PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada
pertengahan abad ke dua puluh, tepatnya pada tahun 1947 di India secara resmi
muncul sebuah negara yaitu Pakistan. Jika kita mau menelusuri sejarah
terbentuknnya negara tersebut maka akan didapatkan bahwa umat Islam adalah
pendiri dan penggagas terbentuknya negara tersebut, dalam artian yang
meng-konsep, dan mencita-citakan terbentuknya negara adalah umat Islam.
Terkait
pembahasan mengenai konseptor, maka tidak bisa dilepaskan dari pembahasan
tentang tokoh, oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas tentang tokoh
yang berperan besar terkait dengan terbentuknya negara Pakistan, yaitu Muhammad
Iqbal yang dikenal sebagai bapak Pakistan dan Muhammadi Ali Jinnah yang dikenal
sebagai tokoh yang mewujudkan terbentuknya Negara Pakistan, juga Abu A’la al
Maududi dengan “Jama’at Islami” yang di bentuknya, untuk menuju keselamatan
politik dan agama.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang diatas, kami dapat merumuskan beberapa masalah.
1.
Biografi ke-3 tokoh tersebut
2.
Apa ide-ide pembaharuan mereka?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muhammad Iqbal
1. Biografi
Terdapat
perbedaan pendapat tentang tahun lahirnya Muhammad Iqbal, ada yang mengatakan
Muhammad Iqbal (1877-1938 M) lahir tahun 1877 M, semetara menurut Harun
Nasution tahun 1876 dan menurut Mukti Ali tahun 1873 di Sialkot, Punjab,
wilayah Pakistan (sekarang). Perbedaan pendapat antar Harun Nasution juga
menyangkut latar belakang keluarganya, Menurut Harun Nasution Ia berasal dari
keluarga golongan menengah, sementara menurut Mukti Ali Berasal dari keluarga
Miskin, Ayahnya, Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya juga
dikenal sebagai muslimah yang saleha.
Pendidikan
formalnya dimulai di Scottish Mission School, Sialkot, di bawah bimbingan Mir
Hasan, seorang guru yang ahli sastra Arab dan Persia. Kemudian ia mendapatkan
biasiswa untuk melanjutkan ke Goverment College, di Lahore, sampai mendapat
gelar MA. Di kota lahore ia berkenalan dengan Thomas Arnold dan sekaligus
menjadi pembimbingya, seorang orentalis yang menurut keterangan mendorong Iqbal
untuk studi ke Ingris. Setelah selesai menempuh pendidikan di lahore Iqbal
diangkat menjadi staf dosen di Goverment College dan mulai menulis syair-syair
dan buku. Akan tetapi, profesinya sebagai dosen tidak berlangsung lama, karena
pada tahun 1905, atas dorongan Arnold, Iqbal berangkat ke Eropa untuk
melanjutkan studi di Trinity College, Universitas Cambridge, London, sambil
ikut kursus advokasi di Lincoln Inn.
Di lembaga ini
ia banyak belajar pada James Wird dan JE. McTaggart, seorang neo-Hegelian. Juga
sering diskusi dengan para pemikir lain serta mengunjungi perpustakaan
Cambridge, London dan Berlin. Untuk keperluan penelitiannya, ia pergi ke Jerman
mengikuti kuliah selama dua semester di Universitas Munich yang kemudian
mengantarkannya meraih gelar doctoris philosophy gradum, gelar doctor dalam
bidang filsafat pada Nopember 1907, dengan desertasi The Development of
Metaphysics in Persia, di bawah bimbingan Hommel. Selanjutnya, balik ke London
untuk meneruskan studi hukum dan sempat masuk School of Political Science.
2.
Ide pemikiran
atau pembaharuan Muhammad Iqbal
Sebagaimana
para pembaharu lain, Iqbal juga beranggapan bahwa kemunduran umat Islam yang
berlangsung sangat panjang disebabkan oleh:
1.
Kebekuan dalam
pemikiran umat Islam, hukum dalam Islam telah bersifat statis, padahal
menurutnya Hukum dalam Islam sebenarnya tidak bersifat statis, tetapi dapat
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan pintu ijtihad tidak pernah
tertutup.
2.
Ajaran zuhud yang terdapat dalam tasawuf. Sikap zuhud dalam tasawuf mengajarkan bahwa
perhatian kita harus dipusatkan kepada tuhan dan apa-apa yang berada di balik
alam materi. Ajaran itu akhirnya menyebabkan umat Islam kurang memperhatikan
soal-soal kemasyarakatan.
3.
Runtuhnya Baghdad sebagai pusat kemajuan
pemkiran umat Islam pada pertengahan abad ke-13. Untuk mengelakan perpecahan yang
lebih parah, kaum konservatif merasa perlu mempertahankan keseragaman hidup
sosial umat Islam. Oleh karena itu mereka menolak pembaruan dalam bidang
syariat dan menganjurkan untuk berpegang teguh pada hukum yang telah ditentukan
ulama terdahulu. Dengan kata lain, mereka menganggap pintu ijtihad telah
tertutup.
3. Pemikiran Iqbal tentang sumber hukum Islam
a. Alquran
Sebagai seorang
Islam yang di didik dengan cara kesufian (mizan,1944:44) , Iqbal percaya kalau
al-Qur’an itu memang benar diturunkan oleh Allah kepada - Nabi Muhammad dengan
perantara Malaikat Jibril dengan sebenar-benar percaya, kedudukannya adalah
sebagai sumber hukum yang utama dengan pernyataannya “The Qur’an is a book
which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’ “ (al Qur’an adalah kitab yang lebih
mengutamakan amal daripada cita-cita) . Namun demikian dia menyatakan bahwa
bukanlah al – Qur’an itu suatu undang-undang. Dia dapat berkembang sesuai
dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Tujuan
sebenarnya Alqur’an menurut Iqbal adalah membangkitkan kesadaran manusia yang
lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta, Qur’an tidak
memuatnya secara detail maka manusialah dituntut pengembangannya. Ini didalam
rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip
gerak dalam struktur Islam. Disamping itu Alqur’an memandang bahwa kehidupan
adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun
Alquran tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu,
namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan
inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi.. “ Akibat
pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat
bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”.
Akan tetapi,
kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam memahami
Alquran, namun dia melihat ada dimensi-dimensi didalam Alquran yang sudah
merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus
dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Menurutnya para mullah
dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya.
Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Iqbal mengeluh
ketidakmampuan umat Islam India dalam mamahami - al -Qur’an disebabkan
ketidakmampuan terhadap memahami bahasa Arab dan telah salah impor ide-ide
India ( Hindu ) dan Yunani ke dalam Islam dan - al-Qur’an. Dia begitu terobsesi
untuk menyadarkan umat islam untuk lebih progresif dan dinamis dari keadaan
statis dan stagnan dalam menjalani kehidupan duniawi. Karena berdasarkan
pengalaman, agama Yahudi dan Kristen telah gagal menuntun umat manusia
menjalani kehidupan. Kegagalan Yahudi disebabkan terlalu mementingkan segi-segi
legalita dan kehidupan duniawi. Sedangkan Kristen gagal dalam memberikan
nilai-nilai kepada pemeliharaan negara, undang-undang dan organisasi, karena
lebih mementingkan segi-segi ritual dan spritual saja. Dalam kegagalan kedua
agama tersebut al-Qur’an berada ditengah-tengah dan sama-sama mementingkan
kehidupan individual dan sosial ;ritual dan moral. Al-Qur’an mengajarkan
keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya
antara politik pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali, inilah
yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang
memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
Pandangan Iqbal
tentang kehidupan yang equilbirium antara moral dan agama ; etik dan politik ;
ritual dan duniawi, sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam pemikiran Islam.
Namun, dalam perjalanan sejarah, pemikiran demikian terkubur bersama arus
kehidupan politik umat Islam yang semakin memburuk, terutama sejak keruntuhan
dan kehancuran Bagdad, 1258. sehingga masyarakat Islam tidak mampu lagi
menangkap visi dinamis dalam doktrin Islam - (al-Qur’an).
Akhirnya
walaupun tidak ditegaskan kedalam konsep oleh para mullah lahirlah pandangan
pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk
meninggalkan kehidupan duniawi, akibatnya, hukum pun menjadi statis dan
al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap
problematika.
Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Inilah yang terjadi dalam lingkungan sosial politik umat Islam. Oleh sebab itu, Iqbal ingin menggerakkan umat Islam untuk kreatif dan dinamis dalam menghadapi hidup dan menciptakan perubahan-perubahan dibawah tuntunan ajaran al – Qur’an. Nilai-nilai dasar ajaran al – Qur’an harus dapat dikembangkan dan digali secara serius untuk dijadikan pedoman dalam menciptakan perubahan itu. Kuncinya adalah dengan mengadakan pendekatan rasional al – Qur’an dan mendalami semangat yang terkandung didalamnya, bukan menjadikannya sebagai buku Undang-undang yang berisi kumpulan peraturan-peraturan yang mati dan kaku.
Akan tetapi,
kendatipun Iqbal sangat menghargai perubahan dan penalaran ilmiah dalam
memahami al – Qur’an, namun ia melihat ada dimensi-dimensi didalam al – Qur’an
yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus di
konservasikan ( pertahankan), sebab ketentuan itu berlaku konstan.
b. Al-Hadis
Sejak dulu
hadist memang selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Baik umat Islam
maupun kalangan orientalis. Tentu saja maksud dan titik berangkat dari kajian
tersebut berbeda pula. Umat Islam didasarkan pada rasa tanggung jawab yang
begitu besar terhadap ajaran Islam. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk
kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam
itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Kalangan
orientalis yang pertama kali melakukan studi tentang hadist adalah Ignaz
Goldziher. Menurutnya sejak masa awal Islam dam masa-masa berikutnya ,
mengalami proses evolusi, mulai dari sahabat dan seterusnya hingga menjadi
berkembang di mazhab-mazhab fiqih. Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya
pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist. (Iqbal, 1994 : 74-75).
Iqbal setuju dengan
pendapat Syah Waliyullah tentang hadist, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan
Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang
dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat
istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya Nabi lebih menekankan pada
prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat
oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang
dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip
kemaslahatan. Dari pandangan ini Iqbal menganggap wajar saja kalau Abu hanifah
lebih banyak mempergunakan konsep istihsan dari pada hadist yang masih
meragukan kualitasnya. Ini bukan berarti hadist-hadist pada zamannya belum
dikumpulkan, karena Abdul Malik dan Al Zuhri telah membuat koleksi hadist tiga
puluh tahun sebelum Abu Hanifah wafat. Sikap ini diambil Abu Hanifah karena ia
memandang tujuan-tujuan universal hadist daripada koleksi belaka.
Oleh karenanya,
Iqbal memandang perlu umat Islam melakukan studi mendalam terhadap literatur
hadist dengan berpedoman langsung kepada Nabi sendiri selaku orang yang
mempunyai otoritas untuk menafsirkan wahyu-Nya. Hal ini sangat besar faedahnya
dalam memahami nilai hidup dari prinsip-prinsip hukum Islam sebagaimana yang
dikemukakan al – Qur’an.
Pandangan Iqbal
tentang pembedaan hadist hukum dan hadist bukan hukum agaknya sejalan dengan
pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan
dan ketetapan Nabi saw.yang berkaitan dengan hukum; seperti mengenai
kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan
diamalkan.
Setelah Iqbal
menyelesaikan studinya di eropa, pada tahun 1908 ia kembali ke lahore, disana
ia kembali menjadi dosen, sekaligus menjadi pengacara, selain itu ia juga masuk
ke arena politik, dan pada tahun 1930 ia ditunjuk sebagai presiden Liga
Muslimin yang berlangsung di Allahabad, yang menelorkan gagasan untuk
mendirikan negara Pakistan sebagai alternatif atas persoalan antara masyarakat
muslim dan Hindu. Selama Di lahore Iqbal juga sering melakukan ceramah-ceramah
di berbagai universitas di India. Dan sejak itulah ide pembaharuannya terkait
dengan kondisi Islam ia sampaikan.
Suatu hal yang
menarik tentang ide pemabaharuan Iqbal ialah meskipun ia memiliki latar
belakang pendidikan eropa ia tidak berpendapat bahwa baratlah yang harus
dijadikan contoh, menurutnya yang harus diambil umat Islam dari barat hanyalah
ilmu pengetahuannya. Sementara kapitalisme dan imperialisme barat ditentangnya,
karena Barat menurutnya sangat dipengaruhi oleh materealisme dan telah
meninggalkan agama.
Pemikiran Iqbal yang dikenal sebagai seorang filosof sekaligus penyair perihal kondisi Islam mempunyai pengaruh yang luas terhadap gerakan pembaharuan dalam Islam.
Pemikiran Iqbal yang dikenal sebagai seorang filosof sekaligus penyair perihal kondisi Islam mempunyai pengaruh yang luas terhadap gerakan pembaharuan dalam Islam.
Oleh karena
itu, iqbal dalam ceramahnya sering menganjurkan agar ditingkatkan solidaritas
antar umat dan persaudaraan Muslim untuk bisa melepaskan dari jajahan asing,
ide ini didukung oleh sebagian besar rakayat negerinya, baik umat Islam maupun
Hindu.
Akan tetapi, ide iqbal terkait nasionalisme yang berupa solidaritas antar agama mengalami perubahan, nasionalisme India yang mencakup Muslim dan Hindu sangat bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan, bahkan ia curiga akan adanya konsep new-hinduisme dibalik “Nasionalisme” yang mendapat dukungan dari umat Hindu. Menurut iqbal, di India terdapat dua umat besar, dan dalam pelaksanaan demokrasi barat di India, kenyataan itu harus diperhatikan, karena nasionalisme ala barat menurutnya akan melahirkan materialisme dan atheisme yang dapat mengancam bagi peri kemanusiaan. Hal itu selain disebabkan penolakan iqbal terhadap ide-ide barat, juga dikarenakan adanya tuntutan umat Islam untuk membentuk sebuah pemerintahan sendiri. Sehingga kemudian terbentuklah pemerintahan Pakistan yang secara resmi merdeka pada tahun 1947.
Akan tetapi, ide iqbal terkait nasionalisme yang berupa solidaritas antar agama mengalami perubahan, nasionalisme India yang mencakup Muslim dan Hindu sangat bagus, tetapi sulit sekali untuk dapat diwujudkan, bahkan ia curiga akan adanya konsep new-hinduisme dibalik “Nasionalisme” yang mendapat dukungan dari umat Hindu. Menurut iqbal, di India terdapat dua umat besar, dan dalam pelaksanaan demokrasi barat di India, kenyataan itu harus diperhatikan, karena nasionalisme ala barat menurutnya akan melahirkan materialisme dan atheisme yang dapat mengancam bagi peri kemanusiaan. Hal itu selain disebabkan penolakan iqbal terhadap ide-ide barat, juga dikarenakan adanya tuntutan umat Islam untuk membentuk sebuah pemerintahan sendiri. Sehingga kemudian terbentuklah pemerintahan Pakistan yang secara resmi merdeka pada tahun 1947.
Terkait dengan
berdirinya Pakistan, Iqbal adalah seorang tokoh politik dan pembaharu yang
memiliki peran besar bahkan disebut sebagai Bapak Pakistan, karena sejak ia
menjabat sebagai presiden liga Muslimin, ia banyak memaparkan tentang perlunya
membentuk negara muslim, bahkan dalam pidato kepresidennya ia menyatakan bahwa
terbentuknya negara muslim itulah yang menjadi tujuan akhir umat Islam.
Mukti Ali
mengutip pidoto kepresidenan tersebut sebagai berikut: “Saya ingin melihat
Punjab, Propinsi Nort-West Frontier, Sindh dan Baluchistan, bergabung menjadi
satu negara. Berpemerintahan sendiri dalam kerajaan inggris atau diluar
kerajaan inggris, pembentukan negara Muslim Barat laut India tampaknya mejadi
tujuan akhir umat muslim, pAling tidak bagi umat Islam India Barat Laut”. Ide
tentang Pembentukan negara muslim yang menjadi harapan Muhammad Iqbal
diteruskan dan diperjuangkan serta diwujudkan oleh Muhammad Ali Jinnah dan baru
terwujud 9 tahun setelah iqbal meninggal (1938), yaitu pada tahun 1947.
B.
Muhammad Ali
Jinnah
1.
Bografi
Muhammad Ali Jinnah lahir pada
tanggal 25 desember 1876 di Karachi, orang tuanya adalah seorang saudagar.
Sejak kecil ia dikenal sebagai seorang yang memiliki kecerdasan pikiran yang
lebih dari pada teman-temannya, sehigga teman ayahnya yang merupakan orang
inggris menganjurkan agar Jinnah melanjutkan pendidikannya ke inggris. Atas
nasehat tersebut, pada umur 16 tahun ia berangkat ke inggris untuk melanjutkan
pendidikannya, dan baru kembali ke India pada tahun 1896.
Sepulang dari
inggris, Ali Jinnah memulai kariernya dengan menjadi seorang advokat di Bombay.
Pada tahun 1906, Ali Jinnah bergabung dengan partai Kongres Nasional India,
akan tetapi politik patuh dan setia kepada inggris yang terdapat dalam
partainya tidak sesuai dengan pendiriannya yang menginginkan penentangan
terhadap inggris untuk kepentingan nasional India. Ia juga menjauhkan diri dari
liga muslim sampai dengan tahun 1913, yaitu ketika organisasi tersebut merubah
sikap dan menerima ide pemerintahan sendiri bagi India sebagai tujuan perjuangan.
Pada saat itu ia masih mempunyai keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India
dapat dijamin melalui ketentuan-ketentuan tertentu dalam undang-undang Dasar,
ia juga masih sepakat dengan ide nasionalisme India, sehingga ia masih
mengadakan perundingan dan pembicaraan dengan pihak kongres nasional India
terkait dengan nasionalisme India.
Akan tetapi,
kemudian ia melihat bahwa untuk memperoleh pandangan yang sama antara umat
Islam dan hindu amat sangat sulit, bahkan ia menolak dan menentang konsep
nasionalisme India Gandhi yang didalamnya umat Islam dan Hindu bergabung
menjadi satu Bangsa, yang pada akhirnya mengharuskan ia keluar dari Partai
Kongres. Setelah ia mengikuti Konferensi Meja Bundar di London ia memutuskan
untuk keluar dari arena politik dan menetap di inggris. Di sana ia menjadi
advokat, tetapi pada tahun tahun 1934 atas permintaan teman-temannya termasuk
Iqbal ia kembali ke India, dan pada tahun itu juga ia terpilih sebagai ketua
tetap liga Muslimin.
Kali ini liga
muslimin dibahawah pimpinan Jinnah memiliki semangat baru, dan berubah menjadi
gerakakan yang kuat. dengan adanya perkembangan ini umat Islam India mulai
sadar, bahwa apa yang dikhawatirkan ulama terdahulunya telah menjadi kenyataan,
diamana kekusaan hindu mulai terasa, umat Islam di daerah mayoritas mulai
melihat perlunya adanya barisan kuat umat Islam di seluruh India.
2.
Ide pembaharuan
Ali Jinnah dan Terbentuknya negara Pakistan
Pemikiran
pembaharuan Ali Jinnah sebenarnya lebih pada ranah politik, pada awalnya ia
beranggapan dan menganjurkan adanya nasionalisme India, untuk melepaskan diri
dari jajahan inggris, akan tetapi dari hasil realitas dan pengalaman yang ia
rasakan membuatnya merubah haluan politiknya sejak ia menemukan kekecewaan
bersama partai kongres. sejak itulah ia beranggapan bahwa kepentingan umat
Islam di India tidak bisa lagi dijamin melalui perundingan dan terbentuknya
sebuah undang-undang dasar India secara keseluruhan. Tetapi kepentingan umat
Islam akan terjamin hanya melalui pembentukan negara tersendiri yang terpisah
dari negara ummat Hindu di India.
Ali Jinnah
mulai membahas masalah pembentukan negara Islam di rapat tahunan liga muslimin
yang diadakan di lahore pada tahun 1940, yang kemudian menghasilkan persetujuan
bahwa pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam sebagai tujuan perjuangan
liga muslimin. Sejak itulah Jinnah mulai memperjelas tentang negara Islam yang
akan dibentuk (Pakistan). Menurutnya negara tersebut ialah sebuah negara yang
berada dibawah kekuasaan umat Islam, tetapi tidak melupakan peran serta
non-muslim dalam pemerintahan dengan menyesuaikan jumlah mereka disetiap
daerah.
Kekecewaan
Jinnah mengarah pola pemikiran dan politiknya. Yang mulanya sangat antusias
memperjuangkan persatuan Muslim-Hindu dalam menghadapi kekuatan penjajahan
Inggris, mangarah pada niat mendirikan Negara Islam sendiri, terlepas dari
India. Keadaan demikian dimanfaatkan Liga Muslim unutk menjadikannya sebagai
ketua tetap di Liga Muslim. Pada tahun 1934 Jinnah diangkat menjadi Presiden
Liga Muslim.[1]
Bagi Jinnah,
kaum muslimin adalah satu bangsa disamping umat Hindu yang merupakan satu
bangsa yang lain. Pendapat ini bisa disebut dengan istilah “Two Nations
Theory” (teori dua bangsa) sebagai perkembangan dari teori “One Nation Theory) yang dianut
sebelumnya. Ia menolak pendapat bahwa kaum muslimin adalah kaun minoritas sebab
pada kenyataannya empat dari sebelah provinsi di India berpenduduk mayoritas
Muslim. Oleh karena itu, kaum muslimin
sebagai suku bangsa berhak atas tanah tumpah darah, wilayah dan negeri sendiri.
Dari gagasannya yang semakin besar dilontarkan melalui pidato-pidatonya,
semakin jelas arah perjuangan Jinnah, yaitu kebangkitan kaum Muslimin untuk
mencapai kemerdekaan dan membentuk negara sendiri yang terpisah dari kaum Hindu
India.[2]
Gagasan trsebut
dikembaangkan Jinnah. Semangat untuk memisahkan diri semakin berkobar
dikalangan umat Islam yang disebabkan oleh perlakuan orang-orang Hindu
danPartai Kongres. Mereka senantiasa menekan, mengintimidasi, dan merongrong
ketenangan kaum Muslim.
Semangata untuk
merdeka dan cengkeraman Hindu semakin menyala-nyala sehingga pada tahun 1940
Liga Muslim mengadakan sidang di Lahore. Saat itu Jinnah mengemukkakn pidato
penting menuntut pembagian India atas negara kebangsaan damai, yaitu Islam dan
Hindu. Diuraikannya latar belakang perbedaan, sejarah, kebudayaan, sistem
sosial, dan adat istiadat dari Hindu dan Islam, kemudian ditegaskan lagi Muslim
India adalah satu bangsa yang karenanya harus memiliki tanah air, negara, dan
pemerintahan sendiri. Pidato penting tersebut akhirnya melahirkan “resolusi
Lahore” yang menghendaki adanya negara tersendiri bagi umat Islam India. Nama
negara yang dicanangkan adalah “Pakistan” dalam bahasa Persia dan Urdu berarti
negeri yang kudus – negeri yang bersih dan suci. Konon, nama tersebut hasil
imajinasi sekelompok mahasiswa Islam di Cambridge, termasuk diantaranya Chaudri
Rahmad Ali, yang merupakan paduan dan nama-nama provinsi yang direncanakan
masuk wilayah yang diperjuangkan, yaitu: Punjab, Afgania, Khasmir, Sind, dan
Baluchistand.
Isi resolusi
tersebut diantaranya:
“Mengingat kedaulatan diselluruh jagat adalah milik Allah
yang maha kuasa semata-mata, dan wewenang yang telah diwakilkan-Nya kepada
negara Pakistan melalui rakyatnya untuk melaksanakan didalam batas-batas yang
ditetapkan-Nya adalah suatu kepercayaan yang suci. Didalamnya (Pakistan)
prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan, toleransi, dan keadilan sosial
seperti dinyatakan dalam Islam harus sepenuhnya dipatuhi: di dalamnya kaum
Muslim Pakistan harus dimungkinkan secara individual dan kolektif mengatur
kehidupan mereka sesuai dengan ajaran-ajaran dan syariat-syariat Islam, seperti
dikemukakan dalam kitab suci Al-Qur’an As-Sunnah…”
Pada tahun 1944
Jinnah juga berpidato di Aligarh dan menekankan sekali lagi akan pentingnya
satu negara Islam. Di antara pidatonya adalah sebagai berikut:
“Pakistan memulai saat ketika orang bukan muslim pertama
kali menjadi Islam India, jauh sebelum jika kaum Muslim menegakkan
pemerintahannya. Segera orang Hindu yang masuk Islam maka ia akan disisihkan
dari lingkungan sosial, budaya, dan ekonominya. Mengenai kaulm muslim adalah
kewajiban yang dibebankan Islam kepadanya untuk tidak melebur identitas dan
kepribadiannya pada setiap masyarakat asing apa pun.sepanjang abad orang Islam
tetap Islam dan orang Hindu tetap Hindu dan mereka tidak saling meleburkan diri
kedalam satu kesatuan lahiriah – itulah dasar dari Pakistan”.
Pernyataan
diatas kemudian diperkuat lagi, ketika ia berpidato di hadapan peserta
Konferensi Liga Muslim, November 1945, yang isinya diantaranya:
“Kaum Muslim menuntut Pakistan, dimana mereka dapat
memerintah menurut undang-undang kehidupan sendiri, dan menurut pertumbuhan
budaya, tradisi-tradisi, dan hukum-hukumnya
Islamnya sendiri”.
Pada akhirnya
perjuangan tersebut mewujudkan hasil yang nyata, dengan Surat Keputusan Inggris
pada tanggal 3 Juni 1947; mengenai dasar pembagian India menjadi dua wilayah
yang berpemerintahan sendiri, yaitu India dan pakistan. Pada tanggal 14 Agustus
1947 rapat Dewan Konstitusi Pakistan dibuka. Lalu, keesokan harinya Pakistan
resmi sebagai negara tersendiri bagi uamat islam India. Jinnah diangkat menjadi
Gubernur Jenderal pertama dengan gelar “Quaid-l Azam” (Pemimpin Besar).
Setelah Jinnah
menjadi Quaid/Azam, bukanlah ia berarti ia mulai merasakan kenikmatan dari
hasil perjuangannya selama ini, melainkan justru permasalahan yang lebih besar
yang datnang menghampirinya. Tantangan yang dihadapi Jinnah sebagai Gubernur
Jenderal negara baru makin banyak. Hal ini diantaranya, karena beberapa waktu
sebelum kemerdekaan Pakistan, terjadi pembunuhan massal di daerah Punjab barat,
yang merupakan daerah perebutan dengan India. Hal ini menimbulkan banyak pengungsi
Muslim yang datang kedaerah Punjab timur yang menjadi bagian negara Pakistan.
Jinnah
dituntut, selain menyiapkan segala perangkat administrasi negara baru, harus
mengurusi permasalahan imigran yang jumlahnya sangat banyak.
Selain
kekacauan yang terjadi didaerah Punjab barat dan kesulitan administrasi secara
umum, Pakistan dihadapkan dengan kekacauan komunikasi yang serius.
Tukar-menukar pegawai yang belum pernah ada contoh sebelumnya antara
India-Pakistan dilakukan diberbagai tempat, di stasiun-stasiun, kantor-kantor
pos, juga ditambah dengan persediaan batu bara yang kian habis sehinngga
menghambat jalur transportasi.
Disini
sangatlah jelas, Jinnah sebagai pimpinan tertinggi negara Pakistan sedang
diuji. Sebab, permasalahan-permasalahan tersebut jelas sangat meresahkan
masyarakat dan sangat mengganggu kestabilan dan keutuhan negara yang baru
dibentuk tersebut.
Salah satu
jalan yang digunakan Jinnah adalah ia dengan arif memilih dan mengangkat
perangkat pemerintahan orang-orang yang aktif dan efisien untuk membantunya. Ia
mencoba mengangkat dan menetapkan orang-orang yang profesional dan dapat
diterima oleh berbagai pihak dan kalangan untuk dijadikan pembantu-pembantunya.
Kita dapat melihat ada Liaquat Ali Khan, seorang yang sangat loyal dan antusias
terhadap Pakistan juga dapat menjalin hubungan baik dengan India, yang
diangkatnya menjadi Perdan Mentri.
Akhirnya,
pemerintah yang baru dibawah pimpinan Jinnah dapat membuktikan adanya
kebijaksanaan dan kemampuan dalam menyelesaikan berbagai masalah yang datang.
India dan Pakistan mempunyai banyak masalah bersama yang sulit untuk
dipecahkan. Namun, dengan politik “Itikad baik” Jinnah berhasil menjalin
persahabatan dengan India sehingga diharapkan dapat memudahkan penyelesaian
masalah bersama tersebut. Bahkan, Jinnah mengusulkan mengadakan “Pertahanan
Bersama” dengan India.
Kebijakan dan
kepiawaian Jinnah telah terbukti mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang
timbul walaupun belum seratus persen. Walaupun dengan nada awal yang relatif
kecil, yaitu kira-kira 20 Core Rupee, ia mampu membawa Pakistan untuk berdiri
sebagai satu negara yang mandiri.
Di balik keberhasilan
itu, masih timbul berbagai masalah baru, baik internal maupun eksternal.
Masalah eksternal adalah masih ada campur tangan Inggris sehingga di beberapa
jabatan penting masih dipegang oleh orang Inggris. Hal ini jelas menyebabkan
antipati orang-orang yang anti terhadap segala sesuatu yang berbau Inggris.
Keadaan tersebut juga jelas menyebabkaan ketidaksenangan para pejabat Muslim
yang mengharapkan peningkatan pangkat secara cepat dalam negara baru itu.
Padahal, penempatan orang-orang Inggris itu hanya untuk sementara waktu, sampai
ada orang-orang Muslim Pakistan yang mampu untuk menangani permasalahan
tersebut.
Pembentukan
negara Islam (Pakistan) Jinnah dan Liga Muslimin mendapatkan dukungan umat
Islam india, hal itu terlihat dari hasil pemilihan 1946, dimana liga muslimi
memperoleh kemenangan di daerah-daerah yang nantinya masuk Pakistan. Kedudukan
Ali Jinnah dalam perundingan dengan inggris dan partai kongres Nasional India
mengenai masa depan Islam semakin kuat. Dan pada tahun 1947 Inggris
mengeluarkan putusan untuk menyerahkan kedaulatan kepada dua dewan konstitusi,
satu untuk Pakistan dan satu untuk India. Pada tanggal 14 agustus 1947 dewan
konstitusi Pakistan dibuka dan pada tanggal 15 agustus 1947 diresmikan, Ali
Jinnah diangkat menjadi Gubernur Jendral atau Pemimpin besar bagi rakyat
Pakistan, dan pada hari itulah Pakistan lahir sebagai sebuah Negara umat Islam
yang merdeka baik dari inggris ataupun India.
3.
Prinsip-prnsip
Dasar Negara Islam Menurut Jinnah
Walaupun telah
sedikit di uraikan akan pentingnya negara bagi kaum Muslim, ada bebrapa hal
yang mendasari kepentingan akan suatu negara, yaitu konsep negara Islam. Konsep
negara Islam menurut Jinnah, tidaklah eksplisit terurai dengan jelas. Namun,
jika kita melihat uraian resolusi lahore tentang negara Pakistan, kita dapat
mengetahui bahwa konsep negara Islam para pembaru sebelumnya, seperti Iqbal,
Ahmad Khan, Maududi, dan sebagainya, yang pada prinsipnya sebagai berikut.
1.
Negara Islam
berdasarkan tauhid kepada Allah. Allah sebagai sumber hukum melalui Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Kebijakan manusia menjadi wewenang selama tidak bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Negara Islam
Demokrasi berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yaitu dengan mengadakan syura
dalam mengambil keputusan.
3.
Al-Qur’an dan
As-Sunnah mengajarkan beberapa prinsip kebebasan, keadilan, persamaan,
toleransi, dan keadilan sosial.
Ketika membicarakan
pembaruan yang dilakukan oleh para pembaru sebelumnya. Pemikiran pembaruan
dimulai oleh Syah waliyullah pada akhir abad ke-18 dilanjutkan oleh Sayyid
Ahmad Khan, kemudian Muhammad Iqbal dan Muhammad Ali Jinnah beberapa dekade
berikutnya, yang kemudian menimbulkan negara Pakistan pada abad ke-20.
Mengingat
sejarah perkembangan di India, pembentukan negara tersendiri bagi umat Islam
India, adalahsuatu kemestian. Setelah jatuhnya Kerajaan Mughal, umat Islam yang
merupakan minoritas di India sadar bahwa kedudukan dan wwujud mereka senantiasa
terancam. Inilah yang dirasakan oleh para pembaru India, terutama Ali Jinnah.
Para pembaru di India harus diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi
pemunculan negara Pakistan. Harus diakui bahwa ide-ide pembaruan yang
dilontarkan oleh para pembaru, seperti Ahmad Khan, Amir Ali, Iqbal sangat
membantu bagi usaha-usaha Jinnah dalam menggerkkan umat Islam India yang pada
abad lalu masih merupakan masyarakat yang berada dalam kemunduran,kemudian
dapat diubah menjadi masyarakat yang berpikir sehingga mampu untuk mempunyai
wilayah dan pemerintahan Islam tersendiri, yaitu negara Pakistan.
Dengan segala
kegigihannya dan keberaniannya, ia terus berusaha mewujudkan suatu koloni Islam
yang diikat dalam suatu pemerintahan Islam mandiri dan terbebas dari intervensi
pihak manapun. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Jinnah merupakan tokoh
penentu tentang kebangkitan Islam di India. Oleh karena itu, wajarlahjika
Jinnah dijuluki sebagai “Bapak Pendiri Pakistan”.
C.
Abul A’la Al-Maududi
1.
Biografi
Sayyid Abul A’la Maududi adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada
dasawarsa terakhir. Ia lahir dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India
Utara) di Aurangabad, India Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab
1321 H). Rasa dekat keluarga ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan
kebenciannya terhadap Inggris, memainkan peranan sentral dalam membentuk
pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya
Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil menciptakan kondisi yang sangat
religius dan zuhud bagi pendidikan anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan
anak-anaknya dalam kultur syarif. Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan
cenderung klasik. Dalam sistem ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan
modern, yang ada hanya bahasa Arab, Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi
ahli bahasa Arab pada usia muda.
Pada usia sebelas tahun, Maududi masuk
sekolah di Aurangabad. Di sini ia mendapatkan pelajaran modern. Namun, lima
tahun kemudian ia terpaksa meninggalkan sekolah formalnya setelah ayahnya sakit
keras dan kemudian wafat. Yang menarik, pada saat itu Maududi kurang menaruh
minat pada soal-soal agama, ia hanya suka politik. Karenanya, Maududi tidak
pernah mengakui dirinya sebagai ‘alim. Kebanyakan biografi Maududi hanya
menyebut dirinya sebagai jurnalis yang belajar agama sendiri. Semangat
nasionalisme Indianya tumbuh subur. Dalam beberapa esainya, ia memuji pimpinan
Partai Kongres, khususnya Mahatma Gandhi dan Madan Muhan Malaviya.[3]
Pada 1919 ia ke Jubalpur untuk bekerja
di minggua partai pro Kongres yang bernama Taj. Di sini dia jadi sepenuhnya
aktif dalam gerakan khilafah, serta aktif memobilisasi kaum muslim untuk
mendukung Partai Kongres.Kemudian Maududi kembali ke Delhi dan berkenalan
dengan pemimpin penting Khilafah seperti Muhammad ‘Ali. Bersamanya, Maududi
menerbitkan surat kabar nasionalis, Hamdard. Namun itu tidak lama. Selama
itulah pandangan politik Maududi kian religius. Dia bergabung dengan Tahrik-I
Hijrah (gerakan hijrah) yang mendorong kaum muslim India untuk meninggalkan
India ke Afganistan yang dianggap sebagai Dar al-Islam (negeri Islam).
Pada 1921
Maududi berkenalan dengan pemimpin Jami’ati ‘Ulama Hind (masyarakat ulama
India). Ulama jami’at yang terkesan dengan bakat maududi kemudian menarik
Maududi sebagai editor surat kabar resmi mereka, Muslim. Hingga 1924 Maududi
bekerja sebagai editor muslim. Disinilah Maududi menjadi lebih mengetahui
kesadaran politik kaum muslimin dan jadi aktif dalam urusan agamanya. Namun,
saat itu tulisan-tulisannya belum juga mengarah pada kebangkitan Islam.
2.
Ide pembaharuan
Abul A’la Al-Maududi
Di Delhi,
Maududi memiliki peluang untuk terus belajar dan menumbuhkan minat
intelektualnya. Ia belajar bahasa Inggris dan membaca karya-karya Barat.
Jami’at mendorongnya untuk mengenyam pendidikan formal agama. Dia memulai
dars-I nizami, sebuah silabus pendidikan agama yang populer di sekolah agama
Asia Selatan sejak abad ke delapan belas. Pada 1926, ia menerima sertifikat
pendidikan agama dan jadi ulama.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Runtuhnya khilafah pada 1924 mengakibatkan kehidupan Maududi mengalami perubahan besar. Dia jadi sinis terhadap nasionalisme yang ia yakini hanya menyesatkan orang Turki dan Mesir, dan menyebabkan mereka merongrong kesatuan muslim dengan cara menolak imperium ‘Utsmaniah dan kekhalifahan muslim. Dia juga tak lagi percaya pada nasionalisme India. Dia beranggapan bahwa Partai Kongres hanya mengutamakan kepentingan Hindu dengan kedok sentimen nasionalis. Dia ungkapkan ketidaksukaannya pada nasionalisme dan sekutu muslimnya.
Sejak itu,
sebagai upaya menentang imperialisme, Maududi menganjurkan aksi Islami, bukan
nasionalis. Ia percaya aksi yang ia anjurkan akan melindungi kepentingan
muslimin. Hal ini memberi tempat bagi wacana kebangkitan. Pada 1925, seorang
Muslim membunuh Swami Shradhnand, pemimpin kebangkitan Hindu. Swami memancing
kemarahan kaum muslimin karena dengan terang-terangan meremehkan keyakinan kaum
muslimin. Kematiannya Swami menimbulkan kritik media massa bahwa Islam adalah
agama kekerasan. Maududi pun bertindak. Ia menulis bukunya yang terkenal
mengenai perang dan damai, kekerasan dan jihad dalam Islam, Al Jihad fi Al
Islam. Buku ini berisi penjelasan sistematis sikap Muslim mengenai jihad,
sekaligus sebagai tanggapan atas kritik terhadap Islam. Buku ini mendapat
sambutan hangat dari kaum muslimin. Hal ini semakin menegaskan Maududi sebagai
intelektual umat.
Sisa terakhir
pemerintahan muslim pada saat itu kelihatan semakin tidak pasti. Maududi pun
berupaya mencari faktor penyebab semakin pudarnya kekuasaan muslim. Dia
berkesimpulan, selama berabad-abad Islam telah dirusak oleh masuknya adat
istiadat lokal dan masuknya kultur asing yang mengaburkan ajaran sejatinya.
Karenanya Maududi mengusulkan pembaharuan Islam kepada pemerintahan saat itu,
namun tidak digubris. Hal ini mendorong Maududi mencari solusi sosio-politik
menyeluruh yang baru untuk melindungi kaum muslimin.
Gagasannya ia
wujudkan dengan mendirikan Jama’at Islami (partai Islam), tepatnya pada Agustus
1941, bersama sejumlah aktifis Islam dan ulama muda. Segera setelah berdiri,
Jama’ati Islami pindah ke Pathankot, tempat dimana Jama’at mengembangkan
struktur partai, sikap politik, ideologi, dan rencana aksi. Sejak itulah
Maududi mengosentrasikan dirinya memimpin umat menuju keselamatan politik dan
agama. Sejak itu pula banyak karyanya terlahir di tengah-tengah umat. Ketika
India pecah, Jama’at juga terpecah. Maududi, bersama 385 anggota jama’at
memilih Pakistan. Markasnya berpindah ke Lahore, dan Maududi sebagai
pemimpinnya. Sejak itu karir politik dan intelektual Maududi erat kaitannya
dengan perkembangan Jama’at. Dia telah "kembali" kepada Islam, dengan
membawa pandangan baru yang religius.
D.
Analisis
terhadap beberapa ide pembaharuan Iqbal, Ali Jinnah dan Maududi
Saya sependapat dengan konsep Iqbal yang
menyatakan bahwa Islam itu adalah agama yang dinamis. Islam pada hakikatnya, mengajarkan dinamisme pada zaman
klasik, tampak sangat dinamis. Hal itu karena adanya keyakinan sistem sosial
dipusatkan pada alquran. Alquran senantiasa menganjurkan pemakaian akal dalam
memahami ayat atau tanda yang terdapat dalam alam, seperti matahari, bulan,
bintang, malam dan siang. Orang yang tidak memerhatikan tanda-tanda itu akan
buta terhadap masa yang akan datang. Konsep islam mengenai alam adalah dinamis
dan senantiasa berkembang.
Menurut Alquran, setiap bangsa memiliki masa
tertentu. Kemajuan serta kemunduran dibuat tuhan silih berganti diantara bangsa
yang mendiami bumi, ini mengandung arti dinamisme. Lebih jauh lagi, kita
melihat bahwa alam semesta tidak dijadikan secara sekaligus, melainkan secara
berangsur-angsur menuju kesempurnaan. Disitu, terdapat makna gerak dan
perubahan.
Islam menolak konsep lama yang mengatakan
bahwa islam ini statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakui
adanya gerak dan perubahan dalam hidup masyarakat manusia. Konsep yang dipakai
dalam gerak dan perubahan itu ialah ijtihad sebagaimana menurut Iqbal. Oleh
karena itu, adanya ijtihad mempunyai kedudukan penting bagi pembaruan dalam
Islam.
Saya juga
sependapat bahwa dalam sebuah pemerintahan atau satu negara, diikat oleh
nasionalisme. Semua rakyat diberi kebebasan untuk beragama. Didalam Islampun
demikian, kita tidak dituntut untuk harus mengikuti suatu agama tertentu.
Manusia diberi kebebasan untuk memilih agama mana saja yang dipercayai. Hanya
saja didalam islam mengajarkan bahwa hanya orang-orang yang teguh dan konsisten
dalam agama islamlah yang akan selamat dikehidupan setelah dunia berakhir.
Seperti halnya
Ali Jinnah, sayapun tidak sependapat bahwa kepentingan suatu agama diikat oleh
undang-undang, untuk memperoleh satu pandangan. Karena sampai kapanpun agama islam
tidak akan sependapat dengan pandangan agama lain, begitupun sebaliknya.
Didalam Alquran pun sudah dinyatakan bahwa orang-orang selain islam atau yahudi
dan nasrani tidak akan pernah ridha sampai umat islam mau mengikuti mereka.
Apalagi yang memegang kendali roda pemerintahan adalah orang-orang yang
non-islam, maka perlahan tapi pasti mereka akan menghancurkan umat islam dari
suatu negara atau pemerintahan tersebut.
Saya juga
sepemikiran dengan Al-Maududi, bahwa besar pengaruh kurtur dan budaya suatu
agama akan meminimalisir keadaan sebelumnya. Di Indonesia mayoritas penganut
agama Islam, yang roda pemerintahannya dikendalikan oleh orang-orang islam itu
sendiri, seyogianya membuat satu undang-undang yang menolak simtem westernisasi
yang diadopsi dari budaya-budaya barat.
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad Iqbal
(1877-1938 M) lahir tahun 1877 M, semetara menurut Harun Nasution tahun 1876
dan menurut Mukti Ali tahun 1873 di Sialkot, Punjab, wilayah Pakistan
(sekarang). Perbedaan pendapat antar Harun Nasution juga menyangkut latar
belakang keluarganya, Menurut Harun Nasution Ia berasal dari keluarga golongan
menengah, sementara menurut Mukti Ali Berasal dari keluarga Miskin, Ayahnya,
Muhammad Nur adalah seorang tokoh sufi, sedang ibunya juga dikenal sebagai
muslimah yang saleha.
Ide pembaharuannya adalah membuka
pintu Ijtihad untuk menolak statemen bahwa Islam adalah agama yang statis,
tidak berkembang. Iqbal tidak menghendaki umat islam hanya berpangku tangan
pada kesepakatan para ulama-ulama terdahulu. Iqbal menghendaki umat Islam
senantiasa beragama sesuai perkembangan zaman, tanpa mengabaikan hal-hal syar’i
yang sudah menjadi landasan hukum syar’i.
Muhammad Ali Jinnah adalah anak
seorang saudagar dan lahir di Karachi pada tanggal 25 Desember 1876. Di masa
remaja ia telah pergi ke London untuk meneruskan studi dan di sanalah ia
memperoleh kesarjanaannya dalam bidang hukum di tahun 1896. Pada tahun itu juga
ia kembali ke India dan bekerja sebagai pengacara di Bombay. Tidak lama sesudah
itu ia menggabungkan diri dengan Partai Kongres.
Pada tahun 1913
itu juga Jinnah dipilih menjadi Presiden Liga Muslimin. Pada waktu itu ia masih
mempunyai keyakinan bahwa kepentingan umat Islam India dapat dijamin melalui
ketentuan-ketentuan tertentu dalam Undang-Undang Dasar. Untuk itu ia mengadakan
pembicaraan dan perundingan dengan pihak Kongres Nasional India. Salah satu
hasil dari perundingan ialah perjanjian Lucknow 1916. menurut perjanjian itu
ummat Islam India akan memperoleh daerah pemilihan terpisah dan ketentuan ini
akan dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar India yang akan disusun kelak kalau
telah tiba waktunya.
Ide pembaharuannya adalah ia membentuk satu negara islam
yang sekarang adalah pakistan. Hal ini terdorong dari pengamatannya, bahwa
ternyata umat islam tidak bisa disatukan dengan agama hindu yang di India saat
itu dalam satu wadah nasionalisme. Lebih-lebih kebebasan keberagamaan dijamin
dalam sebuah undang-undang.
Sayyid Abul A’la Maududi
adalah figur penting dalam kebangkitan Islam pada dasawarsa terakhir. Ia lahir
dalam keluarga syarif (keluarga tokoh muslim India Utara) di Aurangabad, India
Selatan, tepatnya pada 25 September 1903 (3 Rajab 1321 H). Rasa dekat keluarga
ini dengan warisan pemerintahan Muslim India dan kebenciannya terhadap Inggris,
memainkan peranan sentral dalam membentuk pandangan Maududi di kemudian hari.
Ahmad Hasan, ayahnya Maududi, sangat menyukai tasawuf. Ia berhasil
menciptakan kondisi yang sangat religius dan zuhud bagi pendidikan
anak-anaknya. Ia berupaya membesarkan anak-anaknya dalam kultur syarif.
Karenanya, sistem pendidikan yang ia terapkan cenderung klasik. Dalam sistem
ini tidak ada pelajaran bahasa Inggris dan modern, yang ada hanya bahasa Arab,
Persia, dan Urdu. Karena itu, Maududi jadi ahli bahasa Arab pada usia muda.
Ide pembaharuannya adalah ia membuat satu perkempulan yang disebut
Al-Jamiat Islami, sebagai mediasi untuk merekrut dan membuat satu negara yang
bernuansa islam. Ia juga menolak adanya westernisasi budaya yang masuk dan
menyelimuti kehidupan dan kebudayaan islam. Karena menurutnya, hal itulah yang
menyebabkan umat islam mulai terminimalisir dari pemerintahan india saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, H.M.
Yusran. Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
Dalam Dunia Islam. Cet. II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.
Hamid, K.H.
Abdul. Yaya. Pemikiran Modern Dalam Islam. Cet. I. Bandung: CV Pustaka
Setia, 2010.
Khamene’i, Ali
dkk. Iqbal Dalam Pandangan Pemikir Syi’ah. Jakarta: Islamic Center,
2003.
Nasution,
Harun. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta : PT Bulan Bintang, 2003.
Muzani,
Syaiful. Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution.
Bandung: Mizan, 1995.
0 comments:
Post a Comment