual dan logika
di satu sisi dengan dimensi emosional dan spiritual di lain sisi.
Ketegangan ini mencapai puncaknya pada zaman positifisme. Di masa ini
seolah-olah agama tidak punya ruang di dalam wacana ilmu pengetahuan.
Untungnya zaman positifisme tidak berlangsung terlalu lama. Periode
berikutnya muncul modernisme, disusul dengan posmodernisme, kemudian
terakhir diklaim dengan era new age yang memberi wilayah dan apresiasi
lebih positif kepada dimensi emosional-spiritual. Bahkan perkembangan
yang paling terakhir menurut pengamat perkembangan ilmu pengetahuan,
kita sekarang sudah memasuki apa yang distilahkan dengan era post new
age, yang lebih menekankan pada aspek spiritual. Makanya itu fenomene
sufisme, meditasi, dan mystical music, semakin berkembang di dalam
masyarakat akademik dan di dalam masyarakat perkotaan.
1. Lahirnya pemikiran islam
Reintegrasi ilmu pengetahuan sesungguhnya berawal
ketika lahirnya Islam. Ayat Al-Qur’an yang pertama diturunkan ialah
Iqra’ bi ism Rabbik al-ladzi khalaq. Khalaq al-insan min ‘alaq. Iqra’ wa
Rabbuk al-Akram. Al-Ladzi ’alama bi al-qalam. ’Allam al-insan ma lam
ya’lam. (Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) manusia dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya). Ayat
pertama tadi memberikan bukti bahwa dalam Islam, perintah membaca
sebagai simbol dari urgensi ilmu pengetahuan harus diintegrasikan dengan
wawasan ketuhanan. [3]
Rasulullah Saw menjabarkan perintah ini
denganmemperkenalkan konsep integralisme keilmuan sejati, dengan
pemaduan secara harmonis antara unsur rasionalitas, unsur moralitas dan
seni ke dalam tiga landasan ilmu, yaitu ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Puncak peradaban manusia paling menakjubkan memang terjadi di
masa Rasulullah Saw. Ia berhasil membangun landasan keilmuan yang
integratif antara ilmu-ilmu rasional-analitis dan ilmu-ilmu
moral-spiritual. Sayangnya perkembangan selanjutnya kembali mengalami
keterpecahan, terutama setelah bangkitnya kembali dunia Barat yang biasa
dikenal dengan abad filsafat Yunani ke II yang melakukan pemisahan
antara ilmu-ilmu rasional-analitik dengan ilmu-ilmu keagamaan.
2. Perkembangan Pemikiran dalam Islam
Tradisi pemikiran dan keilmuan dalam Islam berkembang
cukup pesat dengan dimulainya aktivitas penerjemahan karya-karya Yunani
kuno ke dalam bahasa Arab. Dalam hal ini Dar al-Hikmah yang dibangun
Harun al-Rasyid menjadi pusat kegiatannya, yang sekaligus sebagai pintu
masuk bagi pemikiran filsafat Yunani kuno ke dalam tradisi Islam.
Tampilnya para filosof dan saintis muslim seperti al-Kindi, al-Farabi,
al-Khawarizmi dan Ibn Sina tidak bisa dilepaskan dari keuntungan yang
mereka peroleh dari aktivitas penerjemahan dan membludaknya
literatur-literatur Yunani.[4]
Terlebih lagi Dar al-Hikmah juga melengkapi diri dengan fasilitas
laboratorium dan peralatan-peralatan penelitian yang sangat canggih di
zamannya untuk menguji dan mengembangkan teori-teori saintifik Yunani.
Aktivitas keilmuan ini kian marak dengan dibangunnya
pusat pengajian terkenal di Baghdad, Basrah, Kufah dan Andalus. Begitu
juga perkembangan perpustakaan yang menjadi pusat penyelidikan para
ilmuan Islam. Pada mulanya masjid dijadikan pusat penyebaran ilmu
sebelum berdirinya kuttab, madrasah (sekolah) dan Jami’ah (universitas).
Dalam tradisi skolastik Islam, madrasah menjadi lembaga pendidikan yang
sangat penting. Dari sudut sejarah pendidikan, madrasah merupakan
perkembangan lebih lanjut dari masjid yang menjadi pusat pendidikan
tinggi untuk mempersiapkan ahli-ahli hukum Islam, yang eksklusif bagi
setiap madzab. Dari sudut politik, madrasah adalah media yang sangat
efektif untuk memenangkan pengaruh ulama. Sedangkan dari sudut
pembentukan ortodoksi Islam, madrasah mewakili gerakan kaum
tradisionalis untuk mengkristalkan pandangan dan ajarannya yang bebas
dari pengaruh pemikiran kaum rasionalis, seperti Asy’ariyah dan
Mu’tazilah, begitu juga bebas dari pemikiran Syi’ah.
3. Factor-faktor kemajuan pemikiran islam
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan tradisi keilmuan Islam ini berkembang pesat kala itu salah
satunya adalah keinginan pihak khalifah mendirikan institusi pendidikan,
toko-toko buku dan perpustakaan berkembang pesat, guru-guru yang
mengajar dengan penuh keikhlasan serta kegiatan pembukuan dan penjilidan
yang demikian pesat. Artinya bahwa tradisi keilmuan tidak hanya
dimiliki oleh kalangan elit tapi hampir seluruh lapisan masyarakat
berlomba membekali diri dengan keilmuan yang memadai. Sungguh satu hal
yang mengagumkan apabila kita membaca sejarah umat Islam dahulu yang
begitu berminat membaca, mengajar serta megembangkan ilmu. [5]Masing-masing
berlomba-lomba memberikan kontribusinya dalam memajukan institusi
pendidikan dengan mewakafkan sebagian harta mereka untuk kebutuhan
kemajuan pendidikan.
Dalam tradisi keilmuan Islam, kita temukan tiga jenis
perpustakaan yaitu perpustakaan umum, perpustakaan khas (khusus) dan
perpustakaan khas-umum. Perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang dibuka
untuk orang awam seperti perpustakaan di masjid-masjid. Perpustakaan
ini dapat dipergunakan oleh siapapun juga dari beragam kalangan.
Diantaranya adalah perpustakaan Basrah dan Perpustakaan al-Azhar. Di
Baghdad saja terdapat 38 buah perpustakaan umum dan di Cordova terdapat
70 buah perpustakaan.
Perpustakaan khas (khusus) ialah perpustakaan pribadi
yang dimiliki oleh para pembesar dan ulama, seperti perpustakaan Fatah
bin Haqân (w. 247 H) dan perpustakaan Ibn Khasyab (567 M). Perpustakaan
umum-khas yaitu perpustakaan yang khusus untuk para ulama, sarjana dan
pelajar. Perpustakaan ini tidak dibuka kepada umum tetapi diperuntukan
bagi para akademisi dan ilmuwan saja. Diantaranya Perpustakaan Baitul
Hikmah yang didirikan oleh Harun al-Rasyid di Baghdad, Perpustakaan Dar
al-Hikmah yang didirikan oleh Hakam Amrillah pada tahun 395 H di Kaherah
dan Perpustakaan Cordova.
Nuh ibnu Mansur adalah salah seorang yang bangga
dengan dirinya karena menjadi salah seorang yang memiliki perpustakaan
terbaik. Ia meminta ibnu Abbad untuk menjadi ketua penanggung jawabnya,
kemudian ia menolak pegawai kerajaan karena harus membutuhkan 400 ekor
onta untuk mengangkut buku-bukunya tersebut ke ibukota, katalog
perpustakaan pribadinya terdiri dari sepuluh volume. Perpustakaan Adun
Dawlah (wafat 982) memiliki dua cabang, disamping satu perpustakaan
miliknya di Basrah, ia membangun sebuah perpustakaan yang luas di
pekarangan istananya di Shiraz, dipimpin oleh seorang pustakawan,
seorang pengawas dan seorang direktur (Hazin, Matsrif dan Wakil).
Perpustakaan tersebut berisi banyak buku-buku literature ilmiah.[6]
Cyril Elgood menggambarkan buku-buku Adun Dawlah tersimpan memanjang
(dalam garis bujur) ruang (hall) yang melengkung dengan banyak kamar di
semua sudutnya. Pada dinding ruang tersebut ditempatkan rak buku
setinggi enam kaki dan lebar tiga yard, terbuat dari kayu berukir,
dengan pintu-pintu yang tertutup dari atas. Setiap cabang ilmu
pengetahuan memiliki kotak-kotak buku dan katalog yang terpisah.
Perpustakaan Baitul Hikmah (rumah pengetahuan) yang
didirikan pada tahun 998, oleh Khalifah fathimiyah, al-Aziz (975-996).
Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, kurang lebih sebanyak 600.000
jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak
disimpan di ruang terpisah. Di Spanyol dan Sisilia ada lebih dari tujuh
puluh perpustakaan muslim Spanyol, dua terbesar diantaranya adalah
perpustakaan Khalifah al-Hakim (wafat 976) di Cordova, berisi sekitar
600.000 volume yang secara hati-hati diseleksi oleh para penyalur buku
masa itu yang ahli dari semua pasar buku Islam. Perpustakaannya dipimpin
oleh sebuah staf yang cukup besar, terdiri dari para pustakawan,
penyalin dan penjilid di dalam scriptorium. Perpustakaan Abdul Mutrif,
seorang hakim Cordova, kebanyakan berisi buku-buku langka,
masterpiece-masterpiece kaligrafi, mempekerjakan enam orang penyalin
yang bekerja penuh waktu. Perpustakaan ini terjual dalam lelang sebesar
40.000 dinar setelah ia wafat tahun 1011. Perpustakaan Sabor di Baghdad
yang didirikan oleh Sabor bin Ardashir seorang menteri Ibn Buwaih pada
tahun 383 H. Perpustakaan ini juga berisi seribu al-Qur’an tulisan
tangan dan 10,400 buah buku dalam pelbagai bidang. Di Baghdad terdapat
seratus buah toko buku dan ulama yang tinggal di situ tidak kurang dari
delapan ribu orang.. [7]
Begitulah maraknya kegiatan tradisi keilmuan Islam
pada masa itu. Semua orang berlomba memperkaya diri dengan ilmu.
Sedangkan pada saat yang sama dunia Eropa masih berada dalam masa
kegelapan. Bangsa Eropa dalam keadaan kekurangan buku dan perpustakaan.
Dalam abad ke-9 Masehi, Perpustakan Katedral di Bandar Kensington hanya
menyimpan 356 buah buku saja dan Perpustakaan di Hamburg mempunyai 96
buah buku saja. Ini menunjukkan umat Islam saat itu sangat unggul dalam
kecintaan dan penghargaannya terhadap buku dan ilmu. Bahkan bangsa Eropa
kala itu menjadikan peradaban Islam sebagai acuan gaya hidupnya
sebagaimana sekarang bangsa Timur menjadikan Barat sebagai ukuran
kemajuan. Umat Islam kala itu berusaha menyalin semua salinan-salinan
manuskrip terutama al-Qur’an, hadis, sastra dan sains. Ibn Ishaq Nadim
telah menulis buku yang berjudul al-Fihrist (Katalog) yang membicarakan
buku-buku serta pengarangnya hingga abad-10 masehi. Buku ini merupakan
karya bibliografi dan katalog yang paling lengkap tentang
manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh sarjana muslim.
[8]Walaupun
begitu, banyak buku-buku tersebut telah hilang akibat peperangan dan
pemusnahan perpustakaan. Kegigihan Imam al-Ghazali dalam menuntut ilmu
patut pula dijadikan contoh. Walaupun dia telah menjadi ulama besar dan
mendapat gelar hujjat al-Islam tetapi ia masih berguru dalam bidang
hadis pada detik-detik terakhir kehidupannya.
Kegiatan keilmuan ini membuktikan bahwa tradisi
keilmuan Islam berkembang pesat pada zaman tersebut bersama dengan
kegemilangan peradaban Islam. Peradaban yang maju tidak dapat dibangun
dan dipertahankan tanpa tradisi keilmuan yang kuat. Dengan kata lain,
peradaban Islam berkembang seiring dengan kuatnya perkembangan tradisi
keilmuan. Oleh sebab itu, membangun peradaban Islam mesti
mengikutsertakan pembangunan tradisi keilmuan dengan mewujudkan dan
memperbanyak institusi pendidikan yang berkualitas dan jaringannya
menembus batas negara. Demikian juga, umat Islam perlu melahirkan ulama,
sarjana dan pemikir yang berkualitas yang mampu menghadirkan kegiatan
kajian, penelitian dan penterjemahan yang semarak. Tanpa unsur-unsur
tersebut institusi pendidikan dan keilmuan akan nampak sepi dan tidak
berkembang.
4. Tradisi Pemikiran Islam
Peradaban Islam pernah memimpin dunia selama lebih
kurang 600-800 tahun, dimana kaum Muslim dengan sungguh-sungguh
mengemban amanah ilmu pengetahuan. Ini artinya bahwa prestasi yang
pernah diraih oleh dunia Muslim jauh lebih lama dari apa yang sudah
diraih oleh dunia Barat modern sekarang ini sejak masa renaissance.
Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh dunia Islam tidak hanya berkisar
pada ranah kedokteran, tetapi juga termasuk matematika, astronomi dan
ilmu bumi sebagaimana terbukti dari banyaknya istilah-istilah modern
(Barat) di bidang-bidang itu yang berasal dari para ilmuan Muslim.
Secara historis, dunia Islamlah yang pertama kali melakukan
internationalization of knowledge di mana karya-karya ilmuwannya dibaca
oleh ilmuwan lain dari berbagai negara. Sebelum munculnya peradaban
Islam, peradaban di dunia ini masih bersifat lokalistik-nasionalistik.
Misalnya, ilmu logika hanya berkembang di sekitar peradaban Yunani, ilmu
yang terkait pengadaan bahan mesiu hanya di seputar peradaban Cina, dan
lain-lain. [9]
Pada abad pertengahan Islam, penemuan perhitungan
differensial dan integral, geometri analitik, yaitu transformasi dari
geometri menjadi aljabar di dalam matematika, atau bahkan arabesque di
dalam seni, semua ini berhubungan dengan konsep ketakterbatasan yang
berada pada jantung kebudayaan, yang merupakan akibat dari Tauhid
sebagai sistem keyakinan. Industri jam dan astronomi disebabkan analisis
waktu sebagai “tempat” untuk tindakan dan kejadian seperti yang
ditentukan dalam Al-Qur’an. Penemuan alat-alat optik berhubungan dengan
konsep cahaya yang disingkap oleh para mistik, yang menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur’an sebagai pengalaman spiritual. Teori atom merupakan
perkembangan dari salah satu bukti keberadaan Tuhan, didasarkan atas
pembagian monad sampai monad yang tak terbagi. Contoh-contoh lain dapat
diberikan oleh mekanik, dinamik atau fisika dan lainnya.
Kemajuan pemikiran yang demikian pesat dan
mengagumkan ini seiring dengan kebebasan mengeksplorasi pemikiran yang
secara spesifik banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat Yunani. Sampai
akhirnya perannya bergeser dengan digantikan oleh tradisi sufistik yang
dimotori oleh al-Ghazali yang sebenarnya juga berangkat dari pijakan
pemikiran filsafat. Pada masa ini dunia Islam mengalami kemandekan
pemikiran filsafat yang cukup panjang. Telah banyak usaha-usaha yang
dilakukan untuk menghidupkan kembali tradisi pemikiran filsafat dalam
dunia Islam pasca kejayaan pemikiran Islam. [10]
Salah satu upaya menghidupkan kembali tradisi
filsafat dilakukan kurang dari satu abad setelah kembalinya Tahtawi dari
Paris. Dimulai oleh Mushthafa ‘Abd al-Raziq (1885-1946) --kakak kandung
‘Ali ‘Abd al-Raziq-- dengan usaha gigihnya menghidupkan kembali tradisi
filsafat Islam, kemudian Yusuf Karam (w.1955) yang sebagian besar
hidupnya dicurahkan untuk mengenalkan filsafat Barat modern ke dalam
masyarakat Arab. Lewat kedua tokoh ini tradisi filsafat perlahan
berkembang dan hidup kembali meskipun tidak secemerlang era kejayaan
Arab dulu. Munculnya sikap positif dan akomodatif terhadap tradisi
filsafat (filsafat Islam khususnya), baik dari individu masyarakat atau
penguasa-penguasa Arab, didorong oleh beberapa faktor, diantaranya,
adanya slogan dan kampanye untuk menghidupkan kembali tradisi dan
nilai-nilai budaya Arab klasik, di mana pencapaian filsafat merupakan
elemen penting dalam budaya tersebut.
Disamping itu, sejalan dengan spirit modernisme yang
sedang digemborkan di negeri-negeri Arab, aspek rasionalitas merupakan
bagian penting dari modernitas. Usaha untuk mencari contoh dari tradisi
sendiri yang memuat pesan rasionalitas hanya dapat dijumpai dalam
tradisi filsafat, seperti yang pernah dicontohkan oleh al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Faktor lain adalah adanya interaksi
harmonis baik secara langsung ataupun tidak dengan peradaban Barat
modern. Masyarakat Arab saat ini selalu menyamakan posisi mereka dengan
zaman kejayaan mereka dulu, ketika mereka berinteraksi dengan peradaban
dan pencapaian Yunani. [11]Terlebih
kini, ketika mereka --sadar atau tidak--dikejutkan oleh banyaknya studi
tentang filsafat Islam yang dilakukan oleh orang Barat. Hal ini, untuk
selanjutnya menjadi cambuk pemicu bagi mereka untuk mengkaji sendiri
tradisi dan warisan intelektual mereka, karena seharusnya merekalah yang
lebih mengetahui tradisi sendiri.
Usaha-usaha menghidupkan kembali tradisi filsafat
dalam masyarakat Arab kontemporer dilakukan dengan berbagai cara,
beberapa diantaranya adalah pertama, melakukan penyuntingan buku-buku
filsafat yang ditulis oleh para filosof muslim klasik. Kemudian sedikit
memberi kajian dan memperdalam pembahasannya. Termasuk sebagian
diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing untuk disebarluaskan dan
menjadi kajian masyarakat internasional, Kedua, menerjemahkan
karya-karya filosof barat ke dalam bahasa Arab untuk diperkenalkan
kepada masyarakat Arab khususnya serta melakukan kajian mendalam
terhadap karya-karya tersebut. Ketiga, menciptakan isyu-isyu filsafat
sendiri dan menulisnya, khususnya isyu-isyu berkaitan dengan realitas
kekinian ataupun sebagai reaksi dari isyu-isyu filsafat yang telah ada
lebih dulu.
Dalam konteks keindonesiaan sejarah pemikiran Islam
mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang
hidup dan berkembang buah inspirasi dari pemikiran Barat. Mereka ini
adalah orang-orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam
pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang
berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau
tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di
dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada perdebatan kecil antara
para ilmuwan yang pernah mengenyam studi di Barat dan ilmuwan yang
pernah studi di Timur Tengah. Meskipun polarisasi yang terjadi tidak
sedahsyat yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam
garis pemisah di antara mereka. Termasuk adanya asumsi bahwa orang yang
belajar Islam di Barat dianggap tidak valid dan layak dicurigai
ketulusan dan keobyektivannya dalam melakukan kajian keislaman.
Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya
karena diajar oleh kaum orientalis yang memiliki misi-misi khusus, atau
paling tidak, mereka bukan muslim practicing. Sebaliknya, mereka yang
belajar ke Timur Tengah merasa unggul karena merasa telah belajar
langsung di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni yang kecil
kemungkinan melakukan penyimpangan atas ajaran ataupun sejarah Islam.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disamping dihadapkan berbagai hal di atas juga mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi masyarakat Indonesia yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini diyakininya.
Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia disamping dihadapkan berbagai hal di atas juga mempertimbangkan berbagai hal terkait kondisi masyarakat Indonesia yang sedemikian plural, baik agama, etnis, maupun kepercayaan. Inilah realitas masyarakat yang ada. Pada akhirnya, seorang pembaharu Islam di Indonesia, mau tak mau harus memecahkan secara strategis persoalan-persoalan sikap Umat Islam terhadap syari’ah dan keyakinan-keyakinan keagamaan normatif yang selama ini diyakininya.
Kembali pada persoalan umum yang kini sedang dihadapi
oleh bangsa-bangsa yang mayoritas berpenduduk Islam adalah
ketertinggalan dari negara-negara maju dalam memproduksi naskah dan
mengakses perkembangan-perkembangan baru dunia keilmuan. Bahkan
negara-negara berpenduduk mayoritas Islam cenderung hanya menjadi
konsumen dari produk-produk keilmuan yang dihasilkan oleh negara maju.
Ironisnya lagi, ritme keilmuan yang berkembangpun mengikuti irama yang
dikendalikan oleh negara-negara maju tersebut. Kini sudah saatnya
membangkitkan kembali tradisi kelimuan yang dulu pernah berkembang di
dunia Islam. Dengan demikian dapat mengimbangi produktivitas
negara-negara maju dalam memproduksi berbagai kebutuhan keilmuan dan
teknologi sendiri tanpa menggantungkan kepada mereka.
Untuk mencapai impian tersebut maka para sarjana dan
intelektual Islam perlu bekerja keras dalam mewujudkan tradisi keilmuan
yang dinamis dan harmonis. Permasalahan
mendasar seperti pengadaan buku referensi perlu diperbanyak, aktivitas
penelitian perlu digalakkan dan buku-buku yang ada di perpustakaan perlu
dimaksimalisasi disertai dengan aktivitas-aktivitas diskusi di setiap
ruang dan sudut-sudut perpustakaan. Menggairahkan kembali tradisi
menulis di kalangan para sarjana dan ulama. Banyak para ulama kita yang
secara keilmuan sangat memadai namun sayang sebagian mereka memiliki
kesulitan dalam menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk tulisan.
Demikian pula karya-karya buku yang dihasilkan sudah waktunya
diterjemahkan ke dalam bahasa asing supaya menyebar dan dapat dibaca
oleh dunia internasional.
Meskipun dari sisi financial akan mengalami banyak
kendala namun perlu dipikirkan bersama agar pemikiran-pemikiran para
ilmuan kita tetap dapat diakses oleh masyarakat terlebih masyarakat
internasional. Kita banyak mendengar kisah para ilmuwan Barat yang rela
menghabiskan uang bagitu banyak hanya untuk mencari sebuah manuskrip
atau buku. Mereka tidak terlalu berhitung seberapa besar uang yang ia
keluarkan demi memenuhi kebutuhan kelimuannya. Kegigihan dan kesungguhan
dalam memenuhi kebutuhan keilmuan seperti ini mesti kita tumbuhkan di
kalangan sarjana-sarjana muslim. Dengan demikian, harapan untuk
membangkitkan kembali tradisi keilmuan dalam dunia Islam tidak lagi
menjadi impian tetapi dapat kita nikmati hasilnya.
5. Intergrasi Keilmuan
Ilmuwan Prancis Bruno ‘Abdul Haqq’ Guiderdoni
mengatakan ada persamaan epistemologi antara sains dan agama, yakni
merupakan proses pencarian kebenaran yang terbuka. Di antara keduanya
tak ada yang absolut. Keduanya memiliki integritas yang harus dicarikan
jembatannya. Keduanya bisa sampai pada kebenaran hakiki. Namun,
kebenaran akan lebih cepat terkuak jika keduanya bisa bersatu dan
bekerja sama. Meskipun berbeda, sains dan agama tidak bisa
dipertentangkan. Justru keduanya bisa bersatu dalam mencari kesempurnaan
yang esensial.
Ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sejarah, dan
ilmu lainnya adalah Islam sepanjang didukung bukti kebenarannya. Ilmu
tauhid, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu lain yang selama ini disebut
dengan ilmu agama harus hanya disebut dengan ilmu-ilmu itu sendiri tanpa
pemberian label ilmu agama. Keyakinan tauhid mungkin tumbuh melalui
studi sejarah, fisika, dan biologi, seperti hal itu bisa dilihat dari
pola penuturan Al-Qur’an, bukan hanya dengan menguasai teori tentang
Tuhan seperti tersusun dalam ilmu tauhid.
Persoalannya apakah umat Islam bersedia dan berani
membebaskan diri dari ideologisasi ilmu-ilmu Islam yang selama ini
ditempatkan sebagai satu-satunya ilmu yang benar secara teologis. Jika
seluruh realitas diyakini sebagai ciptaan Tuhan, maka semua ilmu adalah
Islam karena ilmu adalah konsep tentang realitas alam, sosial dan
humaniora. Al-Qur’an berisi berbagai hal yang berkaitan dengan semua
yang ada di alam ini, agama, sosial, ekonomi, politik, budaya, ilmu
pengetahuan alam, kedokteran dan sebagainya. Hanya saja al-Qur’an tidak
memuat hal-hal rigid yang berkaitan dengan bidang-bidang tersebut. Ini
artinya bahwa pada dasarnya tidak ada dikotomi ilmu islam dan ilmu umum,
karena semua tercakup dalam al-Qur’an.
Risiko dari pandangan ini ialah tidak mungkinnya lagi
umat Islam melakukan klaim sepihak, ilmu tertentu sebagai Islam, sistem
pendidikan tertentu sebagai sistem pendidikan Islam, dan sistem sosial
tertentu sebagai Islam, sementara yang lain bukan Islam. Melalui cara
ini, justru Islam akan benar-benar ditempatkan sebagai akar semua ilmu,
sistem pendidikan, dan sistem sosial. Islam ditempatkan sebagai induk
dari semua akar ilmu pengetahuan, yang memang sudah selayaknya diterima
oleh Islam, bukan malah memilah-milah keilmuan yang justru akan
memperkecil posisi Islam itu sendiri.
Penyebutan madrasah sebagai sekolah umum berciri
khusus agama, oleh karenanya, bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan
madrasah sebagai lembaga pendidikan alternatif. Penyebutan demikian
merupakan pangkal bagi model pendidikan kritis yang tidak lagi
meletakkan pendidikan sebagai transfer ilmu atau transfer nilai, tetapi
media belajar hidup yang terus dikembangkan dan didaur ulang. Madrasah
yang didalamnya ilmu-ilmu agama banyak dipelajari tidak lagi berada
terpisah diantara deretan lembaga-lembaga pendidikan yang lain, tapi ia
berada membaur bersama dalam aktivitas pendidikan.
Ilmu umum, baru meluas dipelajari di madrasah,
terutama sejak kemerdekaan tahun 1945 meskipun prosentasenya masih
sangat kecil. Posisi ilmu umum terus menguat searah perkembangan
kehidupan umat Islam dan masyarakat Indonesia. Upaya menjadikan madrasah
setara dengan sekolah umum dalam pengetahuan umum baru terwujud dengan
keluarnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 2 tahun
1989 yang diikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 dan 29 tahun 1990 dan
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan No. 054/U/11993
tentang MI, MTs, dan MA wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya
sama dengan SD, SLTP dan SMU dan ketentuan yang menyatakan bahwa MI,
MTs, dan MA adalah sekolah umum yang berciri khas agama Islam yang
diselenggarakan Departemen Agama.
Dalam pelaksanaan pendidikan kurikulum harus disusun
dengan baik dan harus jelas bagi semua fihak yang berkepentingan, karena
berkaitan dengan out put yang ingin dihasilkan dari keseluruhan proses
penyelenggaraan pendidikan. Dalam kasus perguruan tinggi adalah Tri
Civitas akademika dan masyarakat. Namun, kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kurikulum kebanyakan perguruan tinggi di Indonesia
masih tidak demikian. Banyak di antara perguruan tinggi yang
kurikulumnya menjiplak perguruan tinggi lain yang sejenis tanpa mengerti
landasan filosofis yang ada di balik kurikulum tersebut. Demikian pula
halnya dengan IAIN dan STAIN, ataupun PTAIS. Kurikulum nasional mereka
dibuat oleh Departemen Agama di Jakarta dan hanya berupa daftar
matakuliah. Silabusnya pun dibuat seragam dan berupa deretan topik inti
yang kadang-kadang tumpang tindih (over laping) satu sama lain.
Ironisnya lagi kurikulum dan silabus buatan orang lain ini dianggap
sakral (untouchables) dan tak dapat diubah lagi. Padahal sebagai lembaga
pendidikan tinggi seharusnya mereka menyadari sifat otonomi keilmuan
yang mereka miliki. Dengan demikian PTAI memiliki kebebasan untuk
melakukan eksplorasi atas kurikulum dan out put pendidikan yang ingin
dihasilkan.
Transformasi Pemikiran dan Tanggung Jawab Negara
Pendidikan hingga saat ini masih menjadi satu-satunya alat yang paling efektif untuk melakukan transformasi gagasan. Perubahan pemikiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat banyak dilakukan melalui jalur ini. Isue-isue demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, kerukunan beragama dan sebagainya kerapkali disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini tidak semata pendidikan formal yang selama ini terjadi di ruang-ruang kelas. Tetapi proses pendidikan yang dijalankan banyak melalui forum-forum non-formal, seperti dialog, seminar, majlis-majlis taklim di mana gagasan-gagasan yang dibawa disusupkan secara perlahan. Selama ini model transformasi gagasan seperti ini sangat efektif dan cukup memberikan dampak signifikan terlebih dengan dukung teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menyebarkan gagasan tersebut secara masih kepada masyarakat luas dalam waktu yang sangat cepat.
Pendidikan hingga saat ini masih menjadi satu-satunya alat yang paling efektif untuk melakukan transformasi gagasan. Perubahan pemikiran yang terjadi di tengah-tengah masyarakat banyak dilakukan melalui jalur ini. Isue-isue demokrasi, pluralisme, multikulturalisme, kerukunan beragama dan sebagainya kerapkali disampaikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan. Pendidikan dalam konteks ini tidak semata pendidikan formal yang selama ini terjadi di ruang-ruang kelas. Tetapi proses pendidikan yang dijalankan banyak melalui forum-forum non-formal, seperti dialog, seminar, majlis-majlis taklim di mana gagasan-gagasan yang dibawa disusupkan secara perlahan. Selama ini model transformasi gagasan seperti ini sangat efektif dan cukup memberikan dampak signifikan terlebih dengan dukung teknologi informasi dan komunikasi yang mampu menyebarkan gagasan tersebut secara masih kepada masyarakat luas dalam waktu yang sangat cepat.
Pendidikan jalur formal yang selama ini
diselenggarakan secara resmi oleh lembaga-lembaga pendidikan dapat pula,
bahkan memiliki potensi yang cukup besar, untuk mentransformasikan
gagasan dalam sebuah desain besar perubahan masyarakat. Karena itu utnuk
mengetahui seberapa kualitas SDM dalam sebuah negara dapat diketahui
dari kualitas pendidikan yang diselenggrakan, lebih khusus dapat
diketahui dari kurikulum yang dipergunakan dalam lembaga pendidikan
tersebut. Sebab dalam kurikulum itulah berisi nilai-nilai ataupun
gagasan-gagasan yang hendak ditularkan kepada peserta didik. Jika
gagasan-gagasan yang ditularkan bermasalah maka out putnya pun akan
bermasalah.
Kurikulum sebuah lembaga pendidikan setidaknya harus
mencerminkan identitas lembaga tersebut sebagai lembaga pendidikan yang
bermutu. Di samping juga dilengkapi dengan tenaga-tenaga pengajar yang
kompeten dan sarana dan prasarana yang memadai. Setidaknya ia harus
mencerminkan misi dan visi lembaga pendidikan tersebut. Kurikulum juga
harus memberikan gambaran yang jelas tentang lulusan yang ingin
dihasilkan dan bagaimana lembaga pendidikan tersebut akan mewujudkan
lulusan yang diharapkan itu melalui berbagai program dan mata pelajaran.
Dalam sejarah pendidikan di Indonesia telah terjadi
berkali-kali pergantian kurikulum nasional. Yang terakhir dan masih
banyak menjadi bahan diskusi berbagai kalangan adalah kurikulum berbasis
kompetensi. Kurikulum ini berusaha menjawab persoalan tidak hanya
persoalan dalam dunia pendidikan semata, namun persoalan SDM bangsa
Indonesia secara umum yang dianggap bermaslaah dalam berbagai aspek,
baik itu moralitas maupun daya saing dengan dunia internasional.
Sayangnya kurikulum berbasis kompetensi ini tidak cukup dipahami oleh
pelaksana pendidikan khususnya para guru dan penyelenggara pendidikan
lainnya di level bawah. Artinya gerak sinergis antar berbagai kalangan
belum terjadi dalam proses pembentukan kualitas pendidikan dan SDM
nasional.
Perhatian Rasulullah saw. terhadap dunia pendidikan
nampak jelas ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat
bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk
Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Dalam pandangan Islam, barang
tebusan itu merupakan hak Baitul Mal (Kas Negara). Tebusan ini sama
nilainya dengan pembebasan tawanan Perang Badar. Artinya, Rasulullah
saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang
tebusan yang seharusnya milik Baitul Mal. Dengan kata lain, beliau
memberikan upah kepada para pengajar (tawanan perang) dengan harta benda
yang seharusnya menjadi milik Baitul Mal. Kebijakan beliau ini dapat
dimaknai, bahwa kepala negara bertanggung jawab penuh atas setiap
kebutuhan rakyatnya, termasuk pendidikan.
Imam Ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al-Ahkâm, menjelaskan
bahwa kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana
pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik
masyarakat. Jika kita melihat sejarah Kekhalifahan Islam, kita akan
melihat begitu besarnya perhatian para khalifah terhadap pendidikan
rakyatnya. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.
Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin
Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru
yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin al-Khaththab memberikan gaji
kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas).
Perhatian para khalifah tidak hanya tertuju pada gaji
pendidik dan sekolah, tetapi juga sarana pendidikan seperti
perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Pada masa Kekhilafahan
Islam, di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan josul
didirikan oleh Ja‘far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering
dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung
perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis,
seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara
rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur.
Seorang ulama Yaqut ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota
Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa
jaminan apapun perorang. Ini terjadi pada masa Kekhalifahan Islam abad
10 M. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar
terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku
yang ditulisnya.
Kondisi ini akan berbeda jika dikaitkan dengan
kondisi sesungguhnya di Indonesia di mana masih banyak kita temui
anak-anak usia sekolah yang masih berada di jalanan atau tidak mampu
bersekolah karena ketiadaan biaya, Meski pada dasarnya pemerintah
memiliki kewajiban untuk membuat mereka mendapatkan pendidikan karena
itu adalah bagian dari hak mereka. Ketika hak pendidikan itu tidak
mereka dapatkan, pada akhirnya memicu lahirnya lembaga-lembaga non
pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
yayasan-yayasan sosial yang berupaya menolong mereka dari ketertinggalan
pendidikan.
Kondisi yang berlangsung terus menerus tersebut
membuat masyarakat sendiri yang memperkuat basis-basis pendidikan
“alternatif”, sebagai jawaban konkret atas ketidakmampuan pemerintah
menyelesaikan semua persoalan pelik pendidikan di negeri ini.
Kekuatan-kekuatan sosial masyarakat sendiri yang mesti menawarkan konsep
pendidikan yang terjangkau mayoritas rakyat, ketika lembaga pendidikan
formal berperilaku layaknya saudagar.
Tak usah lagi silau oleh deretan gelar dari lembaga
pendidikan formal, sudah saatnya pula menghentikan praktik mencari
koneksi, kasuk-kusuk sana-sini, demi diterima bersekolah atau berkuliah
di lembaga pendidikan favorit. Hentikan semua praktik kontraproduktif
yang sebetulnya justru menjadi bagian dari penyakit dan persoalan rumit
pendidikan di negeri ini.
Sudah
saatnya segenap elemen masyarakat memikirkan lebih serius masa depan
pendidikan di Indonesia, karena pendidikan berkaitan erat dengan nasib
bangsa yang nantinya akan beralih kepada generasi berikutnya. Jika
generasi yang akan mewarisi bangsa ini tidak mendapatkan pendidikan yang
selayaknya maka kita pun akan dapat memprediksikan gambaran masa depan
bangsa Indonesia.
0 comments:
Post a Comment